Opini
Opini Dahlil Imran: Kehangatan Warga Negara di Ruang Digital dan Pemilu 2024
Bentuk partisipasi ini baik dari segi konsep maupun praktiknya memang merupakan konsekuensi yang tidak terelakkan dari adanya sistem demokrasi di era
Opini Ditulis Oleh Dahlil Imran (Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Undip)
TRIBUNJATENG.COM - DISKURSUS demokrasi dan pertemuannya dengan teknologi digital tidak jarang mengambil tema di sekitar partisipasi politik masyarakat di media sosial. Bentuk partisipasi ini baik dari segi konsep maupun praktiknya memang merupakan konsekuensi yang tidak terelakkan dari adanya sistem demokrasi di era teknologi.
Dalam perkembangannya tentu partisipasi politik ini menjadi semakin menarik untuk disimak, mengingat pembicaraan maupun respon terhadap suatu konten di media sosial bisa sangat bervariasi, baik dari segi isi maupun penyampaian. Hal ini dipengaruhi oleh beragamnya latar belakang ekonomi, sosial, budaya, maupun pendidikan penggunanya. Partisipasi politik masyarakat di berbagai platform digital terus terjadi dan mengalami perkembangan sepanjang waktu serta mengalami peningkatan tensi utamanya menjelang pemilihan umum.
Benar bahwa Pemilihan Umum Serentak Tahun 2024 baru akan dilaksanakan kurang dari dua tahun lagi, terdengar lama namun sebetulnya sudah di depan mata. Nuansa khasnya mulai terasa dan menyita perhatian seiring dimulainya tahapan pemilu awal pada 14 Juni 2022 untuk perencanaan program, anggaran serta penyusunan peraturan pelaksanaan.
Tidak jauh berselang, 29 Juli 2022 - 13 Desember 2022 akan dilaksanakan pendaftaran dan verifikasi partai politik peserta pemilu hingga penetapannya pada 14 Desember 2022. Juga, Mengikuti setelahnya beberapa agenda termasuk kampanye dan pemungutan suara akan dilaksanakan 14 Februari 2024.
Selain itu yang tidak kalah menarik untuk diikuti ialah ruang-ruang digital yang mulai diisi oleh rilis berbagai lembaga survei mengenai calon-calon kandidat presiden potensial, simulasi pasangan kandidat potensial, hingga deklarasi konfigurasi koalisi partai politik yang nanti akan berkompetisi.
Antusiasme masyarakat semakin meningkat dan nuansa semacam ini tentu baik, namun tentu kita tidak boleh larut. Pengalaman pemilihan umum yang lalu telah mengajarkan kita beberapa hal dan sudah saatnya kita mempersiapkan diri untuk menghadapi infomasi dan arus percakapan di ruang media sosial yang akan sangat deras mendekati pemilihan umum.
Harus Dibenahi
Pemilu Serentak Tahun 2024 tidak bisa dianggap mudah karena banyak hal harus dibenahi bersama-sama, tidak hanya menjadi tugas Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai pelaksana ataupun Bawaslu (Badan Pengawas Pemilihan Umum) sebagai pengawas, namun juga masyarakat yang nanti akan menentukan pilihan. Masyarakat harus secara aktif menciptakan arus perbincangan di ruang-ruang digital dengan tetap mengedepankan norma-norma yang selama ini berlaku di kehidupan nyata.
Media Sosial
Media sosial sebagai saluran utama masyarakat dalam mendapatkan informasi diisi oleh masifnya berita bohong, kampanye-kampanye politik yang dilakukan dengan basis SARA (Suku, Ras, Agama, dan Antar golongan), pencemaran nama baik, dan beberapa masalah lainnya. Meski pada akhirnya di level elit telah terjadi rekonsiliasi dengan bergabungnya pihak yang berkompetisi di dalam satu pemerintahan (pemilihan presiden), masyarakat terlanjur terbelah.
Kompetisi politik yang bernuansa hidup dan mati saat itu nyata-nyatanya telah membelah masyarakat menghilangkan kehangatan antara keluarga, tetangga, maupun pertemanan hanya karena perbedaan pandangan politik maupun pilihan. Keadaan ini disebut oleh Power dan Warburton dalam tulisannya Democracy in Indonesia: From Stagnation to Regression (2020) sebagai polarisasi afektif. Polarisasi sendiri dalam definisi yang lebih sederhana oleh ialah pembelahan masyarakat menjadi kubu-kubu yang saling bertentangan dan diliputi oleh ketidakpercayaan (Hicken, 2020).
Terhasut
Hal ini tidak terjadi tiba-tiba, namun didahului dengan riuhnya ruang digital akibat ulah-ulah Buzzer politik dan penggunaan bot. Keduanya beroperasi untuk mengarahkan percakapan pada titik tertentu dengan cara apapun dan tentu ruang media sosial tidak lagi berisi percakapan yang organik namun penuh manipulasi dan propaganda negatif. Masyarakat pun ikut terhasut.
Hasilnya, terjadi pembelahan antara satu kubu dengan kubu yang lain. Tidak sedikit pakar bersepakat bahwa secara umum saat itu masyarakat terbelah di sepanjang patahan ideologis islamis dan pluralis. Meski hal tersebut dapat diperdebatkan secara akademik bahwa polarisasi memang telah ada sejak lama, namun media sosial secara nyata mempercepat dan memperlebar jurang polarisasi yang ada.