Lingkungan Hidup
Pencemaran Udara Jakarta Masih Melebihi Ambang WHO, Kehidupan Masyarakat Terancam
Jakarta sebagai salah satu kota dengan polusi udara terburuk di Indonesia memiliki risiko kesehatan yang tinggi bagi pekerja informal
Oleh: Diva Mahardikawati, Habibah Nurul Rahmah, Novia Dwiyanti, Nuranida Fauziyah
UDARA merupakan hal penting untuk menunjang kehidupan manusia dan makhluk hidup lain, tetapi bagaimana jika udara yang dihirup beracun? Data terbaru dari WHO melaporkan secara global 1 dari 8 orang meninggal setiap hari akibat pencemaran udara. Orang-orang yang tinggal pada daerah dengan kualitas udara buruk dan penuh polusi terpaksa harus menghirup udara tersebut yang dapat menyebabkan sesak napas hingga terancam kematian. Padahal manusia berhak untuk menghirup udara yang bersih.
Jakarta sebagai salah satu kota dengan polusi udara terburuk di Indonesia, memiliki risiko kesehatan yang tinggi bagi pekerja informal yang harus bekerja di luar ruangan dan harus menghirup udara beracun setiap harinya. Mereka termasuk kelompok rentan yang seharusnya dapat menjadi prioritas pemerintah untuk melakukan perbaikan kualitas udara di kota metropolitan ini.
PM2.5 dan Kesehatan Manusia
Menurut laporan State of Global Air 2019, polusi udara adalah faktor risiko kematian tertinggi ke-5 pada tahun 2017 secara global. Salah satu komponen polusi udara luar (ambient) adalah PM2.5 yaitu partikel berukuran kurang dari 2,5 mikrometer. Partikel-partikel ini mampu menembus jauh ke dalam saluran pernapasan dan menyebabkan kerusakan kesehatan yang parah.
WHO menyatakan bahwa penduduk yang tinggal di lingkungan dengan konsentrasi rata-rata PM2.5 10 g/m3 per tahun memiliki risiko lebih tinggi terhadap kematian akibat kanker paru dan jantung. Polusi udara ambien di kota dan daerah pedesaan diperkirakan menyebabkan 4,2 juta kematian dini di seluruh dunia per tahun pada tahun 2016 akibat PM 2.5. Indonesia termasuk negara yang tercatat memiliki tingkat polusi paling tinggi dan berada di urutan 18 dari 220 negara dalam Indeks AQI. Nilai rata-rata konsentrasi partikel di tingkat nasional adalah sebesar 21,6 µg/m⊃3;.
Gugatan Masyarakat terhadap Polusi Udara di Jakarta dan UU Polusi Udara
Pada pertengahan tahun 2021 Majelis hakim Pengadilan Jakarta Pusat mengabulkan gugatan masyarakat terkait polusi udara terhadap pemerintah. Masyarakat menggugat pemerintah karena melanggar UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup. Hakim menyatakan bahwa tergugat yaitu Presiden Joko Widodo, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Kesehatan, dan Gubernur DKI Jakarta, melakukan perbuatan melawan hukum yang berkaitan dengan polusi udara.
Selain UU Nomor 32 tahun 2009, Indonesia memiliki regulasi lain yang mengatur pencemaran udara, salah satunya adalah PP Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Dalam PP tersebut dijelaskan mengenai bagaimana pencegahan atau penanggulangan pencemaran udara serta pemulihan mutu udara. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga berkomitmen untuk fokus terhadap pengendalian pencemaran udara. Hal ini dibuktikan dengan dikeluarkannya Permen Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 14 tahun 2020 tentang Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU).
Pada Permen tersebut, perhitungan ISPU dihitung pada tujuh parameter, salah satunya PM 2,5. Permen tersebut merupakan perkembangan dari Peraturan-peraturan yang sudah ada sebelumnya. Kategori ISPU untuk PM2.5 antara lain adalah baik (0-50), sedang (51-100), tidak sehat (101-199), sangat tidak sehat (200-299), dan berbahaya (300-lebih). ISPU di negara lain dikenal sebagai Air Quality Index (AQI).
Gugatan yang telah dikabulkan tidak begitu saja langsung membawa perubahan. Pada kenyataannya, hingga Bulan November 2021 Air Quality Index (AQI) di Jakarta masih tergolong buruk. Bahkan Jakarta termasuk ke dalam urutan kedua dari 10 kota dengan AQI terburuk di Indonesia dan menempati urutan ke-14 dari 50 kota-kota besar di seluruh dunia.
Pada 9 November 2021, tercatat AQI 104 dan kadar pm 2.5 sebesar 36.8 µg/m⊃3; yang telah melebihi ambang batas dari WHO sebesar 25 µg/m3 untuk rata-rata 24 jam. Selain itu, WHO menyatakan bahwa pajanan jangka panjang bagi mereka yang hidup di atas konsentrasi PM 2.5 rata-rata tahunan 10 g/m3 (mikrogram per meter kubik) berisiko lebih tinggi terhadap kematian akibat kanker paru dan jantung.
Tindakan yang Diharapkan dari Pemerintah
Perubahan polusi udara dalam 1 bulan mungkin memang tidak memungkinkan, akan tetapi karena tingkat polusi udara masih mengancam kesehatan penduduk Jakarta, pemerintah harus bertindak segera dalam penanganan pencemaran udara. Pemerintah diminta untuk ikut menerapkan hukum dalam implementasi kebijakan polusi udara dan mengubah nilai baku mutu nasional polusi udara agar dapat menjamin kesehatan masyarakat.
Penerapan hukum dapat dibantu dengan peningkatan jaringan pemantauan polusi udara di daerah Jakarta dan sekitarnya untuk mendapatkan data penunjang polusi udara. Data ini nantinya dapat digunakan untuk mempertimbangkan intervensi yang harus dilakukan.