Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Forum Mahasiswa

OPINI Gita Fajriyani : Darurat Predator Seksual Kampus

KASUS kekerasan seksual di Indonesia masih menjadi ruang problematik tersendiri. Mulai dari kasus kekerasan seksual yang terus terjadi,

Bram Kusuma
Gita Fajriyani 

Oleh Gita Fajriyani
Pemred LPM IDEA dan Mahasiswa UIN Walisongo

KASUS kekerasan seksual di Indonesia masih menjadi ruang problematik tersendiri. Mulai dari kasus kekerasan seksual yang terus terjadi, kemudian upaya pencegahan dan penanganan dalam payung hukum maupun nonhukum yang masih belum bisa menjawab problematika saat ini.

Urgensi kasus kekerasan seksual saat ini telah merambah pada ruang intelektual. Institusi pendidikan formal maupun nonformal, pendidikan dasar hingga perguruan tinggi, masih ada saja kasus kekerasan seksual, dan terus terjadi entah kapan berhenti.

Institusi pendidikan tinggi juga dirundung kasus kekerasan seksual. Layaknya bongkahan gunung es, banyak terjadi kasus kekerasan seksual namun tidak diketahui dengan berbagai alasan, misalnya faktor psikologis maupun stigma sosial.

Sebagaimana data yang dihasilkan dari survei Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) tahun 2020, menyebutkan 77 persen dosen menyatakan kekerasan seksual pernah terjadi di kampus dan 63 persen tidak melaporkan kasus yang diketahuinya kepada pihak kampus.

Kemudian data Komnas Perempuan sepanjang 2015-2020 yang menunjukkan, dari keseluruhan pengaduan kekerasan seksual yang berasal dari lembaga pendidikan, sebanyak 27 persen kasus terjadi di perguruan tinggi.

Selanjutnya data yang dihimpun dari Juni 2020 hingga 2021, oleh Direktorat Advokasi HopeHelps Universitas Indonesia (UI) mencatat ada 30 laporan kasus kekerasan seksual di lingkungan UI.

Selanjutnya, kasus pelecehan seksual yang sedang menjadi diskusi publik, mahasiswi FKIP Universitas Sriwijaya di Indralaya, Sumatera Selatan mengalami kasus pelecehan seksual oleh oknum dosen saat melakukan bimbingan skripsi di kampusnya.

Korban mengalami pelecehan seksual secara fisik, dan seterusnya menjijikkan hingga tak perlu ditulis di sini. (Kompas.com, 1/12/21).

Kasus lain, terjadi pada mahasiswi Universitas Riau (Unri) Jurusan Hubungan Internasional (HI) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), angkatan 2018 yang menjadi korban pelecehan seksual oleh Dekan Fakultas FISIP saat melakukan bimbingan skripsi di kampusnya.

Awalnya korban mengalami pelecehan sesual secara verbal, dengan dekan mengatakan "I love you" kepada korban. Dan seterusnya. (kompas.com, 18/11/21).

Kekosongan payung hukum

Melihat kondisi tersebut, Kemendikbud mengelurakan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbud) Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.

Beberapa alasan mendasari kemedikbud mengeluarkan peraturan tersebut seperti yang dilansir melalui tempo.com, darurat kekerasan seksual di lingkungan intelektual dan masih terjadi kekosongan payung hukum terhadap kekerasan seksual baik dalam hal pencegahan maupun penanganan di perguruan tinggi.

Selain itu, bukti dari kekerasan seksual baik secara fisik maupun saksi yang saat ini masih menjadi polemik. Namun dampak dari kekerasan seksual jelas terlihat terumata dalam psikologis korban.

Apakah permendikbud nomor 30 tahun 2021 mampu menjadi solusi terhadap polemik yang terjadi?

Kampus Tidak Aman

Kasus kekerasan seksual yang terjadi di ruang intelektual dan melibatkan para civitas akademik, turut menjadi perhatian dan sorotan.

Pasalnya sekolah salah satu tripusat pendidikan yang digunakan untuk membentuk nalar pengetahuan dan karakter seseorang.

Sekarang menjadi tempat yang sudah tidak lagi aman. Pendidikan menjadi tempat yang dirundung traumatik lantaran bayang-bayang perbuatan asusila yang membekas.

Selain itu, ruang intelektual juga digunakan untuk mempraktikan sebuah relasi kuasa antara civitas akademik dengan mahasiswa.

Kualitas waktu antara dosen dan mahasiswa yang semestinya digunakan untuk transfer pengetahuan sebagai bentuk pendidikan dan pengajaran.

Mengajarkan ilmu pengetahuan dan mendidik karakter menjadi manusia yang bijaksana, justru berbanding terbalik.

Mereka yang memiliki jabatan civitas akdemik dan dilabeli sebagai seorang intetektual justru memanfaatkannya untuk melakukan suatu tindakan di luar norma dan etika intelektual.

Padahal dalam filosofi Jawa, guru adalah seseorang yang perkataannya didengarkan (digugu) dan orang yang menjadi panutan (ditiru). Dimana dosen menjadi sosok cerminan dan pegangan bagi mahasiswanya.

Krisis Pendidikan Karakter

Melihat realitas ini, seakan telah memutarbalikan paradigma pendidikan yang selama ini dibangun.

Kasus kekersan seksual yang terjadi dalam ruang akademik telah membawa stereotip akan ketidakmampuan seorang intelektual dalam menjaga sikap maupun implementasi dari pengetahuannya.

Melihat tidak adanya keseimbangan antara nalar kognitif dan nilai afektif yang semestinya menjadi kunci jati diri seorang intelektual.

Pasalnya, menjadi terdidik dan terpelajar tidak hanya berporos pada landasan pengetahuan, namun adanya implementasi karakter yang mencerminkan sebagai seorang intelektaul.

Dimana implemetasi nilai karakter tidak hanya berlaku untuk mereka yang menyandang sebagai status mahasiswa. Melainkan semua kaum intelektual termasuk pendidik yang selama ini dijadikan sebagai role model pendidikan.

Hal ini sebagaimana esensialnya sebuah pendidikan, tidak hanya sebagai wadah untuk membangun kekuatan intelektual namun juga untuk membangun karakter para kaum intelektual.

Seperti ysng disampaikan oleh bapak pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara dalam pendidikan memperhatikan keseimbangan cipta, rasa, dan karsa.

Tidak sekadar proses transfer of knowledge, tetapi sekaligus pendidikan juga sebagai proses transformation of value.

Pendidikan merupakan proses pembetukan karakter manusia agar menjadi sebenar-benar manusia.

Orang yang memiliki kecerdasan budi pekerti, dalam melakukan setiap tindakan keputusan juga menggunakan nalarnya untuk memikirkan dan mempertimbangkan ukuran maupun dasar normalitas yang berlaku di sekitar kita. (*)

Baca juga: Hotline Semarang : Kendaraan Kecil dan Sepeda Motor Dilarang Melintasi Jalan Aloon-aloon Barat?

Baca juga: 3 Siswi SMK di Tangsel Dilecehkan Pegawai Kelurahan saat PKL

Baca juga: Fokus : Timnas Indonesia Digembosi?

Baca juga: 2 Pejabat Dicopot Buntut Kaburnya Napi Narkoba dari Lapas Tangerang

Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved