Membela Yana
Tiga Langkah Membela Yana Prank Cadas Pangeran: Argumentasi yang Bisa Membebaskannya (2-Habis)
YANA SUPRIATNA kasus Prank Cadas Pangeran sudah ditetapkan sebagai tersangka dan dijerat pasal 14 ayat (2) UU No 1 Tahun 1946.
Tapi adakah peluang Yana untuk bebas? Seperi saya katakan di tulisan awal, semua orang yang berhadapan dengan hukum pidana, ada kemungkinan, yaitu bersalah atau tidak bersalah. Jika bersalah masuk penjara, jika tidak bersalah ia bebas.
Semua itu tergantung bagaimana cara pembelaannya. Andai Yana didampingi pengacara, mungkin sang pengacara akan berpikir bagaimana argumentasi yang tepat untuk membebaskan atau setidaknya meringankan hukuman Yana.
Belajar kepada ahli hukum Romawi, Cicero, seperti dikutip James M. May (KPG 2021), ada dua sumber pembuktian dalam memenangkan perkara atau argumen.
Pertama, pembuktian tanpa keterampilan atau disebut non-artistic proof. Pembuktian ini artinya, si pembela membuktikan tanpa menggunakan keterampilan berargumen. Ia hanya mengandalkan dokumen-dokumen yang tak terbantahkan.
Dalam kasus Yana, penyidik, baik di kepolisian maupun di kejaksaan, bakal menyodorkan dua alat bukti, yaitu keterangan tersangka/terdakwa Yana, kesaksian istrinya, dan alat bukti petunjuk yaitu keberadaan Yana di Cirebon. Jelas Yana sulit membela diri kalau harus melawan pembuktian ini.
Pembuktian kedua disebut pembuktian persuasi, yaitu pembuktian berdasarkan keterampilan berargumen. Melihat karakter Yana, ia akan sulit melakukan pembuktian ini. Ia harus didampingi pengacara yang ahli beragumentasi. Pembela tipe ini dibutuhkan keluasan wawasan bukan saja soal-soal hukum, tapi juga bidang humaniora.
Pembuktian berdasarkan keterampilan berargumentasi akan keluar dari perdebatan berbasis dokumen atau alat bukti. Ia akan berargumentasi dengan masuk lebih dalam ke sekitar latar belakang, motivasi, suasana batin, karakteristik pelaku dan perbandingan dengan kasus lain yang peristiwanya mirip.
Dari sisi latar belakang atau motivasi, seperti dikatakan polisi, Yana melakukan hal tersebut untuk menghindari masalah keluarga dan pekerjaan. Ia sama sekali tak ada itikad atau niat untuk menimbulkan keonaran. Ada pun keonaran itu terjadi, betul-betul di luar prediksinya. Ia bisa saja sudah menduga istrinya melapor ke RT/RW atau polisi, tapi kalau untuk membayangkan betapa banyak jumlah manusia mencarinya, saya yakin di luar bayangannya.
Dari sisi karakter, seperti terlihat di poto dan televisi, Yana tipe orang yang polos. Ia bukan seorang organisatoris yang mempunyai kemampuan memobilisasi massa, apalagi aktif di partai. Ia juga tidak mempunyai lawan atau pesaing secara politik. Ia hanya seorang pria yang menghidupi anak dan istrinya dengan bekerja.
Lalu bandingkan dengan kasus Ratna Sarumpaet yang peristiwanya mirip. Bedanya, Ratna dijerat Pasal 14 ayat (1) yang ancaman hukumnya paling lama 10 tahun, tetapi kenyataannya hanya dua tahun, padahal ia dikenakan pasal berlapis.
Kasus Ratna Sarumpaet, selain dari alat bukti tak terbantahkan, dari segi pembuktian berdasarkan keterampilan ia sulit mengelak. Karakternya semua orang sudah tahu. Begitu pula aktivitas politiknya. Bahkan motivasinya, sangat beda jauh dengan Yana. Kalau Yana menghindari masalah, Ratna justru mencari masalah, dan keonaran yang ditimbulkannya kualitasnya jauh lebih gaduh dibandung kegaduhan Yana. Keonaran dalam kasus Ratna bernuansa politik, apalagi dari segi waktu sangat berkaitan erat, yaitu menjelang perhelatan politik atau pemilu/pilpres.
Melihat perbandingan dengan kasus Ratna Sarumpaet, kalau pun Yana apes dan dinyatakan bersalah, prediksi saya ia akan dihukum satu tahun masa percobaan 1 tahun. Hukuman percobaan artinya ia dinyatakan bersalah tapi tidak perlu masuk penjata. Kecuali ia mengulangi perbuatannya dalam rentang 1 tahun, ia langsung masuk penjara. (*)