IT Telkom
RA Kartini 4.0: Transformasi Perempuan Pada Era Revolusi Industri
Raden Ajeng Kartini dikenal sebagai pahlawan perempuan Indonesia, lahir di Desa Pelemkerep, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara, tanggal 21 April 1879.
Oleh: M. Lukman Leksono, S.Pd., M.Pd.
(Dosen Bahasa Indonesia ITTP)
TRIBUNJATENG.COM, PURWOKERTO - Raden Ajeng Kartini dikenal sebagai pahlawan perempuan Indonesia, lahir di Desa Pelemkerep, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara, tanggal 21 April 1879.
Sehingga sampai sekarang setiap tanggal 21 April kita merayakan sebagai hari Kartini.
Jika kita kembali ke belakang, yaitu pada zamannya beliau dilahirkan, maka sebenarnya Kartini saat itu, lahir di masa industri 2.0 sekitar tahun 1870, yaitu ketika tenaga listrik untuk menghasilkan produksi massal ditemukan.
Pada era industri 2.0 ini, perempuan di Indonesia masih sangat dibatasi dalam hal pendidikan.
Fokus mereka pada masa itu adalah urusan perjodohan dan menikah secepatnya di usia yang masih muda belia.
Era industri 2.0 ini yang menjadi fokus perusahaan dan industri di masa itu adalah memberdayakan korporasi dengan melakukan hal-hal dengan benar atau dikenal dengan efisiensi.
Mengutip pendapat dari Peter Drucker, bahwa tugas seorang manajer adalah meningkatkan kinerja operasional, memaksimalkan pendapatan, dan mengurangi pengeluaran sambil meningkatkan nilai produksi artistik dan apresiasi.
Jadi jangan heran, berdasarkan data sejarah perkembangan revolusi industri pada era ini, dunia kerja masih didominasi pria.
Hal ini dibuktikan dengan lahirnya dua tokoh pria terkenal penemu tenaga listrik, yaitu Nikola Tesla dan Thomas Alva Edison
Satu abad kemudian, sekitar tahun 1970-an dunia memasuki industri 3.0 yang ditandai dengan sistem komputasi data.
Mesin hitung yang ditemukan pada pertengahan tahun 1800-an oleh Charles Babbage akhirnya dikembangkan Alan Turing menjadi pemecah kode buatan Nazi Jerman.
Komputer yang sekarang Anda gunakan sebenarnya hasil dari industri 3.0 karena setelah perang dunia ke-2 selesai, muncul berbagai komponen pelengkap, seperti bahan semi konduktor, transistor, hingga microchip.
Pada masa ini juga mulai adanya penggunaan sistem IT untuk otomatisasi produksi dan menggantikan hal-hal yang dulunya dilakukan manusia khususnya pria.
Tujuan utama dunia perusahaan dan industri masih pada pemberdayaan korporasi namun dengan melakukan hal yang benar, atau disebut efektivitas.
Mulailah pada era ini, perusahaan beralih dari manajemen menjadi kepemimpinan.
Menurut teori Peter Drucker perusahaan atau industri tugasnya menetapkan prioritas organisasi dan mengalokasikan sumber daya manusia dan fiskal untuk memenuhi visi organisasi.
Pada era ini, Kartini pun ikut menjadi kartini 3.0, namun nasibnya tetap sama, masih saja tertinggal dalam hal pendidikan dan karir.
Walaupun pada masa ini sudah banyak yang menyuarakan kesetaraan ras, namun belum banyak suara-suara tentang kesetaraan gender, karena memang perempuan masa ini masih belum fokus pada pendidikan apalagi karir.
Fokus kartini 3.0 mungkin masih dominan urusan kasur dan dapur, sumur, rumah serta keluarga.
Pada akhir abad 20, tepatnya pada tahun 1998 yang ditandai dengan kehadiran Google dan seiring maraknya penggunaan internet pada abad 21, dunia mulai lebih terbuka bagi kaum perempuan untuk menggapai imapian-impiannya.
Pada abad 21 inilah dunia mulai memasuki era revolusi industri 4.0 atau disebut zaman digital dengan kehadiran internet.
Revolusi industri 4.0 ini dimulai sekitar tahun 2005 dan mulai ramai dibicarakan masyarakat sejak tahun 2017 hingga sekarang.
Nasib kartini dan kaum perempuan pada era ini semakin cerah, yaitu adanya pengetahuan dan keterampilan melek digital bagi kaum perempuan.
Mereka sekarang lebih terbuka pola pikirannya dan lebih luas wawasannya tentang pentingnya pendidikan serta mencapai karir seperti halnya kaum pria.
Kesetaraan gender juga sangat diperjuangkan di era revolusi industri 4.0 ini.
Presiden kita pernah menyatakan bahwa Indonesia berkomimen untuk meningkatkan keterwakilan perempuan hingga 30% di parlemen dan berbagai pembuat kebijakan.
Sementara itu, Menteri BUMN juga mentargetkan 15% keterwakilan perempuan di BUMN pada tahun 2021 dan menjadi 20% pada tahun 2023.
Meskipun persentasi ini masih belum seperti di negara maju, namun komitmen ini sudah menunjukkan kepedulian dan keyakinan akan kemampuan dan keterampilan kartini-kartini Indonesia.
Lantas apa yang harus dilakukan agar tercapai kesetaraan gender di Indonesia? Ternyata faktor utama untuk mencapainya adalah seberapa cepat kartini-kartini Indonesia menguasai literasi digital.
Kartini-kartini pada masa revolusi industri 4.0 harus lebih banyak lagi meningkatkan minat belajar di bidang STEM (Science Technology Engineering Mathematic), berkarir di bidang IT termasuk di bidang ABC (Artificial Intelligence, Big Data, Cloud & Cyber Security).
Dunia digital yang saat ini didominasi para pria, harus segera diimbangi dengan pemimpin perempuan yang memang benar-benar memiliki kualitas dan kemampuan, bukan sekadar memenuhi kuota keterwakilan.
Berdasarkan data Weforum tahun 2018, asumsi kecepatan literasi saat ini di negara maju membutuhkan waktu 50 tahun untuk mencapai kesetaraan gender yang diprediksi akan terjadi pada 2065. Negara berkembang seperti Indonesia membutuhkan waktu 85 tahun atau tahun 2100 untuk tercapainya kesetaraan gender.
Sehingga untuk mempercepat kesetaraan gender di Indonesia, maka tidak cukup hanya dengan peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen dan dunia usaha.
Pemerintah dan industri usaha perlu bekerjasama untuk mempercepat literasi digital bagi perempuan hingga dua kali lipat dari saat ini.
Sehingga Indonesia akan mencapai kesetaraan gender sekitar pada tahun 2060.
Selain upaya peningkatan literasi digital dari pemerintah dan pelaku usaha. Kartini-kartini revolusi industri 4.0 juga harus mampu memotivasi dirinya sendiri untuk memiliki kemauan untuk selalu belajar, berkarya, dan berkeyakinan diri bahwa dia bisa menjadi pemimpin.
Perempuan Indonesia harus terus belajar untuk meningkatkan kompetensi yang dibutuhkan sebagai pemimpin masa kini dan masa yanga akan datang.
Dengan motivasi diri yang kuat, perempuan akan mampu membobol “sekat” yang membatasi impian, potensi, dan karirnya, sehingga bisa menjadi pemimpin yang lebih baik bagi perusahaan dan negaranya.
Perempuan Indonesia juga harus mau belajar meningkatkan kompetensi dan keahlian di bidang digital serta ilmu-ilmu baru di abad 21.
Hal ini untuk meningkatkan kemampuan digital literasi dirinya, memotivasi anak-anak, dan generasi muda perempuan Indonesia serta menjadi teladan bari perempuan lainnya.
Perempuan yang menguasai literasi digital akan meningkatkan GDP negara.
Gross Domestic Product (GDP) juga disebut dengan Produk Domestik Bruto (PDB) merupakan salah satu indikator penting untuk mengukur kondisi perekonomian suatu negara. Diambil dari situs resmi Badan Pusat Statistik, GDP menjadi salah satu indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi di suatu negara dalam suatu periode tertentu.
Para perempuan yang memiliki literasi digital tinggi juga bisa mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi bangsa dan tentunya meningkatkan kesejahteraan keluarganya.
Dengan menguasai berbagai ilmu di bidang digital, maka para perempuan di era revolusi industri 4.0 akan lebih banyak lagi menebarkan manfaat bagi keluarga, masyarakat, dan bangsanya. (*)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/jateng/foto/bank/originals/ilustrasi-ra-kartini.jpg)