Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Kisah Mbah Amir Tukang Becak Kudus, Kaki Cedera Permanen Gegara Kecelakaan Kini Ditelantarkan Anak

Kisah Mbah Amir yang kini harus tinggal di gubuk yang sangat tidak layak ini ternyata menyimpan persoalan kompleks.

Penulis: Rifqi Gozali | Editor: Daniel Ari Purnomo
Tribun Jateng/ Rifqi Gozali
gubuk Mbah Amir di Desa Setrokalangan RT 4 RW 1, Kecamatan Kaliwungu, Kudus. 

TRIBUNJATENG.COM, KUDUS – Kisah Mbah Amir yang kini harus tinggal di gubuk yang sangat tidak layak ini ternyata menyimpan persoalan kompleks.

Persoalan itu datang dari keluarganya hingga akhirnya anaknya tidak mau merawatnya.

Kepala Desa Setrokalangan, Didik Handono, mengatakan, Mbah Amir memiliki anak yang tinggal berdekatan.

Baca juga: Siswa Boyolali Anak Buruh Bangunan Dilamar 6 Universitas Ternama Dunia, Sejak SD Tak Putus Tahajud

gubuk Mbah Amir di Desa Setrokalangan RT 4 RW 1, Kecamatan Kaliwungu, Kudus.
gubuk Mbah Amir di Desa Setrokalangan RT 4 RW 1, Kecamatan Kaliwungu, Kudus. (Tribun Jateng/ Rifqi Gozali)

Hanya saja anaknya itu tidak mau merawat.

Kisah itu berawal saat pekerjaan Mbah Amir sebagai pengayuh becak harus berhenti karena kecelakaan yang membuat kakinya cedera permanen.

Kata Didik, selepas kecelakaan Mbah Amir dibawa pulang ke kediaman anaknya. Kediaman tersebut dulunya merupakan rumah Mbah Amir masa kecil. Sesampainya di rumah sang anak ternyata Mbah Amir ditolak.

“Setelah sampai di rumah anak, dia ditolak. Jadi Mbah Amir hanya di jalan bahkan kakinya luka-luka. Akhirnya inisiatif dari keluarga dan peranngkat desa setempat menempatkan membuatkan rumah kecil-kecilan supaya bisa ditempati di tanah desa,” kata Didik.

Melihat kondisi Mbah Amir yang ditolak oleh anaknya itu, dia secara pribadi tidak tega. Tapi apa boleh buat, sang anak tidak mau merawatnya. Kisah gelap yang terjadi di keluarga Mbah Amir diduga menjadi penyebabnya.

“Mungkin waktu anaknya masih kecil, (Mbah Amir) jadi orangtua kurang ada tanggung jawab. Jadi anaknya seolah-olah balas dendam tidak mau merawat,” katanya.

Saat terjadinya penolakan, kata Didik, pihaknya juga sudah berusaha mendamaikan konflik antara anak dan orangtua. Tapi tidak berhasil. Bahkan, katanya, dia sempat mengusulkan agar dibangun rumah barang sepetak di sisa tanah yang ada di samping rumah anaknya. Dengan harapan Mbah Amir bisa tinggal lebih layak dan dekat dengan anaknya. Tapi, katanya, anak Mbah Amir tidak berkenan.

Kini Mbah Amir tidak bisa berharap banyak pada anaknya. Untuk bertahan hidup dia mengandalkan pemberian warga sekitar. Pemerintah desa, katanya, juga beberapa kali mengusulkannya sebagai penerima bantuan sosial. Katanya, Mbah Amir termasuk penerima bantuan sosial senilai Rp 300 ribu per bulan. Kemudian untuk program keluarga harapan (PKH), Mbah Amir memang belum mendapatkannya.

“Tapi sudah kami usulkan untuk masuk dalam DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial),” katanya.

Kemudian, untuk mengusulkan hunian yang lebih layak untuk Mbah Amir, dirinya terbentur suatu hal. Di antara syarat bantuan program Rumah Tidak Layak Huni (RTLH), harus didirikan di tanahnya sendiri. Sementara Mbah Amir saat ini mendiami tanah  milik desa.

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved