Muktamar NU
Cerita Gus Yahya Kandidat Kuat Calon Ketum PBNU Saat Gantikan Kursi Presiden Gus Dur
Menjelang Muktamar NU, KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya menjadi perhatian publik karena disebut menjadi kandidat kuat Ketua Umum PBNU.
TRIBUNJATENG.COM, JAKARTA - Menjelang Muktamar NU, KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya menjadi perhatian publik karena disebut menjadi kandidat kuat Ketua Umum PBNU.
Dalam wawancara khusus dengan Wakil Direktur Pemberitaan Tribunnetwork Domu Ambarita, Sabtu (4/12/2021), Katib Aam PBNU ini menegaskan, tak berminat mencalonkan diri maju sebagai calon presiden RI pada perhelatan pemilu presiden 2024.
Bahkan dia menegaskan tetap tak akan mau meski dicalonkan oleh sejumlah partai politik.
"Menurut saya ini mutlak, saya pribadi tidak akan mencalonkan diri (jadi presiden) atau bersedia dicalonkan juga, tidak mau maju," ujar Gus Yahya, sapaan akrabnya.
Baca juga: Said Aqil Siradj Nyatakan Kembali Nyalon Ketua Umum PBNU
Bukan tanpa sebab penolakan pria yang pernah menjabat Dewan Pertimbangan Presiden periode 2014-2019 itu.
Dengan bercanda, Gus Yahya mengatakan dia sudah pernah menjadi presiden dan rasanya tidaklah enak.
Berikut petikan wawancara khusus Tribunnetwork dengan Gus Yahya :
Di era milenials anak muda yang sudah banyak di media sosial, mudah berkomunikasi. Apakah ormas seperti NU masih perlu?
Organisasi seperti Nahdlatul Ulama dan sebagainya, ini berfungsi dan menurut saya bertanggungjawab untuk menyediakan track perkembangan ini supaya antara masa lalu dan masa depan ini ada kesinambungan yang utuh.
Artinya ini bukan hanya soal bagaimana mengelola eksekusi kegiatan-kegiatan, tapi konten kegiatan itu sendiri.
Nah, kalau sekarang dikatakan bahwa ada banyak media-media baru, ada media digital yang semakin mendominasi, itu adalah media, adalah teknik baru di dalam mengeksekusi kegiatan, tapi kontennya, kontennya ini yang tetapi dibutuhkan dari panduan atau katakanlah inspirasi paling tidak dari organisasi-organisasi masyarakat yang di luar ini yang mereka ini yang menyambungkan masyarakat kita ini dari masa lalu ke masa depan.
Walaupun NU bukan parpol, perkembangannya pemilu 99 waktu Pilpres lewat MPR. Gus Dur masih ketua PBNU saat itu, kemudian 2004 Ketua PBNU KH. Hasyim Muzadi capres bu Megawati. Lalu kemudian 2019 Rais Aam PBNU jadi cawapres. Artinya NU masih belum lepas dari urusan politik?
Itu dia, ini karena konstruksi organisasi, itu bagiannya, harus kita akui kenyataannya memang secara mental sebagian besar aktivis NU masih punya orientasi ke sana (politik) walaupun dalam soal Gus Dur sebenarnya ini sangat unik situasinya.
Tapi kemudian dalam situasi normal ternyata masih juga ada orientasi ikut dalam berkompetisi dalam politik.
Ini menurut saya perlu diadress dikelola lebih lanjut supaya ada transformasi yang terarah menuju kembalinya NU sebagai organisasi keagamaan dan organisasi sosial kemasyarakatan.
Maka sejak awal saya nyatakan bahwa saya sama sekali tidak mau menjadi calon presiden atau cawapres di 2024, dan saya tidak ingin ada capres cawapres dari PBNU nantinya. Itu bagian dari upaya ini supaya bertransformasi betul supaya warga NU siap mental dan harus ke situ lagi.
Andai nanti Gus Yahya terpilih, apakah masih akan tertarik di politik? 2024 adalah tahun politik, Pilpres, pileg, pilkada.
Menurut saya ini mutlak, saya pribadi tidak akan mencalonkan diri atau bersedia dicalonkan juga, tidak mau maju.
Kenapa? Kan enak?
Oh, saya sudah pernah dan nggak enak. Serius saya sudah sampaikan di sejumlah media saya sudah pernah menjadi presiden RI. Pernah, serius, dan nggak enak.
Jadi sewaktu saya ikut Gus Dur sebagai juru bicara dalam konferensi OKI di Doha, Qatar, waktu itu sebetulnya saya nggak ada kerjaan. Beberapa hari cuma keluyuran saja di lobi, ketemu orang sana sini ngobrol.
Sementara yang boleh masuk mengikuti hanya boleh presiden dan menteri luar negeri. Jadi saya hanya berkeliaran saja di sekitar venue.
Waktu hari terakhir, sesudah sesi terakhir yang selesai sekitar jam 10 malam. Presiden keluar dengan menteri luar negeri dan disambut oleh para staf, termasuk saya ikut menggerombol di situ. Tiba-tiba Gus Dur bilang saya capek sekali. Saya sudah nggak kuat, saya mau istirahat saja.
Terus diingatkan bahwa ini cuma break sebentar, sesudah ini ada acara penutupan. Nggak, nggak saya sudah nggak kuat, mau tidur.
Tiba-tiba Gus Dur bilang itu biar Yahya saja yang masuk nanti, beliau bilang begitu. Ya orang kaget semua, biarin Yahya saja yang masuk kayak ini kondangan saja.
Orang kaget nggak bisa ngomong dan saya juga diam. Kemudian orang merasa nggak ada pilihan lain selain patuh.
Akhirnya saya masuk dengan Menteri Luar Negeri Pak Alwi Sihab. Sampai di sana itu setiap delegasi negara hanya disediakan dua kursi, untuk presiden dan menteri luar negeri. Saya sampai di sana bingung. Lho ini saya duduk di mana pak?
Disitu kata pak Alwi kan. Wah ini kursinya presiden, saya nggak berani, tukeran saja pak. Pak Alwi bilang nggak bisa, saya menlu saya harus duduk di kursi saya.
Lha terus saya gimana? Ya perintah presiden kamu duduk di situ. Akhirnya saya duduklah di kursi presiden.
Di belakang podium itu ada dinding besar yang dijadikan layar live itu.
Kamera itu tadinya shoot memutar dari jauh ke delegasi satu per satu. Lewatin saya, tapi lewatin saya sedikit balik lagi dia.
Tadinya kan longshot, terus di zoom in akhirnya saya diclose up sebesar tembok itu muka saya. Saya kan terus bagaimana rasanya itu.
Saya mau senyum malah kayak meringis, saya mau kelihatan serius malah kayak cemberut, jadi nggak karu-karuan saya.
Habis itu gambar kameranya turun menyorot name tag di depan saya, yang bertuliskan President of Republic Indonesia. Jadi sudah pernah saya dan serius nggak enak. (Tribunnetwork/Vincentius Jyestha)