Mom N Kid
Ucapan Kata Sederhana, Manfaatnya Luar Biasa, Begini Cara Membiasakan untuk Anak dalam Keseharian
Semenjak kecil, orangtua perlu membangun mental anak melalui komunikasi dengan prinsip membiasakan pengucapan kalimat atau kata-kata positif.
Penulis: M Nafiul Haris | Editor: moh anhar
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Menyadari bahwa, dalam menumbuhkan kepercayaan diri anak tidak muncul begitu saja sehingga perlu dibangun sejak dini membuat Nur Afida (29) senantiasa memberikan afirmasi positif ke anaknya Ein Juvenal Ariwibowo (7) dan Ehren Zwei Ganendra Ariwibowo (5).
Semenjak kecil, terhadap keduanya melalui komunikasi yang dibangun selalu didasari pengucapan kalimat atau kata-kata positif.
Nur Afida mengatakan kepercayaan diri seseorang merupakan modal utama untuk menumbuhkan life skill anak.
Sehingga, hal itu membuatnya sangat berhati-hati bahkan menghindari pengucapan kalimat dengan bahasa kurang mengapresiasi.
Meskipun demikian, sebagai orangtua tidak memanjakan anak namun lebih memilih kalimat tidak berpotensi melukai.
Baca juga: Tak Terima Pelaku Pencabulan Anak Mau Kabur, Lapor Polisi Dicueki, Ibu Korban Tangkap Sendiri Pelaku
Baca juga: Tongkrongan Baru di Kota Semarang, KAJ Hadir dengan Konsep Baru dan Modern, Ada di Jalan Gajahmada
“Misalnya saat anak saya menggambar, lalu hasilnya kurang bagus, atau susah diberi pengertian, saya selalu menghindari bahasa-bahasa atau pengucapan kamu bandel, rewel, gambarmu jelek dan sebagainya. Karena, saya percaya menghindari hal itu dapat membantu tumbuh kembang anak lebih baik terutama dari sisi kepercayaan diri,” katanya
Ia menambahkan, selalu mengedepankan konsep tree magic word ,seperti mengucapkan kata maaf manakala membuat kesalahan, kemudian meminta tolong ketika membutuhkan bantuan, dan menyampaikan terimakasih apabila menerima sesuatu baik barang atau pun perlakuan.
Dia meyakini, dengan konsep itu karakter serta emosional seorang anak dapat terbangun secara maksimal yang mana dalam jangka panjang tingkat kepercayaan dirinya juga berkembang baik.
Lebih lanjut, orangtua musti mengimbangi pola afirmasi positif dengan tindakan langsung.
“Tindakan langsung misalnya dia saya ikutkan lomba menyanyi, jika menang saya janjikan pergi ke kebun binatang.
Tapi, kenyataan mengalami kekalahan namun tetap juga saya ajak ke kebun binatang atau tempat lain tujuannya mengapresiasi usaha yang telah dilakukan. Jadi, kira-kira kayak begitu yang dilakukan,” terangnya
Nur Afida menyatakan, dengan orangtua memberikan afirmasi positif ke anak secara berulang-ulang dan terus menerus dipercaya anak nantinya juga akan menghargai setiap pencapaian yang dilakukan.
Tidak hanya itu, dari perkembangan anaknya secara emosional stabil ketimbang teman sebayanya yang gampang marah diikuti ekspresi berteriak.
Baca juga: Gadis Bulukumba Melawan saat Dirudapaksa di Kamar Mandi, Pelaku Kabur saat Pintu Jebol Ditendang
Baca juga: Tanpa Bleaching Ini Bahan Alami Putihkan Gigi Penunjang Penampilan Glowing
Hal yang sama juga dilakukan Wahyu Mintarti (32) terhadap anaknya Abiyasa Alfian Zakkiyudin (7).
Terhadap anaknya, mulai menerapkan afirmasi positif semenjak bisa diajak berkomunikasi meskipun masih dalam bentuk isyarat.
Wahyu mengungkapkan, selain memiliki manfaat positif terhadap perkembangan karakter serta kepercayaan diri anak afirmasi positif membuat anaknya memiliki simpati dan empati ditambah sabar.
“Yang saya lihat anaknya tenang, sabar. Jadi, dia tahu ketika teman bermainnya ingin meminjam mainan begitu dia memberi respon meminjamkan tanpa anaknya meminta. Selain itu, afirmasi saja sebenarnya tidak cukup jadi orangtua juga harus memberikan contoh tindakan,” ujarnya
Pihaknya menjelaskan, meski peran afirmasi positif dianggap kecil tetapi sebagai dasar menurutnya sangat penting.
Sebab, pengaruh lingkungan sekarang dampak adanya perkembangan teknologi membuat tumbuh kembang anak lebih cepat khususnya mengetahui bahasa-bahasa orang dewasa walaupun tidak memahami maksudnya.
Ibu satu anak itu melanjutkan, selain pengucapan kalimat-kalimat positif dan menghargai tidak jarang dia memberikan tontonan yang mengasah emosional anak baik berupa animasi kartun atau model percakapan.
Pada kondisi sekarang kata dia, banyak metode membangun kepribadian anak tetapi yang utama dari parenting orangtua tidak menimbulkan anak stres.
“Paling kalau saya begitu-begitu saja. Dengan terbiasa kita ucapkan kalimat-kalimat positif anak juga mudah diberi pengertian, lebih kayak bersyukur saja jika saya lihat.
Tapi, yang utama anaknya senang tidak stres. Jadi, afirmasi positif sebenarnya bagi saya pribadi lebih kayak mendoktrin anak saja untuk terus pikirannya positif,” jelasnya.
Orangtua Harus Terlibat Aktif
Henny Setyawati MPSi, Psikolog RS Columbia Asia Semarang, memaparkan, ketika bayi berusia enam bulan pada dasarnya sudah mulai berinisiatif.
Sehingga, untuk perkembangan anak orangtua tidak cukup dengan memberikan afirmasi positif.

Melainkan, anak butuh melihat ekspresi kasih sayang orangtua untuk membangun harga dirinya, butuh melihat bagamana perilaku orangtua mensupport, bukan sekadar kata-kata.
Maka, orangtua harus terlibat aktif dalam interaksi secara positif dengan anak seperti membalas atau memberikan respon terhadap bayi supaya tumbuh rasa berharga, dan perasaan mampu.
Sebab, bayi yang diasuh dengan tercukupi kebutuhan emosionalnya, akan mengembangkan perasaan berharga (harga diri), perasaan mampu, dan juga mengembangkan kekebalan psikologis (emotional resilience).
Tapi, sebaliknya, jika kebutuhan emosional anak semasa kecil tidak dicukupi dengan baik, semua itu tidak berkembang, dan afirmasi positif bisa dibilang tidak akan mengubah apapun.
Karena itu, yang lebih baik daripada afirmasi positif adalah menilai, mengevaluasi dengan detail. Misalnya, ketimbang hanya mengatakan kepad anak "kamu pintar", lebih baik tunjukkan secara jelas, apa yang bagus, seperti anak bisa menghafal urutan bagian tubuh organ pencernaan.
Dengan detail, anak akan lebih terbiasa mengevaluasi secara spesifik, bukan general. Harus diakui, afirmasi positif melalui kalimat kata-kata atau ucapan bisa membangkitkan semangat, seolah-olah seperti memerintahkan diri untuk taat sesuai kata-kata itu.
Tetapi, tidak menyelesaikan kecemasan yang ada dibaliknya seperti orang yang tidak percaya diri, tidak yakin dengan kemampuannya banyak sebabnya karena latar belakang masa bayi sampai kanak-kanak dimana pola pengasuhan, inisiatif bayi kurang direspon secara positif lantaran kekurangan proses pembelajaran atau standar diri yang terlalu tinggi.
Baca juga: Viral Video Satpam Tersambar Petir, Ini 10 Langkah Menghindari Bahaya Petir, Matikan Alat Elektronik
Baca juga: Ganjar Gowes Bersama Dirgakkum dan Dirut Jasa Raharja, Bagi Bingkisan ke Petugas Jaga Posko Nataru
Jadi, untuk mengatasi masalah harus ke sumbernya tidak bisa dengan afirmasi positif saja. Ekspresi kasih sayang berupa senyuman, tatapan mata antusias, pelukan, ciuman, dukungn saat anak berinisiatif, orangtua menghargai keinginan anak, usaha anak untuk mencoba walau hasilnya tidak sebagus harapan orangtua sangat penting.
Sehingga, kecemasan harus diselesaikan dengan menyusun strategi realistis, bukan cuma berkata-kata menyemangati diri meskipun itu juga tindakan positif. Namun, umumnya kesalahan adalah orang mengingkari rasa cemas.
"Sedangkan, rasa cemas harus disadari, diterima, dipikirkan baik-baik kemungkinan buruk yang dicemaskan supaya bisa melihat secara detail sehingga menemukan langkah yang bisa dilakukan untuk mencegah atau menghadapi hal buruk itu," papar Henny Setyawati. (*)