OPINI
OPINI Nanang Qosim : Membangun Gerakan Kesadaran Rakyat
Manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung menyalahgunakannya. Apalagi, kalau kekuasaan itu absolut, pasti akan disalahgunakan
Oleh Nanang Qosim, MPd
Dosen Fakultas Sains dan Teknologi UIN Walisongo Semarang
Manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung menyalahgunakannya. Apalagi, kalau kekuasaan itu absolut, pasti akan disalahgunakan. Demikian istilah lama yang dikemukakan John Emerich Edward (1887).
Kekuasaan memaksa elite politik untuk melakukan berbagai cara, mulai dari merebut hingga mempertahankan kekuasaan dengan cara apa pun, yang secara tidak sadar telah menjadi 'virus' yang merusak cara berfikir jutaan otak manusia di negeri ini.
Sikap serakah dan individualistis pun telah menjadi potokan utama dalam berpolitik di negeri ini. Hingga membentuk opini di kalangan masyarakat bawah melalui stigmanisasi yang begitu kuat bahwa mereka adalah orang-orang jahat.
Hal ini semakin diperparah oleh kalangan wakil rakyat kita yang seakan lupa daratan. Mereka seolah tidak menyadari bahwa sepak terjang dan setiap kebijakan yang mereka ambil menentukan nasib rakyat Indonesia.
Sayangnya, mereka tetap 'acuh tak acuh' dengan kelakuan buruknya yang selalu merugikan masyarakat bawah. Mereka tidak mempedulikan yang secara status sosial tak begitu menguntungkan keberlangsungan politiknya.
Lebih dari itu, hanya dimanfaatkan untuk mendukung dirinya dalam pencalonan memperebutkan kekuasaan dengan janji-janji manis yang tak akan dilaksanakan.
Pengamat politik yang senada dengan Marx berpendapat bahwa sesungguhnya realitas politik adalah realitas keberpihakan. Dalam kehidupan riil, paradigma politik akan menentukan pada siapa atau kelompok mana, realitas politik akan berpihak. Ini sangat jelas sekali jika melihat panggung politik di negeri ini yang selalu diisi dengan drama-drama konyol.
Dan, sebuah negara menurut Marx hanyalah sekedar panitia yang mengelola kepentingan kaum berkuasa secara menyeluruh, karenanya politik sebenarnya berkedudukan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. (Budiman, 1997) Dan memang begitulah realitas di negari ini sekarang, politik dan kekuasaan hanya milik elite semata yang selalu bertumpu pada berbagai kepentingan.
Maka, tak jarang, saling memojokkan sesama elite politik dianggap lumrah, yang kadang dengan sendirinya mendatangkan bencana bagi negaranya sendiri. Karena, dari awal memang sudah tidak sejalan yang kemudian dipaksakan untuk bekerja sama demi kepentingan kelompoknya.
Logika politik memang selalu berorientasi pada peningkatan kualitas hidup diri, pekerjaan, memperkuat pengaruh partai, uang untuk menghidupi anak dan istri, masa depan yang punya harapan. Karena, dengan politik mereka akan dapat melakukan apa saja, termasuk merugikan orang lain untuk kebutuhan dasar tersebut, melalui tindakan kriminal, membuat kerusuhan, hingga korupsi besar-besaran.
Lalu di mana politik untuk rakyat itu? Untuk orang susah? Tidak ada, meski sebenarnya orang susah sendiri tidak pernah ambil pusing dengan politik. Lihat saja, ketimpangan dan ketidakadilan terjadi di mana-mana, menjadi tontonan gratis, dan menjadi fakta empiris kegagalan negara dalam melakukan pemajuan kesejahteraan.
Logika membangun kesadaran rakyat dalam gerakan perubahan selalu kandas. Dalam realitanya, gerakan itu hanya sebatas wacana lalu menuai kebuntuan hingga menjadi samar dan tak berdaya. Rakyat pun menjadi tidak dominan dalam setiap gerakannya.
Sementara iklim politik di Indonesia saat ini sedang terjadi relasi das sein, di mana politisasi dominan terhadap produk hukum. Sehingga, logika kesadaran rakyat ini semakin tenggelam dan tidak menemukan pijakan yang kuat. Oleh karena itu, kendati kita punya peluang kecil, semangat kristalisasi kesadaran rakyat ini mutlak diperlukan.