Smart Women
Dorongan Perasaan Senasib, There Jadi Relawan Kemanusiaan Terinspirasi Putri Semata Wayangnya
Theresia Retno Widayatsih mendermakan diri dalam kegiatan sosial mulai dari pendampingan kelompok difabel hingga aksi penghijauan.
Penulis: M Nafiul Haris | Editor: moh anhar
TRIBUNJATENG, SEMARANG - Perasaan sedih yang begitu berat pernah dialami Theresia Retno Widayatsih (59).
Bagaimana tidak.
Setelah suaminya meninggal dunia pada tahun 2005 karena menjadi korban tabrak lari, tidak lama kemudian anak perempuannya jatuh sakit dan divonis menderita osterosarcoma atau kanker tulang ganas.
Tidak berselang lama, anak perempuan satu-satunya itu pun akhirnya meninggal dunia.
There, begitu sapaan akrabnya, mengatakan, berdasarkan pengalaman pahit masa lalu yang dialaminya tersebut, kini ia pun mendermakan diri dengan melakukan berbagai kegiatan sosial mulai dari pendampingan kelompok difabel, terlibat dalam aksi penghijauan alam, dan lain sebagainya walaupun usianya tidak lagi muda.
“Jika ditanya motivasinya apa, tidak ada. Jadi saya berpikir jangan sampai ada orang bernasib sama dengan anak saya itu saja, awalnya. Sejak itu, saya pun aktif mendampingi teman-teman difabel dan orang yang memiliki masalah kesehatan serupa yang dialami anak saya, selalu saya dorong untuk dilakukan amputasi. Jika tidak, malah sebaliknya bisa jadi nyawanya tidak tertolong,” katanya.
Dia menyatakan, saat kehilangan keluarganya itu merasakan betul bagaimana rasanya harapan hidupnya pupus. Sehingga, untuk bangkit normal kembali membutuhkan waktu lama.
Tidak ingin apa yang dialaminya tersebut menimpa orang lain.
Ditambah, semasa hidup anak perempuannya memiliki cita-cita ingin menjadi seorang motivator bagi orang-orang difabel.

Tetapi, takdir memiliki kehendak lain maka hal itu lah yang sekarang coba dilanjutkan.
Ia menambahkan, akibat perasaan kehilangan yang begitu mendalam tersebut, dirinya sempat mengalami trauma setiapkali mendengar kabar atau hal-hal menyangkut penyakit kanker.
Bahkan lanjutnya, untuk memulihkan kondisi psikologisnya seringkali dirinya mau tidak mau melakukan konsultasi ke psikolog.
“Lalu kata psikolog saat itu, justru saya tidak boleh menghindar ketika mendengar kalimat kanker. Kemudian saya dikenalkan dokter yang dulu merawat anak saya dengan penderita penyakit serupa untuk peduli.
Akhirnya, saya memiliki keberanian dan terjun ke dunia sosial kerelawanan sekaligus memotivasi orang-orang difabel.
Jadi orang-orang yang senasib, selalu saya dorong untuk kakinya diamputasi, dari sana pula saya mulai terlibat advokasi seperti mencarikan donatur sampai sekarang, termasuk bantuan kaki palsu,” terangnya
There menyampaikan, aktif mendampingi orang-orang difabel persisnya dimulai sekira tahun 2012.
Tidak hanya orang penderita kanker tulang, melainkan juga mereka korban kecelakaan lalulintas maupun kecelakaan kerja sebagian diantaranya diangkat menjadi anak asuh terutama yang tidak memiliki orangtua.
Lulusan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Semarang tersebut melanjutkan, konsisten aktif dalam gerakan-gerakan sosial kemanusiaan tidak lain sebagai upaya membayar hutang budi di masa lalu.
Sebab, saat suami dan anaknya meninggaldunia banyak orang memberikan dukungan serta sejumlah bantuan.
Hal itu, membuatnya merasa perlu meneruskan kepada yang lain dengan harapan kebaikan yang pernah diterimanya tersebut tidak putus ditengah jalan.
“Saat saya terpuruk banyak orang membantu, tidak hanya dari Salatiga, adapula dari Jakarta.
Mereka, kayak membuat open donasi di media sosial untuk saya. Jadi, apabila mengenang saat itu saya merasa perlu dan harus melanjutkan itulah mengapa kegiatan sosial baik lewat organisasi yang saya dirikan atau organisasi lain terus kami lakukan,” ujarnya.
Dirikan Organisasi Sosial
Selain sehari-hari aktif sebagai guru pada sekolah negeri di Kota Salatiga Theresia Retno Widayatsih (59) juga merupakan pendiri organisasi sosial bernama Insan Berbagi Salatiga (IBS) yang salah satu programnya, yakni memberikan menu sarapan gratis untuk masyarakat kurang mampu dengan sistem prasmanan.
There memaparkan, ide memberikan sarapan gratis dengan sistem prasmanan secara kontinyu setiap Minggu di Alun-alun Pancasila Salatiga dilakukan sejak tahun 2019 tersebut bagian dari upaya memberikan kesempatan kepada warga kurang mampu, tukang becak, pedagang kaki lima dan kelompok marginal lain untuk merasakan makanan enak.
“Tetapi, semenjak adanya pandemi kemarin program kami rubah pelaksanaannya dengan mendatangi langsung pondok pesantren maupun panti asuhan. Karena, jika masih tetap sistem lama bisa memicu kerumunan malah menjadi masalah, karena yang datang banyak jumlah yang kami sediakan ada sekira 300 porsi setiap minggu,” imbuhnya
Ibu empat anak tersebut bercerita, mengenai pembiayaan kegiatan sosial sarapan gratis dilakukan secara suka rela atau gotong royong.

Sebelum acara sarapan gratis berlangsung melalui media sosial dihimpun menu makanan dan bagi orang yang ingin turut berpartisipasi dibebaskan mengirimkan bentuk makanan jadi atau uang untuk dibelanjakan.
Perempuan asal Kota Salatiga itu mengaku, untuk menghindari fitnah setiap kegiatan dilakukan dokumentasi baik berupa foto maupun video kemudian di unggah ke media sosial miliknya juga akun IBS.
Hal itu, bertujuan sebagai laporan kepada para donatur sekaligus menggerakkan masyarakat lain supaya turut berpartisipasi.
“Ceritanya banyak kalau disampaikan semua, suka dukanya pun hampir sama karena aktif di kegiatan sosial ini saya lakukan sejak 2012. Kemudian di tahun 2018 kami dengan kawan-kawan yang peduli difabel pernah membuat acara Hari Disabilitas Internasional mandiri tanpa biaya pemerintah. Puji Tuhan, tahun 2019 saya mendapat penghargaan bertepatan hari ibu dari Wali Kota Salatiga sebagai perempuan peduli difabel,” ucapnya
There mengungkapkan, dari organisasi yang didirikannya itu semula beranggotakan kurang lebih sepuluh orang sampai sekarang menjadi 250 orang.
Mereka, tidak hanya berasal dari Kota Salatiga melainkan pula asalnya daerah tetangga seperti Kabupaten Semarang dan Boyolali yang turut bergabung atas dasar memiliki kesamaan peduli sosial.
Dia melanjutkan, motivasi mendirikan organisasi yang bergerak dibidang sosial tidak lain karena ingin menjadi perajut kebaikan satu dengan kebaikan lainnya.
Pasalnya, pengalaman masa lalu ketika mengalami kesulitan kemudian menerima banyak bantuan dari orang-orang yang tidak dikenal baginya suatu hal yang sangat berkesan dan sulit dilupakan.
“Bahkan dulu sampai Walikota Salatiga juga mengirim bantuan saya ini merasa bukan siapa-siapa hanya seorang guru. Di sini, saya merasa Tuhan itu sangat baik kepada saya bantuan juga saya terima dari Katedral Semarang pokoknya luar biasa. Nah, saya ini merasa harus membalas ini semua, sedangkan tidak semua saya kenal atau butuh. Kemudian, itu menjadi tekad saya membantu siapapun tanpa peduli dia siapa, agamanya apa maksudnya begitu,” paparnya
Diluar itu lanjutnya, ketika secara fisik masih kuat juga turut aktif berkegiatan sosial lingkungan seperti penanaman pohon di lereng Gunung Merbabu dan turut mendirikan komunitas Salatiga Peduli.
Semasa terjadi erupsi di Gunung Kelud dirinya ikut terlibat sebagai relawan, lalu ketika Gunung Merapi meletus sekira tahun 2010 juga melakukan penggalangan dana.
Cita-cita
Menjadi seorang relawan kemanusian dengan aktif melakukan pendampingan kelompok difabel serta mengikuti berbagai kegiatan sosial kemanusiaan tidak pernah terbayang dalam benak Theresia Retno Widayatsih (59).
Semasa kecil, dirinya bercita-cita menjadi anggota Korps Wanita Angkatan Darat (KOWAD) TNI.
Tetapi keinginan itu tidak mendapat restu dari orangtuanya.
Kemudian, pilihan lain berkarya di bidang entertainment lantaran memiliki hobi menyanyi.
Namun, lagi-lagi keinginannya itu kandas dan perjalanan hidup membawanya pada dunia kerelawanan dan kemanusiaan.
There menyatakan, pandangan negatif orangtua terhadap profesi yang diinginkan seperti menyanyi, menari, maupun menjadi penyiar dinilai menjadi penghalang.
Adapun mengenai minat bergabung di KOWAD semasa itu banyak kabar menjadi anggota TNI, meskipun perempuan lekat dengan perilaku kekerasan sehingga orangtuanya akhirnya memintanya menjadi seorang guru.
“Jadi semua yang saya inginkan itu akhirnya terwujud, namun terlambat ketika usia tidak lagi muda. Tahun kemarin terakhir kalinya saya menjadi penyiar di Radio Suara Salatiga. Untuk menyanyi dan lainnya ya menjadi hiburan menikmati masa tua sekarang,” jelasnya
Lulusan Diploma 2 IKIP Sanata Dharma Yogyakarta itu mengaku meskipun segala yang pernah dicita-citakan dapat dibilang terwujud tetapi momennya sudah terlambat semua pencapaian tersebut sangat disyukurinya.
Hal serupa juga berlaku dengan aktivitasnya didalam kegiatan sosial kemanusiaan.
Diakuinya, menapaki jalan kerelawanan tidaklah mudah, meskipun didasari semangat membantu sesama yang membutuhkan.
Tetapi, banyak pihak pula yang menaruh curiga kerap menerima fitnah dan lain sebagainya.
Namun, ia tidak mempedulikan anggapan orang-orang yang lebih banyak menilai apa yang dilakukan bagian dari mencari perhatian dan lainnya.
“Saya percaya Tuhan akan membuktikan siapa yang salah dan benar. Walaupun dulu sekali pas awal-awal saya sempat emosi, tapi setelah sekian tahun berjalan saya cuek saja.
Yang paling menyakitkan, dulu sebelum mendirikan IBS, saya bergabung dengan Komunitas Dapur Sejiwa untuk cabang Salatiga. Setelah berjalannya waktu, kegiatan kami di Salatiga lebih produktif dan Ungaran sepi, singkatnya saya difitnah memakai dana organisasi senilai Rp 39 juta,” kenangnya
There menyebutkan, pengalaman itu merupakan suatu hal yang dianggap paling kejam dari perjalanan kerja-kerja kemanusiaan yang dijalaninya.
Sebab, selain namanya menjadi buruk di lingkaran orang-orang aktivis sosial kemanusiaan, dampaknya dirinya dikeluarkan dari organisasi yang pada masa-masa awal dirintis olehnya.
Kemudian, dalam perjalanannya bersama sejumlah orang yang memiliki kesamaan tertarik pada kegiatan-kegiatan sosial membentuk IBS.
Sebaliknya, komunitas lama yakni Dapur Sejiwa gaungnya tidak bertahan lama dan menjadi pasif.
Di satu sisi, IBS terus berjalan sampai sekarang dan banyak orang percaya donasinya dikelola secara baik serta lebih terbuka.
“Berkaitan dengan saya yang juga guru dari apa yang saya lakukan di luar bisa memberi gambaran kepada murid-murid saya di sekolah bahwa mempelajari ilmu pengetahuan saja tidak cukup. Namun, perlu bagaimana ikut andil dalam persoalan riil di masyarakat dengan begitu sebagai manusia menjadi pribadi yang bermanfaat,” tandasnya
Terhadap pemerintah dan juga masyarakat secara umum lanjutnya, diharapkan mengakui keberadaan kelompok difabel serta bersama-sama mendorong kesempatan bekerja setara dengan yang normal.
Kemudian, karena pentingnya keterampilan terapi hendaknya pula pemerintah mulai menggalakkan pelatihan bagi orangtua dengan anak difabel supaya kedepan mereka bisa menterapi anaknya secara mandiri. (*)
Biodata narasumber
Nama : Theresia Retno Widayatsih
Tempat dan tanggal lahir : Klaten 15 September 1962
Hobi : Menyanyi dan Penyiar
Organisasi : Insan Berbagi Salatiga (IBS)