Berita Semarang
Keluhan Perajin Tempe di Semarang, Hanya Bisa Bertahan Menunggu Harga Kedelai Turun
Sakdun (51), perajin tempe di Kota Semarang ini mengaku hanya bisa bertahan menunggu harga kedelai turun.
Penulis: Idayatul Rohmah | Editor: Catur waskito Edy
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG -- Sakdun (51), perajin tempe di Kota Semarang ini mengaku hanya bisa bertahan menunggu harga kedelai turun.
Sebab menurutnya, sudah tidak ada lagi yang bisa diperbuat setelah berbagai upaya dilakukan untuk menyiasati kenaikan harga.
"Untuk sekarang kami bertahan saja menunggu harga kedelai turun. Tapi entah turunnya kapan, tidak tahu.
Saya pribadi minta harga kedelai diturunkan, distabilkan lagi harganya.
Kasihan pengrajin tempe karena banyak yang gulung tikar," kata Sakdun yang merupakan perajin tempe di Kampung Tahu Tempe, Lamper Tengah, Semarang Selatan, Kamis (17/2/2022).
Menurut Sakdun, kenaikan harga kedelai beberapa waktu terakhir ini memang terjadi cukup drastis.
Sebelum pandemi Covid-19, kata dia, harga kedelai impor yang merupakan bahan dasar pembuatan tempe tersebut stabil antara Rp 8 ribu sampai Rp 9 ribu perkilogram. Bahkan dikatakan pernah pula antara Rp 6 ribu sampai 7 ribu perkilogram.
Namun, kenaikan akhir-akhir ini semakin drastis hampir mencapai angka Rp 12 ribu perkilogram.
Menurutnya hal ini berpengaruh bagi usahanya terutama pada penurunan produksi.
Sakdun mengatakan saat harga kedelai masih stabil, dalam sehari ia mampu memproduksi hingga 1 kwintal tempe.
Namun dengan kenaikan harga ini ia mengaku hanya mampu memproduksi sekitar 70 kilogram tempe.
"Sekarang turunnya banyak," ungkap Sakdun.
Ia menuturkan, penurunan penghasilan sebab kenaikan harga kedelai impor ini juga semakin tidak terelakkan.
Dirincikannya, saat harga kedelai masih stabil ia bisa mendapat laba bersih sekitar Rp 3.000 untuk setiap kilogram kedelai.
Namun dengan kenaikan harga kedelai yang hampir mencapai Rp 12 ribu perkilogram, disebutkan angka yang diperolehnya tak sampai Rp 3.000 untuk perkilogram kedelai.