Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Wawancara Khusus

WAWANCARA Prof DR Rustono : Saya Dulu Hiburannya Ya hanya Belajar Itu

GURU BESAR Pragmatik sekaligus Rektor Universitas Veteran (Unisvet) Semarang, Prof. DR. Rustono, M Hum ini adalah anak desa.

Penulis: amanda rizqyana | Editor: Catur waskito Edy
IST
Rektor Universitas Ivet Prof Dr Rustono memberikan motivasi dan sambutan dalam kegiatan webinar yang di adakan Prodi PVTO Universitas Ivet 

Prof DR Rustono M Hum

Rektor Universitas Veteran

GURU BESAR Pragmatik sekaligus Rektor Universitas Veteran (Unisvet) Semarang, Prof. DR. Rustono, M Hum ini adalah anak desa.

Pria asal Brebes, tepatnya dari Desa Banjarlor, Kecamatan Banjarharjo, Kabupaten Brebes. Pria kelahiran 27 Januari 1958, merupakan anak kelima dari sepuluh bersaudara.

Berasal dari keluarga yang sangat taat dalam belajar hingga nyaris tidak pernah menonton film. Disiplin belajar yang dianutnya karena pendidikan di desa ditokohi atau dipelopori oleh guru SD.

Sebagai anak guru, ia mengaku taat untuk belajar, nyaris tidak pernah menonton film. Selain itu, saat itu tidak ada televisi, paling hanya ada radio hingga aktivitasnya sebagai anak ialah belajar.

Menjelang Hari Pendidikan Nasional, Tribun Jateng sajikan Wawancara Khusus dengan Prof DR Rustono, sosok rektor yang bersahaja dan konsisten di jalur akaemisi.

Rustono sering berseloroh bahwa ia anak yang cerdas karena bisa langsung masuk Sekolah Dasar (SD) dan menyelesaikan SD dalam 5 tahun.

Namun itu merupakan gurauan karena sebagai orang desa, tidak ada Taman Kanak-Kanak (TK). Sementara saat SD, tidak banyak anak yang bersekolah. Bahkan saat ia kelas 3 SD, jumlah siswa di kelas sedikit hingga ia pun diloncatkan ke kelas 4.

"Lulus SD 1969, melanjutkan di SMP swasta di ibukota kecamatan hingga 1972. Untuk berangkat dan pulang sekolah harus jalan kaki, sering kehujanan," kata Prof Rustono dalam acara Ruang Inspiratif di Studio Tribun Jateng.

Video ini telah tayang di medsos Tribunjateng, dan kali ini disajikan kepada pembaca koran cetak yang disadur oleh Amanda Rizqyana. Berikut petikan wawancaranya.

Apa benar Prof Rustono anak guru?

Iya, orangtua adalah guru. Anak 10. Saya nomor 5. Semua sekolah. Kami hidup sederhana. Kakak-kakak sekolah di Yogyakarta. Kebutuhan sehari-hari dirumah didapat dari hasil kebun.

Lulus SMP nyaris tak bisa lanjut sekolah karena keterbasan biaya. Setahun terpaksa saya istirahat sekolah. Tahun depan baru masuk SMA.

Nunggu kakak yang di Yogyakarta selesai kuliah, supaya ada bagian biaya. Rustono masuk ke SMAN 1 Brebes.

Kuliah di mana Pak?

Sebagai lulusan terbaik tahun 1976 Rustono lanjut studi ke IKIP Semarang karena ingin jadi guru. Ia pun teringat pesan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Kabinet Pembangunan III Periode 1978-1988, Daud Yusuf, yang mengatakan, 'Profesi di dunia ini hanya ada dua: "satu guru dan yang kedua lain-lain"

Kuliah ambil Bahasa Indonesia. Meskipun awalnya ia menilai Bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional, ternyata Bahasa Indonesia lebih sulit dibanding Bahasa Inggris.

Mendapat beasiswa Prof?

Tahun pertama hingga lulus mendapat beasiswa. Yaitu beasiswa Supersemar dan yang kedua bantuan biaya hidup dari Kakak yang lulus kuliah di Akademi Pertambangan Nasional. Lulus Bachelor of Art (BA), pulang ke Brebes dan menjadi guru.

Bagaimana bisa mengajar di IKIP Semarang?

Saat meminta tanda tangan ijazah pada Dekan. Ditanya mau kerja di mana? Ternyata Dekan meminta saya mengajar di almamater. Tahun 1983 SK CPNS mengajar di IKIP keluar. Sekarang sudah hampir 40 tahun menjadi PNS.

Setelah 10 tahun mengajar, Rustono lanjut studi di UI dan mendapat beasiswa. Lulus sebelum beasiswa habis. Selanjutnya ditawari S3 di Universitas Indonesia, masuk tahun 1995 lulus 1998 dan mendapatkan beasiswa. Gelar Doktor diraih hanya dalam waktu 7 semester.

Kapan jadi profesor?

Tahun 2001 dikukuhkan sebagai profesor (guru besar). Pernah menjabat sebagai Wakil Dekan dan Dekan 2 periode Fakultas Bahasa dan Seni Unnes, Direktur Pascasarjana Unnes, dan Wakil Rektor Unnes.

Bagaimana setelah pensiun?

Setelah memasuki usia 60 tahun, jabatan resmi harus usai. Saya berhenti sebentar, ternyata ada perguruan tinggi yang mengajaknya bergabung. Alhamdulillah saya menjadi rektor Universitas Ivet dan ini tahun ketiga, kurang satu tahun lagi.

Memang dulu cita-cita ingin jadi profesor?

Sebenarnya itu adalah ejekan teman-teman. Ledekan kawan-kawan 'Besok mau jadi profesor, belajar terus.' Ternyata ledekan tersebut merupakan doa dan terbukti. Belajar tidak boleh berhenti, di mana saja dan kapan saja, dan siapa saja. Cerdaslah menangkap sesuatu yang tidak dikatakan, kalau bisa tangkaplah sesuatu yang tidak nampak. (arh)

Baca juga: Buah Bibir Tantri  Bersyukur Rasakan Pandemi Covid-19

Baca juga: Arus Mudik di Tol Brebes Naik 40 Persen, One Way dan Ganjil-Genap Efektif Urai Kepadatan

Baca juga: Puluhan Kendaraan Pemudik Tak Mampu Melintasi Tanjakan Gombel Semarang

Baca juga: TADARUS Prof DR Masrukhi : Puisi Akhir Ramadan

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved