KTT G20
Kala Mata Uang Digital Jadi Isu Hangat dalam G20
Mata uang digital atau Central Bank Digital Currency (CBDC) menjadi satu isu yang dibahas dalam Finance Central Bank Deputies (FCBD)
TRIBUNJATENG.COM, BALI -- Mata uang digital atau Central Bank Digital Currency (CBDC) menjadi satu isu yang dibahas dalam Finance Central Bank Deputies (FCBD) Meetings di Nusa Dua, Bali.
Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo mengatakan, satu yang masih digodok dalam rangkaian G20 itu adalah terkait desain CBDC.
“Terkait dengan infrastruktur interkoneksi yang penting dan pilihan teknologinya, apakah blockchain atau stable point,” katanya, pekan lalu.
CBDC itu juga erat kaitannya dengan digitalisasi sistem pembayaran. Dalam digitalisasi sistem pembayaran, utamanya adalah memperlancar dan mempercepat transaksi yang murah, dan berkaitan dengan langkah bersama untuk menyambungkan sistem pembayaran digital antarnegara.
Digitalisasi sistem pembayaran itu diharapkan bisa menurunkan biaya, mempercepat dan perluas akses, termasuk praktik-praktik pasar yang baik. Lewat digitalisasi, pembayaran akan mendukung digitalisasi ekonomi.
Dalam hal perekonomian, digitalisasi sistem pembayaran ini diharapkan mampu mendukung inklusi ekonomi dan keuangan.
Deputi Gubernur BI, Dody Budi Waluyo memandang, penerbitan CBDC ini juga makin maraknya digitalisasi dan makin berkembangnya mata uang digital yang dikelola oleh swasta (private sector).
“Banyak yang berkembang dan dikeluarkan oleh private, contohnya BItcoin. Dia relatif tidak punya collateral (jaminan),” ujarnya.
Sementara, dalam pertemuan tingkat deputi Kementerian Keuangan serta bank sentral alias Finance and Central Bank Deputies (FCBD) Meeting, negara-negara G20 pun mengungkapkan keuntungan maupun risiko yang ditimbulkan dari adanya CBDC ini.
Dari sisi manfaat, Dody menuturkan, mata uang digital ini membuat pergerakan menjadi lebih cepat dan lebih efisien. Selain itu, CBDC dinilai lebih murah alias tidak mengenal adanya biaya cetak.
Dari sisi risiko, menurut dia, terdapat risiko dari sisi makrofinansial yang perlu dipertimbangkan, karena CBDC akan memengaruhi pergerakan dari stok uang beredar dalam masyarakat tanpa adanya monitoring yang ketat.
Bank sentral juga berpotensi akan susah dalam melihat pergerakannya, apalagi kalau dalam rekening di luar bank sentral, sehingga ujungnya pada dampak likuiditas yang ditimbulkan dari adanya CBDC.
“Ujung-ujungnya, bisa berdampak pada inflasi, karena memungkinkan masyarakat melakukan konsumsi atau investasi, dan dilakukan tanpa kita bisa mengukur berapa besar likuiditasnya,” paparnya.
Dari sisi sektor keuangan, terdapat risiko shadow banking atau pinjaman yang tidak tercatat. Jal itupun sudah pernah terjadi di China, yang sebagian besar kegiatan transaksi dilakukan secara elektronik atau bank digital.
Dody menyebut, penerbitan CBDC ini juga makin maraknya digitalisasi dan makin berkembangnya mata uang digital yang dikelola oleh swasta (private sector).