Guru Berkarya
Menekan Korupsi dengan Melek Politik
Kekuasaan cenderung melahirkan korupsi, kekuasaan yang tidak terbatas akan melahirkan korupsi yang luar biasa.
Penulis: Abduh Imanulhaq | Editor: galih permadi
Oleh: Mico Lesmana Putra, Mahasiswa Ilmu Politik UNNES
“Power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely”. Kekuasaan cenderung melahirkan korupsi, kekuasaan yang tidak terbatas akan melahirkan korupsi yang luar biasa.
Sempalan dalil tersebut berasal dari Lord Acton mengenai kekuasaan yang cenderung disalahgunakan.
Hal ini dirasa relevan dengan kasus korupsi yang dilakukan oleh para pemangku kekuasaan di Indonesia.
Kasus korupsi yang paling menggemparkan di Indonesia adalah korupsi proses pengeadaan e-KTP pada tahun 2017 yang menyebabkan kerugian negara sebanyak Rp2,3 triliun.
Pada bulan Juni 2022, Gamawan Fauzi, mantan Menteri Dalam Negeri diperiksa oleh KPK sebagai saksi proses pengadaan e-KTP saat masih menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri..
Survei Transparency International Indonesia pada tahun 2020 menyebutkan bahwa Indonesia menjadi negara dengan peringkat keempat di Asia Tenggara dalam Indeks Persepsi Korupsi (IPK).
Korupsi erat kaitannya dengan para pemilik kekuasaan atau para pejabat pemerintahan. Ada beberapa alasan, mengapa korupsi erat dengan politisi.
Pertama, Biaya politik di Indonesia yang mahal. Dalam negara demokrasi seperti Indonesia, kegiatan politik memiliki biaya yang mahal seperti ongkos lobi, money politic yang masih dilakukan, hingga modal kampanye yang tidak sedikit.
Kedua, Kekuasaan yang disalah artikan. Dalam praktik politik, seringkali politisi mengambil beberapa atau sebagian materil hasil kebijakan yang dikeluarkan.
Ketiga, Supremasi hukum yang belum maksimal dan cenderung tidak bisa mengikat politisi atau pemangku kekuasaan.
Banyak kasus korupsi di Indonesia yang melibatkan politisi atau para pemangku kekuasaan, lepas dari jeratan hukum.
Tidak hanya itu, politik dalam praktinya, dekat dengan penyebab korupsi yang disampaikan oleh Jack Bologne dalam GONE Theory.
GONE merupakan singkatan dari Greed (keserakahan), Opportunity (kesempatan), Needs (kebutuhan), dan Expose (pengungkapan).
Keempat penyebab tersebut, menjadi penyebab paling kuat politisi banyak terlibat kasus korupsi.
Maka dari itu, masyarakat harus bisa melihat secara luas calon wakil rakyat, calon kepala daerah, ataupun calon Presiden dan Wakil Presiden dalam proses pemilihan atau pemilu.
Proses pemilu menjadi faktor yang paling krusial untuk menekan kasus korupsi yang terjadi di Indonesia.
Kasus korupsi yang marak terjadi adalah bukti nyata dari pernyataan Bertolt Brecht mengenai buta politik.
Dikatakan bahwa buta yang terburuk adalah buta politik.
Dari buta politik tersebut, lahirlah berbagai kejahatan seperti pencurian karena kemiskinan,
Korupsi yang dilakukan oleh para pemangku kekuasaan menjadi salah satu akibat dari kesadaran masyarakat terhadap politik yang rendah.
Lalu, bagaimanakah langkah agar masyarakat dari tingkat paling bawah sampai menengah bisa menyadari pentingnya proses dan partisipasi politik?
Pertama, Memaksimalkan peranan keluarga sebagai agen sosialisasi politik.
Keluarga adalah instrumen pertama anak mendapatkan pendidikan termasuk pendidikan politik.
Keluarga memiliki andil besar dalam mempengaruhi pengetahuan dan keputusan anak khususnya dalam kegiatan atau partisipasi politik.
Kedua, Andil tokoh masyarakat dalam memberikan penyuluhan politik di masyarakat.
Tokoh masyarakat yang ada di desa, memiliki kekuasaan yang melegitimasinya dalam penduduk setempat.
Tokoh masyarakat yang ada di desa, cenderung menjadi rujukan atau prefensi masyarakat desa dalam menyikapi berbagai fenomena atau peristiwa yang dihadapinya.
Politik tidak hanya menjadi ajang para penguasa yang memanfaatkan jabatannya dalam membuat berbagai keputusan, akan tetapi keputusan tersebut harus mampu memberikan kesejahteraan bagi masyarakat.
Momentum pemilihan umum harus disadari sepenuhnya bagi masyarakat untuk menentukan nasib bangsa hingga kehidupan individu masayarakat.(*)