Opini
Opini Tasroh: Ajudan Bukan Budak dan Bukan Urusan Pribadi
KASUS pembunuhan berencana yang melibatkan aktor intelektual Irjen FS yang baru saja ditetapkan Kapolri sebagai tersangka kemarin menyisakan banyak pe
Opini Ditulis Oleh Tasroh, SS, MPA, MSc (ASN di Dinnakerkop UKM Banyumas)
TRIBUNJATENG.COM - KASUS pembunuhan berencana yang melibatkan aktor intelektual Irjen FS yang baru saja ditetapkan Kapolri sebagai tersangka kemarin menyisakan banyak persoalan serius yang harus segera diperbaiki. Yaitu secara sistemik (direformasi) antara lain terkait tata kelola Ajudan yang selama ini luput dari pengawasan dan pengendalian pejabat terkait dalam sistem birokrasi pemerintahan kita.
Ajudan yang menurut pengertian UU No. 5/2014 tentang ASN sebenarnya tidak pernah secara nyata disebutkan nomenklaturnya. Namun secara substantif bisa dikategorikan sebagai pegawai pemerintahan yang ditugasi khusus untuk mendampingi dan mengawal kegiatan pejabat yang menjadi atasan langsungnya.
Pun dalam UU No.2/2002 tentang Kepolisian RI disebutkan bahwa ajudan adalah pegawai di satuan kerja tertentu yang ditugasi/diberi tugas untuk mendampingi dan membantu pimpinan/pejabat terkait dalam menyelesaikan tugas-tugas kelembagaan/organisasi. Dalam peraturan Menteri Sekretaris Negara RI No. 12/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Keajudan Presiden/Wapres dan Istri Presiden/Wapres ditegaskan bahwa ajudan adalah pegawai khusus yang diberi tugas dan fungsi untuk melayani, membantu dan memfasilitasi presiden/wapres dan istrinya guna menyelesaikan tugas dan fungsi keseharian-rutinitas ketika presiden/wapres dan istrinya melaksanakan tugas-tugas pemerintahan dan kenegaraan.
Penulis mencari rujukan yang benar-benar komprehensif terkait dengan tugas pokok, fungsi dan kewenangan sosok ajudan dalam sistem birokrasi pemerintahan RI dan tidak menemukan dokumen yang menegaskan bahwa tugas, fungsi dan kewenangan ajudan seperti yang dipertontonkan oleh ajudan-ajudan Irjen Pol. FS di jajaran DikPropam Polri itu. Bahkan ajudan yang bekerja di lingkungan Kapolri, selama ini belum pernah terlihat ajudan mengerjakan pekerjaaan seperti jongos atau budak layaknya ajudan yang dipekerjakan di lingkungan Irjen FS tersebut.
Tulisan ini hendak mengurai sebenarnya apa dan bagaimana layaknya tugas pokok, fungsi dan kewenangan ajudan dalam landscape birokrasi pemerintahan, mengingat dua hal strategis yang selama ini publik dibuat ‘bingung’ sekaligus ‘ sedih dan malu’ lantaran dalam kasus pembunuhan ajudan bernama Brigadir Joshua yang merupakan ajudan FS, tugas pokok dan fungsinya dapat disebut ‘melampaui’ kewenangannya, bahkan diperlakukan seperti budak dan jongos oleh keluarga FS.
Mengapa pekerjaan ajudan yang merupakan tugas pendampingan dan membantu tugas pimpinan / pejabat yang dimandati UU, memperlakukan ajudan seperti budak yang harus mengikuti kegiatan dan tugas pejabat/pimpinan hingga ke urusan-urusan yang sebenarnya tidak termasuk dalam tugas pokok dan fungsi ajudan itu sendiri? Bagaimana mengatur dan menata kembali dalam landscape reformasi kelembagaan dan SDM aparatur sipil negara dan pegawai negara/pemerintahan tugas pokok, fungsi dan kewenangan ajudan agar tidak lagi diperlakukan sebagai jongos apalagi bak budak di jaman jahiliah?
Bukan Urusan Pribadi
Salah satu tugas pokok dan fungsi serta kewenangan Ajudan sebagaimana disebutkan dalam Keputusan Mensesneg RI No.12/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Keajudan Presiden beserta Istri dan Wapres beserta Istri, dalam pasal 23 ditegas bahwa ajudan memiliki tugas pokok dan fungsi serta kewenangan dalam dua hal yaknipertama,menyiapkan ‘ubo rampe’ kedinasan pejabat/pimpinan untuk melancarkan pekerjaan/tugas pimpinan/pejabat, dankedua,mencegah terjadinya hambatan-rintangan dan kendala dialami pimpinan dalam berbagai hal selama masa kedinasan.
Menkopolhukam RI, Mahfud MD, yang sekaligus dosen Hukum Tata Negara, UII Yogyakarta pun kemudian berpendapat bahwa sistem dan tata kelola Keajudanan dalam birokrasi negara/pemerintahan, pasca tindakan dan perlakukan sewenang-wenang Irjen Pol Ferdy Sambo (FS) (dalam penyelidikan dan penyidikan) justru dibantai secara biadab oleh atasannya sendiri itu, harus diatur dan ditata ulang ke depan agar kasus-kasus penyalahgunaan tugas perajudan tidak terjadi lagi kini dan nanti.
Pernyataan Menkopolhukam itu mendapat banyak pro-kontra publik, namun sejatinya gagasan menata kembali peran tugas pokok fungsi dan kewenangan ajudan/perajudan harus didudukkan kembali dalam konteks ‘kedinasan’, sebagai tugas dinas pejabat/pimpinan lembaga/organisasi publik. Dalam landscape ini pula, ajudan/perajudan adalah tugas dan jabatan fungsional kedinasan yang digaji dan difasilitasi oleh negara yang bersumber dari uang rakyat. Dalam hal ini, ajudan/perajudan adalah pekerjaan kedinasan, dan bukan pekerjaan/tugas ‘pribadi’ pimpinan/pejabat bersangkutan.
Salah Tafsir
Tragisnya, tugas pokok dan fungsi ajudan/perajudan dalam birokrasi pemerintahan RI selama ini luput dari perhatian pejabat/pimpinan lembaga/instansi, karena ‘salah tafsir’ makna tugas pokok fungsi dan kewenangan ‘melayani’ pimpinan. Pengertian ‘melayani’ dan ‘memfasilitasi’ diterapkan secara sembrono dan liar justru oleh pejabat/pimpinan instansi publik yang memanfaatkan tenaga, waktu dan pikiran para ajudan/perajudan.
Salah tafsir – yang kemudian jadi kebiasaan buruk dan budaya perbudakan—dalam praktik perajudan pada birokrasi pemerintahan RI tersebut, menyebabkan jabatan ‘ajudan/perajudan’ sering disalahgunakan, diselewengkan bahkan diterjemahkan secara pribadi/subjektif oleh pengguna jabatan ajudan/perajudan itu sendiri, yakni para pejabat dan pimpinan lembaga/instansi publik itu sendiri.