Opini
Opini Tasroh: Predator Baru Anak itu Adalah Medsos
CATATAN penting yang harus segera diwaspadai seiring perjalanan dunia anak-anak Indonesia dalam Peringatan Hari Anak Nasional yang jatuh pada 23 Juli
Jika melihat ketersediaan jaringan internet bebas, dimana pemerintah justru sedang mengembangkan area jejaring internet bebas (WiFi) di banyak ruang publik, sekaligus konon dalam rangka pemenuhan hak-hak informasi publik sebagaimana mandat UU No 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, maka upaya ‘melindungi anak’ Indonesia jelas kontra produktif. Apalagi membanjirnya informasi dan data dari sumber media sosial juga terbukti sudah ‘dijadikan media pembelajaran’ paling cepat dan mudah bagi kalangan pendidikan nasional, maka bisa disebut ‘mission impossible’ membatasi Media Sosial di tengah-tengah modernisasi dan keterbukan informasi dan akses internet sekarang dan ke depan.
Maka yang diperlukan adalah bukan ‘kembali ke jaman primitif’ dengan menutup jaringan internet atau larangan akses internet, tetapi perlu dibangun protokol media sosial yang lebih mendidik dan berkonten positif. Kementerian Informasi dan Kementerian Keuangan RI belakangan sedang mewajibkan ‘daftar ulang’ seluruh jaringan internet/penyedia aplikasi Medsos, dengan tujuan salah satunya melindungi pengguna internet/medsos dari dampak buruk, mencegah konten negatif dinikmati pengguna, termasuk anak-anak. Hal ini mendesak dilakukan guna memastikan bahwa hanya konten positif yang bisa diakses dan sebalknya, kontens negatif, termasuk kekerasan dan pornografi/pornoaksi, secara otomatis diterblokir dengan protokol dari Kominfo RI tersebut. Model pemblokiran pada konten negatif itu sudah banyak dikembangkan di banyak negara maju seperti Inggris, Jerman, Amerika, China dan Jepang. Di negara-negara asal aplikasi Medsos itu sendiri, secara protokol informasi sudah bisa ter-blokir otomatis ketika diakses.
Blokir
Sangat disayangkan, Indonesia belum memiliki kemampuan untuk mendesain teknologi ‘blokir konten negatif’ dan tercatat baru 45 % yang mampu diblokir dengan sistem yang dimiliki Indonesia. Ke depan protokol pem-blokiran konten negatif harus terus diperluas jaringan dan jangkauannya, seiring perluasan akses internet dan akses medsos yang sudah 100 % terpasang/diakses hingga ke pelosok. Ini dilakukan agar keberadaan Medos berdampak positif mencerdaskan anak bangsa, dan bukan justru jadi ‘predator baru’ bagi anak-anak Indonesia kini dan mendatang.
Pembatasan akses Medsos seperti pengalaman di Jepang juga bisa dilakukan di ranah kebijakan. Dimana Pemerintah Jepang sejak era PM Shintari AB (1990an), sudah tegas melarang anak-anak membawa HP pintar dimana pun. Caranya dengan memberikan sanki layanan publik pada orang tua dan keluarga yang memberikan HP pintar pada anak-anak yang belum dewasa. Langkah ini sukses karena didukung penuh oleh kebijakan pendidikan di Jepang dimana akses pada media sosial hanya dijinkan untuk rujukan sumber pembelajaran yang kini sudah tersedia tanpa batas di jaringan google, yahoo atau mozilla, misalnya.
Kementerian Pendidikan di Jepang juga melarang karas anak-anak usia pendidikan TK, SD dan SMP, membawa HP pintar ke ruang kelas selama masa pembelajaran, dan para guru kembali mewajbkan anak-anak membaca langsung buku-buku rujukan teks dari berbagai sumber di perpusatakaan offline. Perpusataan dan sumber pembelaran virtual dipersempit, hanya diperbolehkan untuk usia dewasa.
Bandingkan dengan praktik ‘keliru’ dalam dunia pendidikan nasional kita. Seolah sedang ‘kalap’, semua satuan pendidikan, para guru, dosen dan pengajar seolah ‘mewajibkan’ anak-anak tanpa pandang usia dan kemampuan ekonomi keluarganya, ‘dipaksa’ mengakses internet, apalagi sejak era pandemi Covid 19 terjadi di Indonesia selama 2 tahun terakhir. Kini meski pandemi sudah hampir berlalu, pembelajaran via Medsos masih terus berlangsung, dan para pendidik/para guru/dosen dengan berbagai alasan bekerja dari rumah sambil keleleran dan santai. Komunikasi langsung dibatasi dan dititi inilah, guru anak-anak kembali ke Medsos. Tragisnya, masa-masa membuka medsos, disamping membuka laman-laman sumber pembelajaran, diyakini sebanyak 55 persen anak-anak setelah membuka laman positif, juga membuka laman dengan konten negatif (dan biasanya konten porno).
Pembatasan Medsos juga harus terintegrasi dengan kebiasaan buruh keluarga / orang tua yang demi aman dan antengnya usia anak balita, sudah dibelikan/disediakan HP pintar berlangganan, dan diyakni pola asuh dengan HP pintar yang sudah lama dilakukan para orang tua / keluarga anak-anak, juga berkontribusi pada peningkatan radikalisme dan intoleransi pada dunia anak-anak Indonesia. Karena masa ‘pendidikan’ dan “memaknai kehidupan’ anak-anak 60 persen diperngaruhi oleh perilaku orang tua/keluarga di rumah/lingkungan keluarga masing-masing, maka sudah selayaknya orang tua/keluarga juga berperan mengembangkan ‘predator baru medsos’ bagi anak, jika membiarkan dan membiasakan usia anak-anak dijejali dan disediakan HP Pintar yang terakses ke internet.
Merusak Mental
Dampak dari pola asuh yang berkiblat pada Medsos demikian tak hanya mempengaruhi mental dan moral anak-anak yang cenderung negatif, tetapi sekaligus merusak sistem jaringan otak dan kesehatan anak-anak Indonesia ke depan. Riset Han Futse seperti tersiar dalam The HongKong Tribunal (8/7/2022), menyebutkan frekuensi penggunaan/akses Medsos konten negatif, tak hanya merusak mental dan moral anak dengan bukti perilaku brutal, sadis dan kejam jadi bagian idiologi anak-anak dalam penyelesaian masalah mereka, tetapi juga sebesar 65 % telah berkontribusi pada kerusakan permanen jaringan tubuh berupa lebih dini terjadinya penyakit mata (leukimia), mata rabun, kanker otak dan kerusakan persendian (tangan), karena anak berjam-jam di depan layar HP pintar namun anak-anak dipastikan berpotensi jadi ‘bodoh’. HP nya pintar anaknya yang jadi bodoh!
Untuk alasan inilah, peran pemerintah/negara melalui kementerian terkait, lembaga pendidikan, para pendidik/guru/pengajar di satuan pendidikan termasuk juga pada satuan pendidikan keagamaan seperti pesantran, dan kebijakan pendidikan di tingkat daerah dan lokal serta keterlibatan aktif keluarga dan orang tua secara sinergis dan berkelanjutan yang akan mampu mencegah laju ‘predator baru bernama Medsos’ pada dunia anak-anak kita.
Maka Tema peringatan Hari Nasional tahun 2022 yaitu ‘Melindungi Anak, Indonesia Maju”, seyogyanya tak hanya sekedar jargon-slogan rutinitas belaka, tetapi harus menjadi bahan refleksi sekaligus upaya bersama lintas stakeholders untuk melindungi masa depan anak-anak Indonesia, masa depan bangsa kita. Hanya dengan membatasi dan mengendalikan penggunaan Medsos secara disiplin, dan berkelanjutan di kalangan anak-anak, diyakini dunia anak-anak Indonesia semakin positif bertumbungkembang sebagai calon-calon pemimpin masa depan Indonesia. Jangan biarkan dunia anak-anak Indonesia “dihabisi masa depannya” oleh Predator baru bernama Medsos, dan keluarga/orang tua dan dukungan semua pihaklah yang mampu mencegahnya. Jangan Biarkan calon-calon Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia dirusak oleh Medsos! (*tribun jateng cetak)