Berita Nasional
Soal Perpanjangan Jabatan Presiden, Jokowi Tegaskan Semua Harus Tunduk pada Konstitusi
Jokowi menuturkan, wacana menunda pemilu tidak bisa dilarang karena hal itu merupakan bagian dari demokrasi. Namun, ia menegaskan, pelaksanaan atas wa
TRIBUNJATENG.COM, JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengajak seluruh pihak, termasuk dirinya, untuk tunduk, taat, dan patuh pada konstitusi atau Undang-Undang Dasar 1945.
Hal ini disampaikan Jokowi merespons munculnya ide untuk menunda Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 dan memperpanjang masa jabatan presiden.
"Kita bukan hanya taat dan tunduk, tetapi juga patuh pada konstitusi," kata Jokowi di Istana Bogor, Jumat (4/3/2022), dikutip dari Kompas.id
Jokowi menuturkan, wacana menunda pemilu tidak bisa dilarang karena hal itu merupakan bagian dari demokrasi. Namun, ia menegaskan, pelaksanaan atas wacana tersebut harus tunduk pada aturan yang tertuang dalam konstitusi.
”Siapa pun boleh-boleh saja mengusulkan wacana penundaan pemilu dan perpanjangan (masa jabatan presiden), menteri atau partai politik, karena ini kan demokrasi. Bebas saja berpendapat. Tetapi, kalau sudah pada pelaksanaan, semuanya harus tunduk dan taat pada konstitusi,” imbuh Jokowi.
Seperti diketahui, Pasal 22E Ayat (1) UUD 1945 menyatakan, Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
Sementara, pada Pasal 7 UUD 1945 tertulis, Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.
Dengan demikian, wacana menunda Pemilu 2024 dan memperpanjang masa jabatan presiden tidak sesuai dengan konstitusi.
Sebelumnya, wacana menunda Pemilu 2024 dikemukakan oleh tiga ketua umum partai politik pendukung pemerintah, yakni Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, dan Ketua Umum Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan.
Belum Cukup
Pengamat komunikasi politik dari Universitas Paramadina Hendri Satrio menilai, peryataan Presiden Jokowi soal isu usulan penundaan Pemilu 2024 belum selesai.
Menurut Hendri, jika Presiden Jokowi hanya menyebut harus taat konstitusi itu belum cukup.Pasalnya, kata Hendri, konstitusi buatan manusia dan bisa dibuat dengan cepat. Misalnya, soal UU Cipta Kerja dan UU Ibu Kota Negara (IKN) yang dibuat sangat cepat.
"Belum selesai Pak Jokowi bila hanya berkata taat konstitusi, karena konstitusi buatan manusia dan bisa dibikin dengan sesaat, contohnya Ciptaker dan IKN. Itu bisa cepat diselesaikan. Nah konstitusi bisa diselesaikan dengan cepat," kata Hendri Satrio.
Ia pun setuju dengan peryataan Wasekjen PKB Lukman Hakim yang mengatakan, bahwa Presiden Jokowi harus secara tegas menyebut soal jadwal Pemilu 2024.Dimana, KPU telah memutuskan bahwa Pemilu 2024 akan digelar pada 14 Februari 2024.
"Pak Jokowi harus mengumumkan bahwa Pemilu akan diselenggarakan pada 14 Feb 2024. Selama itu belum diumumkan, akan begini terus," ucap Hendri.
Hendri juga menduga, bahwa orkestrasi isu penundaan Pemilu itu hadir dari lingkaran Istana.
Hal itu dimulai dari peryataan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia yang merupakan lingkaran pemerintahan Jokowi.Lalu, peryataan Ketua Umum partai politik koalisi Presiden Jokowi.
Menurutnya,Wakil Presiden Ma'ruf Amin bisa mengambil peran dalam isu penundaan Pemilu 2024. "Kalau Pak Ma'ruf mau bicara ini panggungnya masih kosong nih Pak Maruf. Mungkin Pak Wapres bisa mengambil panggungnya Pak Jokowi sekali-kali," ucap Hendri.
Menurut Hendri, dengan pernyataan tegas dari Wapres Ma'ruf yang menolak penundaan Pemilu 2024, bisa mengakhir polemik tersebut.
"Bilang saja, 'saya sebagai Wapres menolak Pemilu di tunda'. Itu boleh tuh, itu baru Ma'ruf Amin yang saya kenal," kata Hendri Satrio.
Sikap Ormas
Sementara di kalangan petinggi ormas, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Kiai Yahya Cholil Staquf menilai wacana penundaan pemilu 2024 itu masuk akal untuk dilakukan.
"Ada usulan penundaan pemilu dan saya rasa ini masuk akal mengingat berbagai persoalan yang muncul dan dihadapi bangsa ini," kata Kiai Staquf saat mengunjungi korban gempa di Pasaman Barat, Sumatera Barat, beberapa waktu.
Namun pada saat yang sama, sebagian besar warga Nahdatul Ulama (NU) justru menolak wacana itu.
Mayoritas warga NU justru ingin pemilu tetap diselenggarakan pada 2024.
Hal itu setidaknya tercermin dari survei yang dilakukan lembaga Indikator Politik Indonesia yang dilakukan pada 25 Februari - 1 Maret 2022.
"Sekarang coba kita cek basis masa masing-masing. Orang yang berasa dekat dengan NU-nya, meskipun Ketua PBNU-nya merasa bahwa penundaan pemilu masuk akal, namun 71,3 persen warga NU mengatakan pemilu tetap harus diadakan 2024," kata Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi dalam webinar yang diselenggarakan Masyarakat Ilmu Pemerintah Indonesia (MIPI), Sabtu (5/3).
Tak hanya dari warga NU, penolakan juga datang dari warga Muhammadiyah. Menurut Burhan, dari hasil surveinya, jumlah warga Muhammadiyah yang menolak penundaan pemilu bahkan lebih banyak lagi.
Burhan menjelaskan sebanyak 80,7 persen warga Muhammadiyah ingin pemilu tetap diselenggarakan pada 2024 mendatang.
"Coba kita cek basis partai, kita punya pertanyaan pemilu legislatif 2019 kemarin milih partai mana, 9,7 persen responden kami memilih PKB, hampir 70 persen pemilih PKB sendiri juga tidak setuju dengan klaim ketua umumnya, Cak Muhaimin," tegasnya. (tribun network/kompas.com/deni/dod/dng/ TRIBUN JATENG CETAK)