Migor Kemasan dan Curah Susah Didapat, Pedagang: Mendingan Tidak Ada Subsidi Tapi Barang Ada
Sebelum pemerintah membuat kebijakan minyak bersubsidi, tidak ada kelangkaan. Meski mahal, namun stok komoditas itu lancar.
Penulis: Rezanda Akbar D | Editor: galih pujo asmoro
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Minyak goreng masih jadi permasalahan.
Untuk mendapatkan minyak goreng subsidi, bukan perkara mudah.
Supri, penjual gorengan di Jalan Hasanudin mengatakan, pembatasan pembelian produk minyak goreng subsidi maksimal hanya 2 liter cukup memberatkannya.
Ia mengaku, kerap kesulitan mendapatkan minyak goreng.
"Saya belinya via online, kadang ada yang jual satu atau dua dos kita ambil.
Di supermarket harus dua liter.
Untuk orang usaha jual gorengan seperti saya kan tidak bisa," jelasnya, Sabtu (19/2).
Supri mengungkapkan, saat ini ia lebih memilih menggunakan minyak goreng kemasan.
Alasannya, minyak goreng curah saat ini lebih sulit didapat. Bila pun ada, harganya lebih mahal.
Sedangkan harga minyak goreng kemasan, ia mendapatkannya tak selalu seperti harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah.
"Harga minyak gorengnya variatif, ada yang Rp 16 ribu, Rp 18 ribu yang penting kebutuhan kita tercukupi," lanjutnya.
Tingginya harga minyak goreng pun bikin Supri harus menaikan harga barang dagagannnya.
Supri menyebutkan, sebelum harga minyak goreng naik, ia biasanya menjual gorengan Rp 1.000 jadi Rp 1.500.
Bahkan ada beberapa jenis gorengan tertentu yang dipasarkannya Rp 3 ribu.
"Selain minyak, apa-apa juga naik.
Terigu, gula, mentega itu ikutan naik.
Mau tidak mau saya ikut menaikan harga jual gorengan," katanya.
Supri berharap, harga minyak goreng segera kembali seperti semua.
Selain itu, hal penting lainnya adalah stok.
Akan jadi percuma bila harga stabil namun stok tidak berbanding lurus.
"Harapan saya tentu harga dan stabil.
Saat ini, cari minyak goreng curah dan kemasan sama-sama susah.
Untuk harga yang tinggi misalnya Rp 20 ribu atau 21 ribu per liter stoknya ada.
Namun tentunya untuk pedagang seperti saya bikin harga jual gorengan tidak kompetitif," tambahnya.
Pedagang sembako di Pasar Karangayu, Alina mengaku resah dengan kelangkaan minyak goreng subsidi.
Menurutnya, sebelum pemerintah membuat kebijakan minyak bersubsidi, tidak ada kelangkaan.
Meski harganya mahal, namun stok komoditas itu lancar.
Namun sekarang ini, seiring kebijakan minyak goreng subsidi, barang itu jadi langka.
"Sebelum kebijakan subsidi, harga minyak mahal tapi stoknya ada dan lancar sehingga kami bisa jualan.
Setelah ada kebijakan subsidi, minyak malah jadi langka," ujar dia.
Alina menambahkan, ia hanya mendapat jatah satu karton minyak subsidi.
Di sisi lain, permintaan konsumen terhadap minyak goreng selalu tinggi seperti sebelum kebijakan subsidi.
Sementara bila ia menjual minyak di atas HET yang ditetapkan, konsumen akan protes.
"Penjual dibikin repot.
Jualan minyak subsidi paling 30 menit sudah habis.
Namun bila jualan minyak di atas HET, konsumen marah karena tahunya harga minyak seperti yang dipatok pemerintah," sambung dia.
Meski dicibir konsumen karena ia menjual minyak goreng di atas HET, Alina tidak mempedulikannya.
Alasannya, pasokan minyak goreng subsidi yang diterimanya tidak sebanding dengan permintaan konsumen.
Biasanya, Alina membeli minyak goreng Rp 19 ribu lalu dijualnya Rp 20 ribu.
"Bila minyak subsidi mencukupi tidak masalah, kalau tak mencukupi bikin kisruh.
Mendingan tidak usah subsidi tapi barangnya ada," tambahnya.
Terkait minyak goreng curah, ia mengaku mudah mendapatkannya.
Namun harga masih terbilang tinggi.
"Minyak goreng curah harganya Rp 19 ribu per kilogram.
Kadang juga naik jadi Rp 19.500.
Tidak menentu harganya.
Soal stok, di agen-agen biasanya ada.
Namun tetap saja mahal bila dibanding harga subsidi," tandasnya. (*)