Berita Semarang
Ratusan Warga dan Petani Tuntang Menuntut Agar KEPMEN PUPR No 365 Dicabut
Ratusan petani serta warga Tuntang Kabupaten Semarang bersama Forum Petani Rawa Pening Bersatu (FPRPB) lakukan orasi di area persawahan batas sempadan
Penulis: Hanes Walda Mufti U | Editor: galih permadi
TRIBUNJATENG.COM, SALATIGA – Ratusan petani serta warga Tuntang Kabupaten Semarang bersama Forum Petani Rawa Pening Bersatu (FPRPB) lakukan orasi di area persawahan batas sempadan.
Para warga dan petani juga membawa baner bertuliskan keresahan terkait batas tersebut.
Warga menuntut agar mencabut KEPMEN PUPR NO: 365/KPTS/M/2020 terkait Batas Sempadan Kawasan Rawa Pening dalam Penanganan Sedimentasi di Danau Rawa Pening dan rencana revitalisasi Rawa Pening sebagai upaya penanganan danau kritis.
Bendahara FPRPB, Ismail Saleh mengatakan bahwa selain melakukan orasi, pihaknya juga menggelar doa bersama.
“Kami lakukan doa bersama, dimana doa bersama itu memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar KEPMEN berkaitan dengan Rawa Pening ini sangat mengganggu kami selaku petani maupun masyarakat pesisir Rawa Pening,” kata Ismail kepada Tribunjateng.com, Minggu (4/9/2022).
Lahan milik warga pesisir Rawa Pening sebagian besar terdampak akibat pergeseran batas sempadan.
“Kurang lebihnya dari patok asli gesernya sekitar satu kilometer, dan ini semua yang terdampak yakni lahan milik masyarakat, pada aturan lama antara batas tanah rakyat dengan tanah negara itu sudah jelas,” paparnya.
“Itu aturan dulu tapi setelah ada aturan baru akhirnya batas tersebut sampai ke tanah masyarakat,” imbuhnya.
Ada dua batas atau patok yakni patok berwarna kuning itu patok sempadan Rawa Pening dan patok biru adalah batas air yang naik dari Rawa Pening.
“Beberapa desa pesisir Rawa Pening terdampak seperti Desa Lopait, Tuntang, Asinan, Bejalen itu berkaitan dengan pemukiman,” jelasnya.
“Dan yang berkaitan dengan sawah yakni semua Desa pesisir Rawa Pening terdampak,” tambahnya.
Menurutnya wujud protes ini dari dulu sudah dilakukan sampai ke Presiden sudah dilayangkan tetapi belum ada tanggapan.
“Jadi KEPMEN ini sosialisasinya tidak mengena pada sasaran yang mana tidak dikomunikasikan dengan warga masyarakat,” katanya.
Akibat hal tersebut, Ismail mengaku seribu hektare tidak dapat menanam padi.
Para petani ini juga sudah dua tahun lebih tidak merasakan panen.
“Kerugian mereka para petani luar biasa, kalau dikatakan satu hektare 40 juta rupiah jadi kurang lebih ada 40 miliyar rupiah kerugian dalam sekali panen,” paparnya.
Selain itu, ada juga dampak bagi petani setelah dilakukannya penurunan debit air Rawa Pening.
“Setelah dilakukan penurunan debit air dam dikembalikan ke semula oleh Pemerintah Kabupaten, tapi itu juga membawa masalah bagi kami,” ucapnya
Seperti eceng gondok yang sudah terdampar di tanah rakyat akhirnya menjadi hutan dan para petani kesulitan untuk pengolahan.
“Banyak yang tidak mampu untuk mengelola hal tersebut,” ungkapnya. (han)