Berita Nasional
LPSK: 5 Anggota TNI Jadi Pasukan Bayaran Bupati Langkat dan Terlibat Kasus Kerangkeng Manusia
Ada 5 anggota TNI aktif yang menjadi pasukan bayaran Bupati Langkat nonaktif, Terbit Rencana Peranginangin alias Cana.
TRIBUNJATENG.COM, MEDAN - Ada 5 anggota TNI aktif yang menjadi pasukan bayaran Bupati Langkat nonaktif, Terbit Rencana Peranginangin alias Cana.
Mereka yang terlibat terindikasi ikut menganiaya tahanan, dan menjadi pengawas di kerangkeng manusia tersebut.
Hal itu disampaikan Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Edwin Partogi Pasaribu.
Baca juga: Sosok Alex Konanykhin, Janjikan 14 M untuk Tangkap Putin, Ini Postingannya yang Dilarang Facebook
Namun, LPSK tidak merinci nama dan kesatuan ke 5 anggota TNI aktif tersebut.
"Ada 5 anggota TNI yang terlibat dalam kerangkeng manusia," kata Partogi, Kamis (3/3/2022).
Dia mengatakan, selain keterlibatan 5 anggota TNI aktif, ternyata selama ini Terbit Rencana Peranginangin melalui ormas dan anggotanya turut mengondisikan masyarakat setempat, untuk mendukung kegiatan ilegal kerangkeng manusia di kediamannya.
"Tidak semua tahanan merupakan pecandu narkoba, tidak semua tahanan berasal dari Kabupaten Langkat," kata Edwin.
Edwin mengatakan, dari 25 hasil temuan LPSK, didapati bahwa kerangkeng manusia itu memang tidak memenuhi standar sebagai tempat rehabilitasi.
"Perlakuan orang dalam kerangkeng sebagai tahanan dan tinggal di kerangkeng dalam keadaan terkunci serta kegiatan peribadatan dibatasi," tambahnya.
Temuan tersebut telah disampaikan LPSK kepada Menko Polhukam Mahfud MD beberapa waktu lalu.
Di hadapan Mahfud MD, LPSK melaporkan adanya aktivitas para tahanan yang dipekerjakan di perusahaan sawit tanpa ada upah.
"Ada batas waktu penahanan selama 1,5 tahun, ada yang ditahan sampai dengan empat tahun, pembiaran yang terstruktur, adanya pernyataan tertulis tidak akan menuntut bila sakit atau meninggal, juga ada informasi dugaan korban tewas tidak wajar," katanya.
Bahkan, Edwin menyebut LPSK menemukan adanya dugaan keterlibatan Dewa Peranginangin, anak Terbit Rencana Peranginangin dalam kasus kerangkeng manusia ini.
"Untuk 5 oknum TNI yang terlibat, nama, pangkat dan kesatuan sudah ada di tangan LPSK," ujar Edwin.
Edwin juga mengatakan terdapat tim pemburu bagi tahanan yang melarikan diri.
Para tahanan juga mendapat hukuman badan selama dalam kerangkeng.
Selain itu, ada dugaan kekerasan seksual yang dialami para tahanan di sana.
LPSK pun berharap agar temuan dan informasi yang disampaikan para korban segera ditindaklanjuti.
"Peristiwa ini harus berujung kepada proses hukum untuk menindak siapa pun pelakunya dan menghadirkan keadilan bagi para korbannya, termasuk pemenuhan ganti rugi," ujarnya.
Respon Kodam I/Bukit Barisan
Kodam I/Bukit Barisan merespon hasil investigasi Komnas HAM dalam kasus kerangkeng manusia milik Bupati Langkat nonaktif, Terbit Rencana Peranginangin, yang dikatakan melibatkan oknum TNI.
Menurut Kepala Penerangan Kodam I/Bukit Barisan, Kolonel Inf Donald Erickson Silitonga, bila terbukti ada anggota TNI AD yang terlibat, pasti akan dilimpahkan polisi kepada mereka.
"Permasalahan itu masih dalam penanganan pihak kepolisian. Apabila dalam penanganan pihak kepolisian ada oknum TNI yang terlibat, pastinya akan dilimpahkan ke Kodam I/BB," kata Donald kepada Tribun-medan.com, Kamis (3/3/2022).
Donald mengatakan, pihaknya tentu akan sangat terbuka menanggapi masalah yang menjadi isu nasional ini.
Ia mengatakan, bahwa Kodam I/Bukit Barisan menjunjung tinggi hukum.
"Di dalam proses hukum mengacu kepada pemenuhan alat bukti berupa barang bukti dan keterangan saksi-saksi," sebutnya.
Bila alat bukti tersebut cukup dan mengarah kepada keterlibatan oknum anggota TNI AD, Kodam I/Bukit Barisan akan memberikan hukuman yang tegas sesuai ketentuan yang berlaku.
Dia pun menyakini bahwa tidak ada intervensi dalam bentuk apapun terhadap proses hukum menyangkut persoalan ini.
Dari hasil penyelidikan dan investigas Komnas HAM, ada beberapa nama oknum TNI dan polisi yang sudah dikantongi.
Para oknum ini punya peran masing-masing.
"Perlu ditegaskan, ini peran oknum, bukan lembaga. Memang ada oknum TNI - Polri yang melakukan kekerasan," kata Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara kepada Tribun Medan, Kamis (3/3/2022).
Dia menjelskan, peran oknum TNI menjadi pihak yang memberikan pelatihan kedisiplinan bagi para penghuni kerangkeng.
"Misalnya baris berbaris, nyanyi, begitu. Oknum polisi selain jadi pelaku kekerasan juga memberi saran-saran tata kelola kerangkeng," ucapnya.
Saat ditanya ada berapa jumlah oknum tersebut, ia mengatakan, jumlah total pelaku ada 19 orang.
Pihaknya juga tak berkenan mengatakan bahwa oknum tersebut memang sudah berperan sejak awal kerangkeng didirikan.
Ia pun mengatakan belum mengetahui terkait keterlibatan peran anak Terbit bernama Dewa Peranginangin dalam kasus ini.
"Jadi, ada kerabat bupati yang terlibat. Tapi saya tidak bisa ngomong siapa. Biar kepolisian yang mengusut tuntas," ucapnya.
Fakta Baru Terungkap
Sementara itu sejumlah fakta baru terungkap terkait keberadaan kerangkeng manusia di rumah bupati nonaktif Langkat Terbit Rencana Peranginangin.
Fakta-fakta tersebut terungkap berdasarkan hasil investigasi Komnas HAM serta autopsi yang dilakukan pihak kepolisian terhadap jenazah yang dikubur di sekitar lokasi.
Para penghuni kerangkeng selain dipaksa bekerja juga kerap mengalami penyiksaan.
Komisioner Komnas HAM RI M Choirul Anam menjelaskan kerangkeng tersebut dibuat pada 2010.
Awalnya penjara tersebut digunakan sebagai tempat pembinaan internal organisasi masyarakat yang dipimpin Terbit.
Hingga akhirnya kerangkeng itu dikenal masyarakat luas maupun pemerintah daerah sebagai tempat rehabilitasi hingga saat ini.
Mayoritas penghuninya, lanjut dia, berlatar belakang pengguna narkoba, laki-laki, dan kondisi ekonomi bawah.
Para penghuni, kata dia, diserahkan pihak keluarga atau pengurus kampung atau pihak lainnya kepada pengelola kerangkeng tanpa kesularelaaan penghuni.
Saat penyerahan penghuni disertai penandatanganan surat pernyataan bermaterai Rp 6.000 yang menjadi penjamin pihak pengelola untuk melakukan pembinaan dan melepaskan kewajibannya dari dampak yang diakibatkan dari pembinaan tersebut seperti sakit atau kematian.
Pendirian kerangkeng tersebut, kata Anam, merupakan inisiatif dari Terbit sendiri sebagai pribadi dan pejabat publik.
Secara keseluruhan, kondisi dalam kerangkeng yang berfungsi sebagai tempat rehabilitasi tidak dalam kondisi yang layak.
Berdasarkan pengamatan langsung tim Komnas HAM di kerangkeng milik Terbit, fasilitas penghuni kerangkeng di antaranya tempat tidur, laci, rak, toilet, dan lain sebagainya itu tidak layak.
Selain itu, kata dia, sanitasi toilet juga tidak layak dan kotor.
"Kami tidak menemukan standar atau metode pengelolaan rehabilitasi. Jadi memang kondisinya sangat parah, kondisi kerangkengnya sendiri secara fisik juga parah, juga metodenya tidak ada," kata Anam dalam konferensi pers yang disiarkan di kanal Youtube Komnas HAM RI pada Rabu (2/3/2022).
Praktik kekerasan pun menimpa para penghuninya.
Anam mengungkapkan ada sekitar 18 alat yang digunakan sebagai instrumen penyiksaan untuk penghuninya, temasuk cabai.
"Misalnya (penghuni kerangkeng) disuruh mengunyah cabai, terus disuruh menyembur ke temannya sendiri," kata Anam.
Selain itu, ditemukan juga palu dan tang sebagai alat penyiksaan.
Palu, kata Anam digunakan untuk memukul kaki penghuni.
Sedangkan tang, kata dia, digunakan untuk mencopot kuku penghuni kerangkeng.
Selain itu, kata dia, pihaknya juga mendapat informasi bahwa ada kerangkeng anjing yang juga digunakan sebagai alat penyiksaan atau memberikan sanksi kepada penghuni kerangkeng.
Selain itu, pengelola kerangkeng juga memanfaatkan hubungan senioritas antar penghuni kerangkeng sebagai alat penyiksaan.
"Jadi memang kondisi penyiksaan, kekerasan, dan merendahkan martabat memang terjadi," kata Anam.
Analis Pelanggaran HAM Yasdad Al Farisi menjelaskan alat-alat yang juga digunakan sebagai alat penyiksaan di antaranya selang, ulat gatal, daun jelatang, besi panas, lilin, jeruk nipis, garam, plastik yang dilelehkan, rokok, korek, batako, alat setrum, kerangkeng, dan juga kolam.
Ia mengatakan terdapat beberapa istilah kekerasan dalam lingkungan kerangkeng yang dikenal oleh para penghuni yaitu mos, gantung monyet, sikap tobat, dua setengah kancing, dan juga dicuci.
Ia mengungkapkan ditemukan adanya pola kekerasan terjadi di beberapa konteks yakni terkait penjemputan paksa calon penghuni kerangkeng, periode awal masuk kerangkeng, adanya pelanggaran terkait aturan pengurus kerangkeng, melawan pengurus kerangkeng ataupun TRP, dan juga perilaku plonco senioritas di dalam penghuni kereng.
Tindakan kekerasan dengan intensitas tinggi, kata dia, seringkali terjadi pada saat periode awal masuk kerangkeng yakni di bawah satu bulan pertama.
"Terdapat minimal setidaknya 26 bentuk penyiksaan, kekerasan, dan perlakuan yang merendahkan martabat terhadap penghuni kereng," kata dia.
Hal tersebut antara lain dipukuli di bagian rusuk, kepala, muka, rahang, bibir, ditempeleng, ditendang, diceburkan ke dalam kolam ikan, direndam, diperintahkan untuk bergelantungan di kereng seperti monyet atau dengan istilah gantung monyet, dicambuk anggota tubuhnya menggunakan selang, mata dilakban, dan kaki dipukul menggunakan palu atau martil.
Selain itu, penghuni juga dipaksa tidur di atas daun jelatang atau ulat, dipaksa makan cabai, dan juga tindakan-tindakan kekerasan atau penyiksaan lainnya.
"Terhadap kondisi fisik akibat kekerasan ini menimbulkan bekas luka maupun luka yang tidak berbekas di bagian tubuh. Selain penderitaan fisik juga adanya dampak traumatis akibat kekerasan salah satunya sampai menyebabkan salah satu penghuni kerangkeng melakukan percobaan bunuh diri," kata Yasdad.
Temuan Komnas HAM tersebut sejalan dengan temuan Polda Sumut berdasarkan hasil autopsi dua mayat korban kerangkeng manusia.
Berdasarkan hasil autopsi, kedua jenazah yang makamnya telah dibongkar itu semasa hidupnya diduga benar-benar disiksa dan dianiaya di kerangkeng manusia milik Terbit Rencana.
"Artinya bahwa diindikasikan kedua korban yang sudah diekshumasi (bongkar kuburan) tersebut mendapatkan tindakan kekerasan di dalam kerangkeng," kata Kabid Humas Polda Sumut Kombes Pol Hadi Wahyudi, Rabu (2/3/2022).
Hadi mengatakan, pihaknya belum bisa membeberkan hasil autopsi secara gamblang.
Dia menyebut pihaknya masih menyusun berkas hasil autopsi jenazah Sarianto Ginting dan Abdul Sidik.
Dia menyatakan hasil autopsi utuh akan disampaikan dalam waktu dekat.
"Bekas penganiayaan di bagian mana, nanti kita sampaikan pada saat nanti. Penyidik sudah melakukan pemberkasan," ucapnya.
Sejauh ini polisi menyatakan tiga orang tewas akibat dugaan penganiayaan yang terjadi di kerangkeng milik Terbit Rencana.
Namun demikian, baru dua makam yang dibongkar yakni makam Sarianto Ginting dan Abdul Sidik.
Abdul Sidik tewas setelah sepekan lebih setelah ditahan.
Dia masuk ke kerangkeng pada 14 Februari 2019, meninggal 22 Februari 2019.
Sementara itu Sarianto Ginting (35), tewas setelah empat hari dikerangkeng.
Dia masuk ke kerangkeng sejak 12 Juli tahun 2021 dan tewas pada tanggal 15 Juli 2021.
Selain itu, korban tewas kerangkeng lainnya pria berinisial U terjadi pada tahun 2015 lalu.
Polisi belum mau membeberkan lebih lanjut soal U yang diduga korban tewas dianiaya. (*)
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul LPSK Kantongi 5 Nama Oknum Anggota TNI Diduga Terlibat, Jadi Pasukan Bayaran Bupati Langkat Nonaktif
Baca juga: Siswa Tertimpa Tiang Bendera di Sekolah, Tempurung Kepala Retak, Sebulan Terbaring Tak Bisa Bicara