OPINI
OPINI Athok Mahfud : Isra Mikraj dan Ruang Publik Digital
PADA suatu malam sunyi, di tanggal 27 Rajab, setahun sebelum hijrah, Nabi Muhammad menempuh perjalanan suci yang belum pernah dilakukan manusia
Dalam momen ini, masyarakat Indonesia biasa memperingatinya dengan beraneka ragam kegiatan sosial-keagamaan, seperti tradisi-tradisi yang kental akan unsur kearifan lokal.
Peringatan Isra Mikraj Nabi Muhammad sejatinya merupakan momen penting sebagai refleksi bersama tentang urgensi mempelajari sejarah dan perjuangan kekasih Allah tersebut.
Yakni dengan menjadikan sosok dan karakter nabi sebagai cerminan dalam menjalani proses kehidupan di dunia.
Sehingga dapat memotivasi umat Islam untuk berusaha dan berlomba-lomba menjadi manusia yang unggul secara intelektual, spiritual, maupun sosial.
Diperlihatkan Tamsil
Dalam peristiwa Isra Mikraj, Nabi Muhammad bertemu dengan nabi-nabi terdahulu di masing-masing langit pertama hiingga ketujuh.
Tidak hanya itu, Nabi juga diperlihatkan dengan beberapa tamsil. Atau perumpamaan kejadian yang menampilkan sejumlah golongan manusia yang kelak akan dihadapi Nabi dalam dakwahnya.
Beragam fenomena yang diperlihatkan kepada nabi juga menggambarkan beragam karakter manusia yang ada di dunia.
Salah satu tamsil yang diperlihatkan kepada Nabi saat Isra Mikraj yaitu banyak kaum yang daging lambungnya dipotongi, lalu mereka memakannya. Golongan ini diibaratkan sebagai kaum yang suka mengumpat dan mencela orang lain.
Selain itu Nabi menjumpai tamsil kaum yang memiliki kuku tembaga yang digunakan untuk mencakari dada dan muka mereka.
Maknanya yaitu golongan yang suka mengumpat dan mempergunjingkan kehormatan orang lain.
Dua tamsil yang diperlihatkan kepada Nabi Muhammad di atas menunjukkan sisi gelap manusia ketika hidup berdampingan dengan manusia lain.
Inilah yang akan mengancam nilai-nilai persaudaraan dalam suatu komunitas masyarakat. Ketika manusia diselimuti sikap egois, iri, dengki, dan intoleransi, maka cenderung menyalahkan dan menjelek-jelekkan lainnya. Sudah merasa paling benar sendiri, sehingga mudah menghakimi, mencela, dan menghina orang lain.
Seiring dengan perkembangan teknologi digital, di mana proses komunikasi berjalan mudah menggunakan media sosial, menghina dan mencaci maki orang lain terasa kian masif terjadi.
Apalagi media sosial memberikan kebebasan bagi setiap pengguna untuk dapat bersuara mengomentari apa pun. Bahkan media sosial seringkali dijadikan tempat untuk meluapkan emosi dan kebencian terhadap lainnya, dengan menuliskan kata-kata kotor berupa umpatan dan makian.