Berita Kudus
Adu Nasib di Makam Dua Sejoli Raden Ayu Dewi Nawangsih dan Raden Bagus Rinangku yang Tak Direstui
Ribuan warga bersimpuh di bawah rindangnya pepopohan. Di depannya terdapat bungkusan keranjang berisi ingkung ayam utuh
Penulis: Rifqi Gozali | Editor: Catur waskito Edy
TRIBUNJATENG.COM, KUDUS - Ribuan warga bersimpuh di bawah rindangnya pepopohan. Di depannya terdapat bungkusan keranjang berisi ingkung ayam utuh yang dibungkus dalam daun jati atau pisang kemudian dibalut kain batik.
Tangan mereka menengadah saat seorang pria tua bernama Suhardi seroang pengurus makam berdoa menggunakan bahasa Arab.
Masing-masing orang tampak begitu khusyuk. Sisanya ada yang hanya sekadar menyimak doa yang dipimpin Suhardi tanpa ada raut serius.
Praktik inilah yang terlihat saat warga Dukuh Masin, Desa Kandangmas, Kecamatan Dawe, Kudus menggelar tradisi sedekah kubur.
Tradisi yang digelar saat hari Kamis terakhir jelang bulan Ramadan. Pada tahun 2022 ini, sedekah kubur berlangsung pada Kamis (24/3/2022).
Sentral dari gelaran tradisi sedekah kubur yakni di kompleks makam yang dikeramatkan oleh warga sekitar.
Makam itu terletak di atas bukit. Untuk mencapai puncak, harus meniti anak tangga yang jumlahnya mencapai seratusan.
Saat puncak sedekah kubur berlangsung, orang akan berjubel di pelataran depan gerbang makam.
Ada pula yang menyesaki anak tangga bahkan tidak sedikit yang setia menunggu di bawah sampai prosesi doa purna.
Makam itu dipercaya bersemayam jasad dua sejoli bernama Raden Ayu Dewi Nawangsih dan Raden Bagus Rinangku.
Dalam cerita masyarakat setempat, Nawangsih merupakan anak Sunan Muria, satu di antara sosok wali yang masyhur di Tanah Jawa.
Nawangsih tidak diizinkan menjalin cinta dengan Rinangku yang tidak lain merupakan murid dari Sunan Muria.
Dilansir dari situs resmi Desa Kandangmas, kandangmas.sideka.id, besarnya rasa cinta Nawangsih kepada Rinangku membuat keduanya seolah tak bisa dipisahkan.
Hubungan cinta yang tak direstui, akhirnya Sang Sunan mengusir keduanya. Nawangsih dan Rinangku pun pergi ke selatan meninggalkan tanah Gunung Muria.
Sampailah dia di dusun kecil kini disebut Masin. Mereka berdua hidup bersama sampai akhir hayat kemudian dimakamkan di sana.
Dari sekelumit kisah cinta tak direstui itulah kemudian membangkitkan kepercayaan, jika sepasang kekasih yang belum menikah datang berziarah ke Makam Sunan Muria maka hubungannya akan berakhir atau putus.
Di makam Nawangsih dan Rinangku yang dikeramatkan itu hampir selalu ada orang yang datang berziarah.

Ada yang sengaja datang hanya sekadar untuk ziarah, ada pula yang membawa maksud terselubung.
Puncaknya yakni saat jelang Ramadan atau bulan Syaban. Digelarnya tradisi sedekah kubur di kompleks makam tersebut mampu menjadi magnet bagi ribuan warga Masin atau warga dari daerah lain, bahkan dari luar Jawa, yang lahir dan besar di Masin untuk turut serta mengikuti tradisi tersebut.
"Orang dari Masin yang sudah hidup di luar biasanya tetap ikut. Mereka menitipkan ke keluarga yang masih tinggal di Masin," ujar warga Masin, Ina Leriana.
Untuk mengikuti tradisi tersebut masing-masing keluarga membawa satu ingkung utuh dengan nasi dan lauk-pauk, biasanya lauknya berupa tahu tempe dan mie.
Ingkung itu kemudian satu pahanya dipotong dikumpulkan pada sebuah wadah nampan besar yang terletak di muka pelataran makam.
Bayangkan, ketika ada ribuan ingkung sudah barang tentu tampak menggunung. Dari situlah kemudian tradisi ini juga disebut sewu sempol (seribu paha ayam).
Di samping tumpukan paha ayam terdapat bunga tujuh rupa di antaranya kantil, mawar, kenanga berikut potongan kemenyan yang juga ditaruh dalam nampan besar yang juga tampak menggunung.
Saat semua sudah terkumpul baru kemudian digelar doa bersama. Doa itu dilakukan dengan tata cara Islam. Sebelumnya juga terdengar suara lantang dari pengeras suara di makam itu membunyikan ayat-ayat Alquran.

Begitu doa selesai digelar, sebagian warga langsung beranjak dari makam. Mereka pulang sembari membawa kembali ingkung yang telah nihil satu pahanya.
Paha ingkung yang telah dikumpulkan itu dibagikan untuk para tokoh masyarakat dan pengurus makam.
Setelah prosesi selesai, ada pula yang masih berkelindan di kompleks makam. Sebagian ada yang berebut menyusupkan tangan dalam nampan berisi bunga yang tampak menggunung itu tadi. Mereka mencari bunga kantil ada pula yang mencari kemenyan.
Saya mencoba mendekat dan mencari tahu sebenarnya apa yang dilakukan orang-orang yang menyusupkan tangannya pada nampan berisi bunga yang menggunung.
Namun umumnya mereka tidak mau bercerita. Paling hanya sekadar jawaban normatif: mencari keberkahan.
Dari seorang tokoh setempat, Sumartono Rekso Tanoyo, saya mendapat jawaban. Mereka yang berburu bunga kantil itu biasanya memendam keinginan.
Ada yang berkeinginan segera mendapat jodoh, ada pula yang berkeinginan bisnisnya kian jaya, dan sawahnya panen banyak.
"Kalau yang ingin sawahnya subur dan berhasil panen banyak, biasanya bunga itu dijemur, kemudian dihaluskan, ditabur di sawah," ujar Sumartono yang juga Ketua Pengelola Situs Punden Masin sekaligus seorang pensiunan guru SD.
Pria 77 tahun yang saat itu mengenakan kemeja putih dan blangkon ala Surakarta itu menilai apa yang dilakukan oleh sejumlah warga di kompleks makam itu sekadar mencari keberkahan. Baginya keberkahan dari Tuhan bisa datang dari mana saja. Termasuk dari setangkai bunga.
Di saat yang sama ada juga orang yang masuk ke dalam cungkup makam Nawangsih dan Rinangku. Cungkup itu berpintu sempit dan pendek. Orang yang masuk dipaksa harus sedikit menunduk jika tidak ingin kepalanya terbentur kusen pintu.
Cungkup itu berdinding kayu dengan lapisan plitur cokelat yang mengkilap. Di serambi luar cungkup memiliki PVC yang tampak mewah.
Di antaranya peziarah yang saat itu datang yakni Jumiah. Nenek 65 tahun itu datang dari Jepara bersama kakaknya Robiah yang kini sudah 70 tahun.
Setelah masuk cungkup Jumiah bersama kakaknya menemui seorang lelaki gagah memaki peci hitam, jas hitam, dan kain merah mengalung di leher.
Pria itu bernama Anas. Dia adalah seorang juru kunci. Dia siap memandu doa bagi setiap peziarah yang hajatnya ingin segera terkabul.
"Saya menyerahkan bunga dan uang sedekah Rp 5 ribu kepada pria itu," kata Jumiah.
Kedatangan Jumiah jauh-jauh dari kabupaten tetangga ini bukan tanpa alasan. Dia mengantar sang kakak Robiah yang sejak beberapa tahun terakhir sakitnya tak kunjung sembuh.
Sakit yang didera berupa benjolan di leher. Katanya sudah dibawa berobat ke salah satu rumah sakit di Semarang, namun tak kunjung sembuh sampai saat ini.
"Ikhtiar berdoa di sini semoga Allah memberikan kesembuhan," katanya.
Jumiah tidak seorang diri. Beberapa orang silih berganti masuk ke cungkup itu. Ada yang sekadar ziarah. Ada pula yang menyimpan keinginan agar segera terlunasi hajatnya.
Praktik ziarah di makam Nawangsih dengan segenap perantinya itu terus ada sampai kini. Senyap dan terus berlangsung. Eksis tapi tidak mencolok.
George Quinn dalam bukunya Wali Berandal Tanah Jawa menyebut, budaya ziarah di Jawa dengan keragaman dan kontradiksinya merupakan gugatan terhadap ragam baku agama Islam yang semakin menguat di lanskap keagamaan Indonesia sejak 1980-an.
Menurut ragam ini Islam sejati itu murni dan eksklusif. Kesalehan muncul dari wibawa agama: sunah dan aturan-aturannya.
"Ziarah lokal sama sekali tidak murni dan eksklusif, tidak juga memaksakan wibawa kaku. Ia sangat Islami tetapi memadukan Islam dengan sejarah lokal, semangat kuno melekat di tempat lokal dan gado-gado praktik ibadah yang akarnya tertanam jauh pada masa pra-Islam," tulis Quinn. (*)
Baca juga: Polisi Tempeli Stiker Pemantul Cahaya Median Jalan Flyover Palur
Baca juga: Operasi Pekat Jelang Ramadhan, Polres Sukoharjo Kembali Amankan Ratusan Botol Miras
Baca juga: Kabar Gembira! Pemkab Sragen Bangun Jembatan Penghubung Gilirejo Lama dan Baru
Baca juga: Asal Usul Titik Nol Kilometer Kota Pekalongan Dulunya Bentengnya Daendels Zaman Belanda