Cerita Inspiratif Tukang Servis Payung Semarang, Pernah Diupah Rp 1000, Tak Mau Mengemis
Iswanto (56) menekuni jadi tukang servis payung keliling Semarang sejak 36 tahun lalu.
Penulis: iwan Arifianto | Editor: Daniel Ari Purnomo
TRIBUNJATENG.COM,SEMARANG - Iswanto (56) menekuni jadi tukang servis payung keliling Semarang sejak 36 tahun lalu.
Ia mengaku, telah menggeluti pekerjaan tersebut sejak usianya 20 tahun atau pada tahun 1985.
Ketika itu berawal dari ikut orang, ia belajar dari orang tersebut hanya selama dua hari.
Selepas itu, ia memberanikan diri berkeliling sendiri.
"Iya modalnya belajar dulu. Ngamati habis itu praktik langsung. Belajar sambil jalan," terangnya kepada Tribunjateng.com, Jumat (18/2/2022).
Pada masa awal bekerja, setiap kali servis payung masih diupah Rp1.000.
"Masa zaman keemasan servis payung terjadi tahun 90an atau masa reformasi 1998 sampai tahun 2000an sebab saat itu banyak orang tak kuat beli payung baru," katanya.
Ia mengaku, kini setiap hari mampu kantongi pendapatan bersih sampai Rp100 ribu.
"Kalau musim penghujan seperti sekarang sehari dapat Rp100 ribu lebih," bebernya.
Ia mengatakan, kondisi berbeda terjadi ketika saat musim panas.
Dalam kondisi tersebut, uang yang ia peroleh seringkali hanya cukup untuk biaya operasional seperti biaya naik bus dan makan.
"Tapi sepanjang kita mau keliling pasti dapat rezeki," bebernya.
Pria dua anak itu mengaku, mematok tarif jasa serving payung mulai dari angka Rp12.500 untuk kerusakan biasa di payung kecil.
Harga lebih mahal dipatok untuk payung lebih besar dengan kerusakan lebih rumit.
Di kondisi seperti itu, ia memasang tarif dari Rp15 ribu sampai Rp20 ribu.
"Tergantung ukuran dan kerusakan payung. Kalau payung kecil kerusakan rangka hanya di satu titik ya murah juga," terangnya.
Ia juga kadang mendapatkan orderan untuk servis payung besar yang digunakan para Pedagang Kaki Lima (PKL).
Untuk jenis payung itu memang butuh keahlian dan peralatan lebih sehingga dipatok lebih mahal.
"Satu payung bisa sampai Rp50 ribu. Kemarin ada PKL yang perbaiki empat payung. Jadi lumayan bisa dapat Rp 200 ribu sekali jalan," paparnya.
Ia menjajakan servis payung dengan cara berkeliling ke kawasan padat penduduk di kota Semarang.
Namun hanya di area Semarang Tengah, Semarang Barat, Ngaliyan, Semarang Utara dan sekitarnya.
"Tidak sampai ke area Semarang Timur, saya cukup di wilayah Semarang Barat saja," terangnya.
Ia mengatakan, berangkat dari rumahnya di Kliris, Boja, Kendal, mengendarai sepeda motor.
Kemudian motor itu dititipkan di wilayah Cangkiran.
Habis dari Cangkiran, ia menaiki Bus BRT menuju ke Kota Semarang dengan biaya sekali naik Rp3.500.
Ia akan turun di daerah yang menjadi tujuannya terutama di wilayah Semarang Tengah dan Semarang Barat.
"Misal di wilayah Karangayu sudah saya datangi maka akan saya datangi lagi dua minggu atau sebulan berikutnya," bebernya.
Ia menjelaskan, sebenarnya tak selalu menjajakan jasanya di Kota Semarang.
Ia sempat pindah ke wilayah Solo mulai tahun 2000.
Alasan pindah karena banyak tukang servis payung sepertinya lebih laku dibandingkan di Kota Semarang.
Baginya, meski tidak ada data resmi, pengguna payung di Solo lebih banyak dibandingkan di beberapa kota lain seperti Semarang.
Maka ia hijrah ke Solo selama puluhan tahun menekuni pekerjaan tersebut.
Di sana ia juga sudah memiliki banyak pelanggan seperti dari pihak hotel dan kafe yang memiliki banyak payung.
"Saya kembali ke Semarang karena pandemi Covid-19. Sudah dua tahun mulai berkeliling di Semarang kembali. Di sini juga bisa pulang ke rumah setiap hari," paparnya.
Dengan keterbatasan pekerjaannya sebagai tukang servis payung, Iswanto ternyata mampu menyekolahkan ke dua anak laki-lakinya sampai tamat SMA.
Kedua anaknya kini sudah menikah dan memiliki rumah masing-masing.
Pekerjaan kedua anaknya juga lebih mapan yaitu sebagai satpam dan karyawan pabrik.
"Saya nikah, punya dua anak, nikahkan anak, bangunin rumah anak ya dari nyervis payung," ungkapnya. (Iwn)