Opini
OPINI Panggih Priyo Subagyo: Benang Kusut Bisnis Haram di Dalam Penjara
“Mereka para pedagang sabu keliling juga ngumpet-ngumpet jualannya. Itu bisa lancar karena ada peran bos-bos narkotika di dalam lapas
Oleh Panggih Priyo Subagyo,S.Psi
ASN Kementerian Hukum dan HAM
“Mereka para pedagang sabu keliling juga ngumpet-ngumpet jualannya. Itu bisa lancar karena ada peran bos-bos narkotika di dalam lapas yang rutin memberikan uang koordinasi (setoran) kepada petugas” ungkap seorang mantan narapidana Lapas Cipinang saat diwawancarai oleh Narasi Tv.
Pengakuan tersebut menunjukan kepada kita bahwa bisnis haram di dalam penjara masih sulit diberantas. Ini adalah permasalahan usang yang terus terjadi berulang tanpa ada ujung penyeselasaian.
Bisnis haram yang tumbuh subur di dalam penjara bukan hanya narkotika. Ada juga jual beli sel mewah, fasilitas mewah dan bilik asmara.
Sel penjara harusnya memiliki standar yang sama. Tidak ada perbedaan fasilitas kamar antar narapidana satu dengan lainnya. Namun kenyataanya beberapa narapidana memiliki fasilitas yang berbeda (mewah). Liat saja beberapa gambaran kondisi kamar mewah yang pernah ditayangkan di acara Mata Najwa. Dalam tayanganya nampak sel milik napi koruptor memiliki fasilitas seperti AC, WC duduk dan televisi.
Binis bilik asmara juga terjadi di dalam penjara. Para narapidana melampiaskan hasrat seksual dengan menyewa sebuah ruangan/kamar kepada oknum petugas. Salah satu kasus yang pernah terungkap adalah seorang artis yang mengaku membayar 650 ribu untuk menyewa bilik asmara. Kasus seperti ni sama saja dengan prostitusi di dalam penjara.
Tentu beberapa kejadian di atas bukan hanya terjadi di salah satu penjara saja. Kemungkinan terjadi di setiap penjara baik lapas ataupun rutan. Mengapa binis haram di dalam penjara ini bisa terjadi dan terus berulang?
Hilangnya Kebebasan
Salah satu konsekuensi dari hukuman pidana penjara adalah terbatasnya kemerdekaan seseorang. Lebih tepatnya pembatasan terhadap kebebasan yang dimiliki oleh narapidana. Mereka terkurung dalam bangunan yang secara fisik terpisah dari masyarakat. Para napi seolah mempunyai dunia sendiri dibalik tembok.
Pembatasan kemerdekaan para narapidana bertujuan untuk memberikan efek jera. Hal ini terkait dengan pelaksanaan sistem peradilan pidana yang menganut double track system. Di satu jalur hukum dilaksanakan sebagai upaya pembalasan agar jera. Pada jalur ke dua hukum bertujuan untuk proses pembinaan para narapidana agar mampu berintegrasi kembali dengan masyarakat.
Kebebasan di dalam penjara merupakan sebuah privilage bagi narapidana, memiliki barang mewah misalnya. Mungkin memiliki televisi dan memasang AC di kamar bukanlah hal yang mewah bagi kita. Namun kedua barang tersebut menjadi barang mewah ketika berada di dalam penjara.
Lalu apakah hal tersebut di perbolehkan? Tentu tidak. Memasukan barang dari luar kedalam lapas/rutan berpotensi menimbulkan gangguan keamanan dan ketertiban. Terlebih barang tersebut berkaitan dengan sesuatu yang dilarang, narkotika contohnya.
Pembatasan kemerdekaaan juga mengakibatkan para narapidana tidak bisa memenuhi kebutuhan seksual mereka. Akibatnya muncul perilaku seksual yang menyimpang di dalam penjara. Dalam beberapa kasus malah dimanfaatkan petugas untuk penyewaan bilik asmara. Tentu ini bisa disebut sebagai bisnis prostitusi.
Berharganya sebuah kebebasan di dalam penjara akan membuka celah kepada oknum pertugas untuk memanfaatkannyasebagai bisnis haram. Sudah menjadi rahasia umum bahwa masuknya barang terlarang ke dalam lapas/rutan bukan tanpa sepengetahuan petugas. Justru malah oknum petugas yang ikut bermain di dalamnya.
Miniatur Kehidupan
Bagi saya kehidupan di dalam penjara adalah miniatur kehidupan di dunia. Apa yang ada di luar juga pasti ada di dalam. Di luar ada hal-hal baik dan hal-hal buruk, di dalam lapas/rutan juga ada. Di luar ada penyalahgunaan narkotika, prostitusi, judi maka di dalam penjara juga ada.
Jika orang mengira bahwa di dalam penjara hanya berisi orang-orang jahat, itu salah besar. Banyak orang-orang baik yang tanpa sengaja melanggar hukum kemudian harus rela dipenjara. Lalu apakah orang yang tidak dipenjara semuanya orang baik? Tentu tidak. Memang tidak bisa dipandang secara hitam putih. Itulah mengapa lapas/rutan adalah miniatur kehidupan.
Manusia bukanlah benda mati yang bisa diatur seenaknya saja. Terlebih mereka adalah narapidana yang notabene mengalami disintegrasi dengan masyarakat. Sebaik apapun peraturan dibuat dan diberlakukan pasti ada celahnya juga.
Celah tersebut dimanfaatkan oleh mereka yang ingin mengeruk keuntungan. Oknum petugas yang butuh uang bertemu dengan napi berduit yang ingin membeli kebebasan. Maka terjadilah simbiosis mutualisme di antara keduanya. Petugas yang seharusnya menegakkan aturan malah berperilaku sebaliknya. Hal tersebut kemudian terjadi secara berulang-ulang sampai dianggap sebagai kebiasaan wajar yang dapat dimaklumi.
Itulah mengapa membasmi bisnis haram di dalam penjara bak mengurai benang kusut. Penyakit masyarakat seperti judi, prostitusi, minum minuman keras, narkotika akan sangat sulit dihilangkan. Peraturannya sudah jelas namun tetap saja tumbuh subur . Maka hal yang paling masuk akal adalah mengendalikannya.
Begitu juga dengan bisnis haram yang ada di dalam lapas/rutan. Sudah bukan saatnya untuk terus mengelak. Namun perlu dilakukan langkah-langkah konkrit yang langsung menyelesaikan akar permasalahan. Akar masalah yang pertama harus ditangani adalah oknum petugas.
Oknum petugas yang bermain ini seperti fenemone gunung es. Terlihat hanya sedikit yang terlibat, namun nyatanya banyak dan tersistematis. Biasanya ketika ada hukuman yang menerima hanya kroco-kroconya. Sedangkan pimpinan di atas yang juga terlibat tidak pernah tersentuh.
Sebenarnya solusinya sederhana tapi tidak pelaksanaanya, yaitu menegakan aturan. Aturan jelas sudah ada tinggal bagaimana eksekusinya. Sistem pengawasan internal harus benar-benar berfungsi dengan baik. Sistem dapat berjalan baik ketika orang-orang di dalamnya mempunyai integritas.
Integritas saat ini menjadi barang mewah, sulit ditemukan. Tentu itegritas pada seseorang tidak datang begitu saja. Diperlukan budaya kerja yang mendukung agar terjadi proses pembiasaan. Untuk membentuk orang-orang berintegritas dalam suatu organisasi harus dilakukan secara bersama-sama. Apabila dalam organisasi hanya satu dua yang memiliki integritas maka belum bisa menjawab permasalahan yang ada. Integritas harus dilakukan secara bersama-sama. (*)
Baca juga: Kanwil Bea Cukai Jateng Pastikan Persaingan Perusahaan Rokok Berjalan Adil
Baca juga: Pembunuhan Sadis Guru SMK di Aceh Terungkap, Pelakunya Kepala Dusun yang Sakit Hati Disebut PKI
Baca juga: CEO AS Roma Ungkap Alasannya Masih Percaya dengan Jose Mourinho Meski Timnya Tampil Buruk
Baca juga: Hotline Semarang : Masih Banyak Masyarakat Parkir Sembarangan