Opini

Opini Tasroh: Ajudan Bukan Budak dan Bukan Urusan Pribadi

KASUS pembunuhan berencana yang melibatkan aktor intelektual Irjen FS yang baru saja ditetapkan Kapolri sebagai tersangka kemarin menyisakan banyak pe

Editor: m nur huda
Tribun Jateng
Opini Ditulis Oleh Tasroh, SS, MPA, MSc (ASN di Dinakerkop UKM Banyumas) 

Dalam praksisnya, ajudan/perajudan kemudian ‘melayani’ dan ‘memfasilitasi’ tugas-pekerjaan pribadi pejabat/pimpinan instansi/lembaga negara/pemerintahan, bahkan tak jarang melayani tugas dan pekerjaan yang sebenarnya jauh dari tugas kedinasan. Ajudan juga ditugasi mengerjakan tugas-tugas ‘subjektif’ jabatan pejabat/pimpinan dengan dalih dan manipulasi tugas pokok dan fungsi jabatan kedinasan tersebut.

Lebih ironis, menyaksikan kasus bagaimana ajudan Brigadir Joshoa tak hanya mendampingi Istri, menyetir kendaraan dinas, tetapi juga konon diperintahkan untuk mengerjakan tugas-tugas ‘pribadi’ Penyelewengan tugas dan fungsi ajudan berikutnya adalah tidak memberikan hak-hak kepegawaian sebagaimana diatur dalam UU ASN, UU Polri, UU TNI atua regulasi mana pun.

Padahal ajudan/perajudan adalah ‘jabatan resmi’ pemerintahan-kenegaraan yang ‘sakral’—meminjam istilah Sosilog, Hermawan Trisetiono dari UGM. Lantaran, ajudan/perajudan biasa tak hanya melakukan pekerjaan dinas resmi birokrasi negara-pemerintahan, tetapi waktu, tenaga dan pikirannya juga sering mengurusi hal-hal khusus sang bos, sayang disalahgunakan oleh atasannya/pejabat terkait untuk mengerjakan pekerjaan dan tugas ‘pribadi’ pejabat bersangkutan.

Tercatat ajudan dalam birokrasi pemerintahan di Indonesia tak hanya dikenal ‘lebay’ (berlebihan—red), ternyata juga hanya 40 persen saja mengerjakan tugas kedinasan, tugas pokok dan fungsi yang legal-resmi; dan sebesar 60 % justru mengerjakan tugas dan fungsi melayani kebutuhan ‘pribadi’ para pejabat/pimpinan lembaga/instansi. Bahkan urusan yang sangat pribadi, urusan anak dan keluarga serta kebutuhan yang pribadi lainnya, banyak yang dilakukan oleh para ajudan. Fasilitas negara pun tak jarang disalahgunakan pejabat dalam mengelola ajudan, (Hermawan dalamAjudan Bukan Budak, 2012:25).

Ajudan dengan waktu dan masa pekerjaan demikian semestinya harus segera ditata ulang, diaudit dan direformasi (diubah mendasar) terkait dua hal strategis. Pertama, Ajudan adalah jabatan resmi dan legal, kedinasan karenanya itu wajib di pekerjaaan hanya untuk urusan kedinasan. Pengabidan, pembantuan, pendampingan dan fasilitasi ajudan/perajudan pun adalah hanya untuk urusan/kepentingan kedinasan, pekerjaaan resmi, dan bukan diperlakukan sebagaimana budak yang tak kenal jam kerja, tak kenal hak-hak kepegawaian, hanya dikuras kewajibannya, dan diperlakukan bak jongos.

Kedua, reformasi tugas pokok, fungsi, dan kewenangan dengan sistem pengawasan dan pengendalian yang ketat dan terukur. Selama ini diakui, dalam sistem birokrasi pemerintahan-kenegaraan RI, ajudan/perajudan terkesan bekerja ‘semau gue’ atau ‘suka-suka’ pejabat/pimpinan yang diajudani. Ajudan pun cenderung tak berdaya, dan biasanya semakin tak berdaya para pejabat semakin senang termasuk apabila ajudan dinilai sukses bergantung pada kadar ‘totalitas sebagai budak’, dan bukan kualitas pendampingan dan fasilitasinya dalam menyelesaikan pekerjaan pejabat/pimpinan bersangkutan. Perlakukan ‘perbudakan’ dalam kedinasan demikian adalah wujud penghianatan sejati pada negara-pemerintahan.

Disiplin Pejabat

Harus diakui menjadi pejabat/pimpinan lembaga / satuan organisasi publik di Indonesia tergolong paling moncer gaya hidupnya. Kita bisa melihat seorang pejabat tinggi/pimpinan satuan organisasi publik petantang-petenteng mengendarai mobil dengan harga fantastis yang dipenuhi banyak ajudan/perajudan.

Gaya hidup pejabat/pimpinan satuan organisasi publik demikian ternyata tak hanya dilakukan oleh pejabat bersangkutan, tetapi juga dilakukan oleh seluruh anggota keluarganya, bahkan merambah pada kebutuhan dinastinya, sanak keluarga keseluruhan. Seorang atau beberapa ajudan disiapkan/disediakan termasuk untuk mengurusi, mengerjakan pekerja rumah pribadi sang pejabat dan keluarganya, seperti membersihkan rumah, menjemur pakaian, merawat tanaman, hewan kesayangan, bahkan banyak pula yang diperlakukan seperti sopir/pengemudi media transportasi online: antar jemput makanan sang bos dan anak-anaknya, bahkan lebih lucu seperti dialami para ajudan Irjen Pol FS itu, ajudan juga disuruh menlakukan pekerjaan yang disebut sebagai ‘lucu-lucuan’ seperti mengantar makanan anak-anak sang bos, mengantar istri sang bos ke salon.

Semua perilaku dan perlakuan pada jabatan ajudan demikian adalah pelanggaran dan penyelewengan tugas negara-pemerintahan ajudan/perajudan. Ajudan bekerja kedinasan, yang digaji dan difasilitasi oleh negara-anggaran negara, dan bukan dari anggaran/dana/kantong pribadi sang pejabat/pimpinan organisasi publik. Ajudan keberja sebagai ‘abdi negara’ yang semestinya ditugasi membantu penyelesaian masalah pekerjaaan terkait kedinasan, dan bukan justru diajak plesiran dan hura-hura seperti jongos pada majikannya.

Pada landscape demikian, disiplin dan kepatuhan pada etika dan hukum birokrasi pemerintahan-negara mendesak ditegaskan kembali oleh para pejabat/pimpinan organisasi publik. Para pejabat pemanfaat, pengguna dan pemakai jasa ajudan/perajudan sudah saatnya perilaku, sikap, mental-moral dan etikanya harus kembali didisiplinkan agar mau dan mampu mempekerjakan, memanfaatkan jabatan ajudan pada tugas pokok, fungsi dan kewenangan sesuai peraturan berlaku, dan jika banyak instansi tidak melakukan disiplin jabatan demikian, sudah saatnya perilaku dan tindakan para pejabat/pimpinan oragnisasi publik dievaluasi, direformasi.

Terakhir, belajar dari kasus pembunuhan pada ajudan FS tersebut, regulasi dan aturan standar tata kelola ajudan/perajudan sudah saatnya direformasi, ditata kembali, sekaligus menata dan mengatur kembali hak-kewajiban tugas pokok, kewenangan ajudan agar tidak mudah disalahgunakan, disalahfungsikan apalagi dianggap sebagai budak sang pejabat! Juga semestinya pimpinan tertinggi satuan organisasi publik melalui tugas dan fungsi pengawasan kinerja pejabat, secara konsisten mengawasi dan mengevaluasi kinerja pejabat yang mempekerjakan/memiliki ajudan/perajudan, guna memastikan secara teratur-legal kadar kedisiplinan pejabat dalam mempekerjakan ajudan/perajudan tersebut. Hasil audit, dan evaluasi reguler atas kinerja pejabat dalam mendayagunakan ajudan perajudan, menjadi salah satu indikator kinerja pejabat dalam melaksanakan tugas-fungsi sebagai pejabat di satuan organisasi publik tersebut yang bisa dijadikan rujukan dalam promosi, mutasi hingga pemberhentian pejabat bersangkutan. (*)

Sumber: Tribun Jateng
BERITATERKAIT
  • Ikuti kami di
    KOMENTAR

    BERITA TERKINI

    © 2023 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved