Liputan Khusus
Abdun Mufid Ketua LP2K Jateng: Utamakan Perbaiki Layanan
Keluhannya yakni di antaranya kesulitan mendapat kamar rawat inap pada saat tertentu karena penuh. Informasi penyakit dan tindakan medis kepada pasien
Penulis: faisal affan | Editor: m nur huda
Analisis Oleh: Abdun Mufid (Ketua LP2K Jateng)
TRIBUNJATENG.COM - DIBANDING sepuluh tahun lalu pelayanan rumah sakit sudah banyak mengalami peningkatan. Namun demikian masih terdapat beberapa keluhan yang dirasakan masyarakat.
Keluhannya yakni di antaranya kesulitan mendapat kamar rawat inap pada saat tertentu karena penuh. Informasi penyakit dan tindakan medis kepada pasien yang kadang kurang lengkap.
Jadwal dokter poli terutama yang spesialis kadang tidak tepat waktu. Kenyamanan rawat inap yang tidak merata terutama pada ruang dengan jumlah pasien lebih dari 4 orang. Sikap atau attitude pelayanan dari front line tenaga kesehatan yang kadang kurang ramah.
Baca juga: Mulai Juli 2022, Rawat Inap Kelas 1, 2, 3 Rumah Sakit Diganti Jadi KRIS
Baca juga: Baru 28 Persen Bidan di Jateng Dapat Perlindungan BPJS Ketenagakerjaan, Indriasari Gandeng IBI
Selaku Ketua Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen (LP2K) Jawa Tengah saya berpendapat, hal penting bagi sebuah layanan kesehatan rumah sakit bersifat primer, sekunder dan tersier.
Primer atau dasar terkait langsung dengan penanganan medisnya, dimana itu harus sesuai dengan standar tindakan medis pada pasien untuk dapat sembuh dari sakitnya, tanpa membedakan kelas. Pasien mempunyai hak dalam sebuah tindakan medis, yang hal tersebut harus dipenuhi dengan baik oleh pihak rumah sakit.
Sekunder adalah hal hal penting yang mendukung upaya kesembuhan pasien misal terkait dengan kondisi ruang perawatan, higienitas, informasi dan alur pelayanan yang efektif dan efisien serta memudahkan pasien.
Yang tersier terkait dengan daya dukung yang lainnya, menurut saya itu harus ditingkatkan dengan baik seiring dengan semakin naiknya tarif BPJS.
Tarif itu analisisnya jangan hanya melulu biaya pelayanan tapi harus memperhatikan ability to pay. Ability to pay terkait dengan kemampuan membayar masyarakat terutama mereka yang mandiri namun sebenarnya tidak cukup mampu.
Apalagi pasca pandemi kondisi ekonomi belum pulih, pendapatan masyarakat belum sepenuhnya normal. Jika kemudian tarif dinaikkan tanpa memperhatikan itu maka akan sangat memberatkan masyarakat dan memungkinkan terjadinya tunggakan atau macetnya iuran BPJS masyarakat.
Ujungnya ketika terjadi hal mendesak terkait kesehatan maka tidak dapat digunakan atau kalau digunakan akan terkena denda yang tentu menjadi semakin mahal dana yang dikeluarkan.
BPJS yang PBI (non mandiri) coveragenya sudah lumayan, namun masih tetap ada masyarakat yang mestinya dibantu negara namun belum tercover. Ini menjadi tugas pemerintah untuk selalu mengupdate data warga miskin yang berhak mendapatkan bantuan iuran BPJS dari pemerintah.
Beberapa Pemda mempunyai program UHC (Universal Health Coverage), jadi warga yang tidak punya BPJS dicover dengan syarat pelayanan tertentu. Ini bagus dan sangat membantu menambal kekurangan pada program BPJS.
Pemerintah harus selalu merefresh dan mengupgrade pelayanan rumah sakit sesuai dengan kebutuhan dan ekspektasi masyarakat. Baik yang terkait hal yang primer, sekunder maupun tersier.
Lebih penting lagi adalah bagaimana program promotif dan preventif kesehatan menjadi program yang diutamakan, untuk meningkatkan derajat kesehatan sehingga mengurangi beban pemerintah dan masyarakat untuk membiayai biaya pengobatan ketika sakit.
Saya juga berharap ada reward bagi peserta BPJS yang tidak pernah menggunakan dalam rentang waktu tertentu karena bisa menjaga kondisi kesehatan. (afn/TRIBUN JATENG CETAK)