Berita Demak
95 Persen Desa di Pesisir Demak Tenggelam
Hampir 95 persen desa pesisir di Kabupaten Demak tenggelam akibat dampak dari pembangunan jalan tol Semarang-Demak
Penulis: hermawan Endra | Editor: muslimah
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Hampir 95 persen desa pesisir di Kabupaten Demak tenggelam akibat dampak dari pembangunan jalan tol Semarang-Demak.
Hal tersebut disampaikan Koordinator Organization for Industry, Spiritual, Culture and Advancement (OISCA) Jepang, Ali Mahmud, Selasa (12/7).
Menurutnya, fenomana tersebut mulai terjadi sejak tiga bulan terakhir, tepatnya pasca pembangunan infrastruktur jalan tol Semarang-Demak.
Sebanyak 17 Desa di empat kecamatan pesisir Kabupaten Demak tenggelam. Desa-desa di Kecamatan Sayung mengalami kondisi terparah dengan hilangnya rumah beserta fasilitas umum.
Baca juga: Setelah Dipolisikan, Dokter yang Terpergok Ngamar dengan Istri Orang Diadukan ke RSUD Kartini Jepara
Baca juga: Perjuangan Sri Rejeki, Ibu Sertu Bayu yang Tewas Diduga Dianiaya Senior Bertemu Panglima TNI
Ali Mahmud menambahkan, masyarakat di pesisir Kabupaten Demak menjerit akibat fenomena ini dan berharap ada solusi dari pemerintah.
"Mereka cinta tanah kelahiran mereka, harapan mereka kepada pemerintah ingin fasilitas umum, jalan, ada penanganan abrasi alat pemecah ombak," imbuhnya.
Dijelaskannya, diharapkan Bupati Demak mengeluarkan "surat sakti" kepada lurah-lurah di pesisir Demak agar wajib mengalokasikan anggaran dana desa untuk upaya perbaikan, seperti misalnya restorasi mangrove.
"Upaya relokasi yang telah berjalan tidak bisa mengembalikan kondisi ekonomi masyarakat di pesisir Kabupaten Demak," kata Ali Mahmud saat menghadiri acara Lokakarya Sub-Nasional Peningkatan Kapasitas Komunitas Lokal dan Pemerintah Daerah Tentang Restorasi Mangrove, Ketahanan dan Keamanan Pangan di Gedung B Lantai 5 Setda Prov Jateng, Selasa (12/7).
Kegiatan ini dilaksanakan oleh Yayasan Inspirasi Keluarga KeSEMaT (IKAMaT), Universitas Diponegoro (Undip) dan CIFOR.Peserta lokakarya terdiri dari 50 peserta, yang terdiri dari pemerintah daerah, NGO nasional dan lokal, akademisi, komunitas lokal, kelompok dan penyuluh mangrove. Adapun peserta juga berasala dari wilayah Demak, Banyuwangi dan Banten.
Direktur Utama IKAMaT, Ganis Riyan Efendi, menjelaskan, kegiatan ini merupakan dialog dan pertemuan dengan para pemangku kepentingan di daerah masing-masing guna mengedukasi dan bertukar informasi tentang cara-cara teknis dan penyelesaian kendala dalam implementasi rencana pengelolaan ekosistem mangrove.
"Kegiatan ini secara spesifik meliputi wadah pertukaran informasi dan ilmu pengetahuan berdasarkan hasil riset dan survei program ReCLAIM dengan pemangku kepentingan di tiga benchmark (Banyuwangi, Banten dan Demak)," ujarnya.
Kemudian, sebagai ueningkatan kesadaran semua pihak mengenai bahaya kerusakan mangrove dan langkah konkrit melakukan adaptasi dan restorasi kerusakan yang telah terjadi.
Pengembangan kapasitas pemangku kebijakan dalam hal kebijakan dan kelembagaan pengelolaan mangrove serta tata cara implementasi kebijakan.
Serta pengembangan kapasitas pemimpin kelompok masyarakat dan anggotanya dalam hal pemanfaatan mangrove serta tata cara implementasi di daerah masing-masing.
Ganis Riyan Efendi menilai mangrove merupakan salah satu ekosistem yang memiliki nilai ekologis, ekonomi dan sosial yang tinggi.
Manfaat dan jasa ekosistem yang diberikan mangrove secara global, nasional dan lokal terlalu besar jika dibandingkan dengan luasan dan distribusi geografisnya.
Ekosistem pesisir ini telah lama dikenal memberikan banyak manfaat dalam penyediaan pangan dan sumber mata pencaharian bagi masyarakat lokal.Mangrove juga berperan dalam pencegahan abrasi, banjir, pencemaran dan pengaruh buruk gelombang laut.
Dengan cadangan karbon sebesar 3-5 kali lebih banyak daripada hutan dataran rendah, ekosistem unik di kawasan pasang-surut ini memiliki potensi besar dalam mengatur iklim global, termasuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, serta menjaga keanekaragaman hayati.
Indonesia menjadi rumah bagi hampir seperempat mangrove dunia (3,3 juta ha), yang akan sangat diuntungkan apabila ekosistem asli ini terjaga.
Mangrove di Indonesia berpotensi mencegah emisi sebanyak hampir 30 persen dari total emisi nasional dan dapat menjadi solusi dalam adaptasi perubahan iklim, khususnya akibat kenaikan muka laut.
Bank Pembangunan Asia (ADB) memperkirakan kerugian ekonomi per tahun akibat bencana perubahan iklim di Indonesia adalah 6,7 persen PDB, sedangkan biaya rata-rata mengurangi dampak kenaikan muka laut (termasuk melalui restorasi mangrove yang rusak) hanya 0,3 persen PDB.
Kerusakan mangrove di Indonesia akibat alih guna lahan yang diawali dengan deforestasi menjadi tambak, lahan pertanian/perkebunan, dan pemukiman dalam 50 tahun terakhir hanya meninggalkan separuh mangrove yang ada saat ini.
Jika laju kerusakan ini tidak dicegah atau dihambat, besar kemungkinan hanya dalam waktu 30 tahun mangrove Indonesia sudah habis.
Selama ini Indonesia hanya memiliki sebuah kerangka regulasi yang berfokus pada pengelolaan mangrove yang berkelanjutan (Perpres No. 73 tahun 2012). Itu pun telah dihapus pada tahun 2020.
Akibatnya, kelembagaan yang dibentuk berdasarkan peraturan tersebut menjadi terbengkalai. Namun demikian investasi dan pengetahuan yang telah dihasilkan harus dimanfaatkan untuk memperbarui pengetahuan dan meningkatkan kapasitas pemerintah daerah dan masyarakat lokal.
Beberapa masalah yang dijumpai di pesisir Jawa, diantaranya adalah Banten, Demak dan Banyuwangi adalah terjadinya abrasi dan banjir rob. Masalah tersebut membuat kerugian bagi masyarakat pesisir dalam bentuk materiil maupun moril.
Pada kejadian lain, fungsi pengawasan masyarakat dan pemerintah untuk kawasan ekosistem mangrove masih belum optimal.
Sebagai contoh, yaitu status tanah timbul yang merupakan sebagian daratan, terbentuk karena adanya peristiwa alam, daratan yang timbul tersebut memiliki potensi dan nilai ekonomis yang dapat dimanfaatkan, namun masih terjadi ketidak jelasan kepemilikan lahan yang tanah tersebut. Akibatnya, muncul masalah sulitnya menemukan lahan penanaman sebagai bentuk mitigasi bencana.
Kesulitan lahan juga akan berimbas pada berkurangnya pemanfaatan mangrove yang dapat menjadi alternatif mata pencaharian bagi masyarakat lokal.
Perlunya sistem pengelolaan yang optimal untuk kawasan mangrove dengan didukung oleh daya dan kapasitas yang mumpuni dari pemangku kepentingan
"Berdasarkan hal tersebut, perlu diadakannya suatu kegiatan yang berbentuk lokakarya dan diskusi dengan mengundang beberapa instansi pemerintahan dan masyarakat lokal untuk membantu meningkatkan kapasitas pengelolaan dan menyelesaikan masalah dengan luaran yang dapat diimplementasikan di daerah masing-masing," ujarnya.
Sementara itu Asisten Ekonomi dan Pembangunan Sekretaris Daerah Jawa Tengah Peni Rahayu mengatakan, Pemprov sangat komit terhadap upaya pelestarian ekosistem mangrove.
Di Jawa Tengah ada 16 kab/kota yang sekarang banyak ditumbuhi ekosistem mangrove sebagai upaya mengurangi banjir dan rob.
Menurutnya, pelestarian ekosistem mangrove sangat baik sebagai upaya perlindungan terhadap daratan pesisir, mencegahan dampak stunami dan pelestarian ikan. Selain itu juga bisa dibuat sebagai bahan baku makanan dan pewarna kain.
"Tahun 2017-2020 pengurangan ekosistem laut cukup banyak, 5,9 persen tapi mulai 2021-2022 mudahan-mudahan sudah akan meningkat lagi." imbuhnya.
Selain memanfaatkan anggaran yang sudah ada di Dinas terkait, pihaknya juga menghimpun dana csr untuk upaya reklamasi mangrove, rehabilitasi mulai dari pembibitan.
Terkait dengan kerusakan yang ditumbulkan akibat dari pembangunan jalan tol Semarang-Demak, menurut Peni harus ada keseimbangan.
Perlindungan tidak hanya mengandalkan ekosistem mangrove saja. Tetapi fisipil teknis juga dilakukan, sehingga untuk daerah-daerah dengan kecempatan tinggi seperti misalnya di Kabupateb Demak dibangun tol tanggul laut.
"Demak tertinggi untuk kerusakan ekosistem mangrove, perubahan alam hilangnya daratan terbesar berdasarkan hasil studi di Demak maka kami melakukan upaya itu antara lain dengan pembangunan tol tanggul laut Semarang-Demak," pungkasnya. (*)