Bisnis
3 Peyebab Meroketnya Harga Cabai di Jateng Menurut Petani, Kartu Tani Kurang Efektif
Produksi cabai di sentra pertanian cabai yang terletak di lereng Gunung Slamet menurun.
Penulis: budi susanto | Editor: rival al manaf
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Produksi cabai di sentra pertanian cabai yang terletak di lereng Gunung Slamet menurun.
Hal tersebut juga terjadi di Desa Ceklatakan Kecamatan Polosari Pemalang.
Di mana hasil pertanian cabai di desa tersebut dikirim ke berbagai wilayah di Jateng.
Baca juga: Duduk Perkara Viral Postingan Foto di Bromo Bayar Rp 1 Juta, KLHK dan Pengunggah Punya Fakta Berbeda
Baca juga: Keluhan Pedagang Cabai di Pasar Sampangan Kota Semarang, Banyak Diprotes Pembeli
Baca juga: Dalam 2 Menit, Kawanan Pencuri Gasak Uang Rp148 Juta yang Disimpan di Bawah Jok Mobil di Jember
Bahkan penurunan produktivitas pertanian cabai di desa tersebut mencapai 50 persen lebih.
Kondisi itu berdampak pada kenaikan harga cabai di wilayah Jateng yang kini tembus di angka Rp 80 sampai Rp 100 ribu perkilogram.
Dijelaskan Sutrisno, petani cabai di Desa Ceklatakan, penurunan produksi disebakan sejumlah faktor.
1 Cuaca Buruk
Selain cuaca buruk yang melanda lereng Gunung Slamet, biaya tanam cabai juga melejit.
"Di desa kami yang biasanya bisa menghasilkan cabai 50 ton, kini hanya 10 sampai 20 ton setiap hari," ucapnya kepada tribunjateng.com melalui sambungan telepon, Selasa (7/6/2022).
Dilanjutkannya, selain hujan yang terus melanda lereng Gunung Slamet, harga pupuk dan obat-obatan juga melambung.
2. Harga Pupuk Melambung
"Semua jenis pupuk dan obat-obatan semua naik, yang biasanya pupuk Rp 50 ribu kini bisa Rp 120 ribu perkarung," katanya.
Mahalnya pupuk dan obat-obatan dikatakan Sutrisno membuat petani meninggalkan cabai.
"Di tempat kami setidaknya 20 hingga 30 hektar ditanami cabai, karena semua mahal kini hanya 15 hektar yang ditanami cabai. Sisanya kentang dan jeruk," jelasnya.
Menurutnya, harga cabai ditingkat petani di angka Rp 30 sampai Rp 35 ribu perkilogramnya.
"Produktivitas cabai menurun juga disebabkan karena petani menghemat menggunakan pupuk dan pestisida. Alhasil kuantitas dan kualitas cabai jadi tidak baik," papar Sutrisno.
3. Kartu Tani Kurang Efektif
Sutrisno juga menyayangkan kondisi tersebut, lantaran tak ada perhatian dari pemerintah.
"Memang ada kartu tani, tapi tetap saja tidak efektif. Saya sendiri mendukung program tersebut, namun pelaksanaannya di lapangan kurang baik," ucapnya.
Ditambahkannya, pelaksanaan di lapangan mengenai program kartu tani dengan pupuk bersubsidi carut-marut.
Baca juga: Daftar 12 Bisnis Kaesang Pangarep Putra Presiden Jokowi dari Sektor Kuliner, Fashion hingga Start-Up
Baca juga: Penjaga Rumah Kaget Panitia Sewa Rumah Bilang Untuk Acara Ulang Tahun: Ternyata Acara Gituan
Baca juga: Nonton TV Online Ini Link Live Streaming Indonesia Masters 2022 di MNC TV dan INews TV
"Karena begini, kalau masa tanam pupuk langka, baik yang subsidi maupun tidak hal itu terjadi bertahun-tahun. Selain itu regulasi tersebut tidak seragam penerapannya. Di Pemalang harus pakai kartu tani, namun di daerah lain bisa mengambil pupuk bersubsidi tanpa kartu tani," imbuhnya.
Ia berharap pemerintah segera terjun hingga tingkat petani guna mengatasi kondisi tersebut.
"Perhatikanlah nasib kami ini, padahal hasil pertanian juga menyumbang pendapatan untuk daerah," tambahnya. (*)