Liputan Khusus
Setahun, Ribuan Kasus Kekerasan Seksual, KPAI Minta Perbanyak CCTV di Lembaga Pendidikan
Beberapa hari terakhir ini kasus pelecehan seks atau pencabulan makin marak di Indonesia termasuk Jawa Tengah.
Penulis: faisal affan | Editor: m nur huda
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Beberapa hari terakhir ini kasus pelecehan seks atau pencabulan makin marak di Indonesia termasuk Jawa Tengah.
Dari sekian banyak kasus, korban mayoritas anak di bawah umur, baik sebagai siswi atau santriwati.
Dan pelaku, kebanyakan adalah orang yang memiliki power mendominasi di internal, orang dekat korban, misalnya ayah, oknum guru di sekolah, atau bahkan guru ngaji.
Kasus ini sudah dikategorikan banyak, meski yang mencuat di media hanya sebagian kecil saja. Seperti gunung es, itu baru pucuknya yang kelihatan. Sedangkan badannya lebih besar, alias kasus yang sebenarnya terjadi di masyarakat sangat banyak.
Sebut saja dugaan pelecehan seksual oleh oknum guru SD terhadap siswinya di Ungaran. Polisi sudah menangkap dan memeriksa pelaku. Pria cabuli anak tiri yang masih bawah umur di Cilacap, dan kini tersangka juga sudah diamankan di Polres Cilacap. Bocah 12 tahun di Batang menangis di kamar mandi. Ibu langsung laporkan pelaku yang tak lain adalah ayah tiri.
Guru MI di Pati cabuli muridnya sendiri dengan modus kumpulkan tugas di ruang guru. Guru ngaji di Kaliangkrik Magelang cabuli 4 muridnya yang masih bawah umur. Satu di antaranya hamil. Modusnya disuruh piket bersih-bersih ruangan.
Siswi di Jepara juga dicabuli gamer asal Bekasi, pelaku diringkus Polres Jepara dan kini telah ditahan. Dan masih banyak lagi.
Tribunjateng.com melakukan penelusuran dan pengumpulan fakta-fakta kasus pencabulan atau kekerasan seksual. Apa saja faktanya, bagaimana penanganan, pencegahan, penindakan, dan pemulihan atau trauma healing terhadap korban.
Sedikit Lapor
Sepanjang tahun 2020 hingga 2022, sedikitnya ada 20 kasus kekerasan seksual yang ditangani oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK Semarang. Direktur LBH APIK Semarang, Raden Rara Ayu Hermawati Sasongko, mengatakan tahun 2020 ada 10 kasus, namun hanya 3 kasus korban kekerasan seksual yang melaporkan ke kepolisian.
"Dua kasus yang dilaporkan sudah mendapatkan putusan dari pengadilan. Kemudian tahun 2021 ada 7 kasus, dan hanya 3 kasus yang sampai di kepolisian. Sementara tahun 2022 ada 3 kasus," terangnya.
Dari sekian banyak kasus kejahatan seksual yang terjadi di Jawa Tengah, paling banyak ada di lingkup keluarga. Sedangkan pelaku kejahatan seksual adalah orang terdekat korban.
"Bisa ayah kandung, ayah tiri, paman, tetangga korban, dan orang dekat lainnya. Ini karena korban merasa percaya terhadap pelaku, sehingga mudah diperdaya," tegasnya.
Penyebab terjadinya kejahatan seksual tak lain karena kurangnya informasi dan pemahaman tentang pendidikan seksual. Terlebih korban sering mendapatkan ancaman dari pelaku, sehingga takut untuk menolak ajakan.
"Antara korban dan pelaku ada hubungan relasi kekuasaan. Sehingga korban takut jika kejadian tersebut diceritakan kepada siapapun. Ancaman juga terus menghantui korban, sehingga mereka merasa hal itu merupakan aib yang harus dikubur dalam-dalam," jelas Ayu.
Penanganan kasus kejahatan seksual yang dilakukan oleh pihak kepolisian sudah cukup maksimal. Meskipun, ada beberapa oknum kepolisian yang masih belum berpihak kepada korban.
"Ada. Oknum kepolisian tersebut biasanya akan mendiskriminasi dan menyalahkan korban kekerasan seksual. Selain itu, proses penanganannya dibuat cukup lama. Saya berharap kasus seperti ini jangan dilihat sebelah mata. Harus lebih berpihak pada korban dan tidak menyalahkan korban," bebernya.
Penyuluhan Hukum
Agar kasus kejahatan seksual tidak terus terulang, maka perlu adanya sosialisasi atau penyuluhan hukum. Baik dari segi dampak dan pencegahan terjadinya pelecehan seksual di lingkungan masyarakat dan pendidikan.
"Kepada orangtua, anak-anak juga perlu mendapatkan pendidikan seks sejak dini. Supaya dia memahami bagian tubuh mana yang tidak boleh disentuh orang lain. Beberapa sekolah atau lembaga juga bisa melakukan kampanye, supaya anak tahu apa yang harus dilakukan ketika ada yang menyentuhnya," tuturnya.
Selain itu, orang yang lebih dewasa atau pendamping anak juga harus mengajarkan anak-anak untuk waspada terhadap orang yang tidak dikenal. Menjaga komunikasi dan keterbukaan dengan orangtua juga penting.
"Seks tidak akan menjadi tabu jika orangtua bisa mengemas penyampaiannya dengan cara yang baik. Bisa memberikan materi tentang dampak seks kepada anak secara bertahap," katanya.
Selain tindakan pencegahan, sanksi hukum untuk pelaku kejahatan seksual harus benar-benar ditegakkan. Rehabilitasi terhadap korban kejahatan seksual juga dilakukan untuk menjamin masa depannya.
"Biaya untuk hukuman kebiri, lebih baik digunakan untuk pembiayaan pemulihan psikologis korban, pembayaran kompensasi terhadap korban
dan hak-hak korban kekerasan seksual lainnya yang telah diatur didalam UU No. 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual," pungkasnya.
Ribuan Kasus
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Jasra Putra, mengatakan anak merupakan pribadi yang mudah dikuasai. Hal itu dikarenakan, kondisi fisik, kognitif, atau pemahaman dan emosi yang masih sangat butuh figur dan bimbingan.
"Kita masih patut bersyukur. Para korban pelecehan yang terjadi di pondok pesantren masih bisa bertemu keluarganya lagi. Karena mereka pasti harus menghadapi ancaman yang sangat berbahaya," ujarnya.
Pelaku kejahatan terhadap anak paling banyak dilakukan oleh orang dekat. Baik dekat secara mengenal, percaya, pengganti orang tua, sudah biasa, atau menjadi figur pengganti.
"Artinya potensi orang dewasa menjadi pelaku bisa terjadi di mana saja, termasuk pesantren maupun sekolah. Karena kita tahu, aksi dan paparan pornografi bisa terjadi pada siapa saja," tegas Jasra.
Jasra mengatakan, menurut data yang disampaikan oleh Menteri Agama, kekerasan seksual di lembaga pendidikan agama seperti fenomena gunung es. Terlihat sedikit namun sebenarnya kasus serupa masih banyak terjadi.
"Saat ini ada 30 ribu pesantren di Indonesia. Setiap pesantren memiliki pemimpin yang kharismatik. Maka butuh pengawasan yang strategis," jelasnya.
Ketika seorang pelaku kejahatan seksual merupakan pimpinan atau tokoh, maka dampak bagi para korban akan lebih buruk. Karena segala akses bisa ditembus untuk menutupi kejahatannya, dan menempatkan korban menjadi pesakitan di mata publik.
"Hal itu terbukti dengan sekian tahun, kasusnya berjalan di tempat. Padahal korban yang harus bersaksi berulang ulang ini memanggul trauma dan sewaktu waktu terancam," imbuhnya.
Dari data yang dimiliki oleh KPAI, ada 2.281 temuan kasus kekerasan seksual di Indonesia. Baru 859 kasus sudah teradukan.
"Anak yang dititipkan di lembaga pendidikan keagamaan sebenarnya menjalankan pengasuhan alternatif. Ada problem besar ketika anak lepas dari pengawasan pendidikan, waktu luang, dan budaya. Saya kira juga perlu adanya CCTV dan pelibatan masyarakat sekitar dalam melindungi anak," kata Jasra.
Menurut Jasra, sejarah penegakan hukum kekerasan dan kejahatan seksual di Indonesia terus progresif. Baik di KUHP maupun di RKUHP yang terus berproses, termasuk UU 35 2014 tentang Perlindungan Anak, UU 17 2016 tentang Pemberatan Hukuman untuk pelaku kejahatan seksual pada anak dan terakhir UU TPKS.
Ada beberapa kanal layanan maupun laporan pengaduan korban kekerasan seksual yang bisa diakses oleh masyarakat. Di antaranya Telepon Sahabat Anak KPPPA SAPA 129, Telepon Pelayanan Sosial ANAK TEPSA 1500771, Kepolisian 110, KPAI di nomor WA 62 811-1772-273.
Pemisahan Kursi
Bus Trans Semarang menerapkan pemisahan kursi sesuai gender di dalam armada. Pemisahan kursi sesuai gender ini untuk mencegah terjadinya pelecehan seksual.
Kepala BLU UPTD Trans Semarang, Hendrix Setyawan mengatakan, pemisahan kursi sesuai gender sudah sejak lama diterapkan oleh pihak manajeman. Hal itu untuk melindungi serta memberikan rasa nyaman bagi para pengguna BRT Trans Semarang.
Kursi di bagian depan diperuntukkan bagi penumpang pria, sedangkan kursi bagian belakang untuk para penumpang wanita. "Pemisahan ini sudah kami terapkan sejak lama untuk memberikan kenyamanan bagi para pelanggan BRT," papar Hendrix, Minggu (17/7/2022).
Pihaknya juga menempel stiker di dalam armada bus sebagai penanda area wanita dan area pria. Setiap armada juga terdapat petugas. Selain bertugas sebagai tiketing, petugas tersebut juga mengarahkan para penumpang untuk menempati kursi atau area sesuai gender. "Petugas kami mengarahkan yang penumpang priai ke depan. Yang peremmpuan di bagian belakang," katanya.
Jika terdapat penumpang melakukan suatu hal yang tidak wajar di dalam armada, lanjut Hendrix, petugas akan langsung mengingatkan atau bahkan menurunkan yang bersangkutan. Pihaknya juga mempersilakan penumpang melapor kepada petugas jika mendapat perlakuan tidak nyaman dari sesama penumpang.
Sepanjang 2022 ini, dia mencatat, belum ada laporan pelecehan seksual di dalam armada Trans Semarang. Sedangkan di halte, pihaknya juga melakukan antisipasi agar tidak terjadi pelecehan seksual. Terutama di halte-halte besar, BLU telah memasang CCTV. Sehingga, pergerakan oknum akan terekam kamera. Pihaknya juga mengerahkan beberapa petugas di halte-halte besar. (AFN, RTP, ARH, EYF, BUD/TRIBUN JATENG CETAK)