Opini
Opini Nurul Lathiffah: Cegah Kekerasan di Pesantren
MUTAKHIR berbagai kabar duka dari pesantren tampil di media sosial dan laman digital. Pesantren yang notabene merupakan lembaga pendidikan tertua dan
Opini Ditulis Oleh Nurul Lathiffah, SPsi, MPsi (Konselor Pendidikan Madin Baitul Hikmah)
TRIBUNJATENG.COM - MUTAKHIR berbagai kabar duka dari pesantren tampil di media sosial dan laman digital. Pesantren yang notabene merupakan lembaga pendidikan tertua dan kaya akan khazanah pendidikan keagamaan harus tetap tegar di tengah kasus kekerasan intensitasnya kian meningkat.
Kasus kekerasan di penjara suci memang layak untuk dimunculkan ke permukaan. Hukuman harus diberikan kepada pelaku. Korban dan keluarga pun perlu mendapatkan dukungan sosial, psikis, dan spiritual. Berbagai kasus kekerasan yang terjadi di lembaga pendidikan akan berdampak terhadap kehati-hatian orang tua untuk memilih lembaga pendidikan.
Namun yang lebih penting dari itu, kekerasan tidak lahir dari ruang hampa. Kekerasan terjadi karena berbagai faktor. Pelaku kekerasan biasanya memiliki karakteristik psikologis yang khas. Oleh karena itu, lembaga pendidikan perlu untuk melakukan rangkaian observasi, wawancara, dan tes psikologis sebelum calon santri atau siswa dinyatakan diterima.
Tes psikologi merupakan upaya untuk melakukan pendalaman dalam waktu yang singkat untuk memastikan kesiapan santri belajar di pesantren. Meski belum semua pesantren melakukan tes psikologi, namun beberapa pesantren sudah melakukan inisiasi tes psikologi.
Pesantren sakral
Pesantren adalah lembaga pendidikan yang ‘sakral’ dan bukan alternatif terakhir untuk “memindahkan” anak. Namun sayang, beberapa pihak menganggap pesantren adalah pilihan bagi anak yang mengalami gangguan emosi dan perilaku. Asumsi ini tentu saja salah, sebab anak atau remaja dengan gangguan emosi dan perilaku yang ‘dipaksa’ masuk ke pesantren dapat menginfeksi sebaya yang awalnya tak terpapar gangguan kesehatan mental.
Pesantren adalah tempat yang sakral. Oleh karena itu, penghapusan berbagai bentuk kekerasan di pesantren harus dilakukan dengan serius. Kekerasan tidak boleh lagi terjadi di pesantren. Pendekatan spiritual, agama, psikologis, dan budaya harus berkolaborasi untuk mencegah dan menangani kekerasan di pesantren.
Justru karena dianggap sakral pencegahan dan penanganan kasus kekerasan di pesantren tidak boleh hanya bersifat perifer semata. Pencegahan dan penanganan kasus di pesantren harus dilakukan secara holistik, humanis, dan menunjunjung tinggi nilai-nilai keadilan.
Di dalam pesantren, seorang kiai adalah figur otoritas yang diyakini ‘alim dan memiliki akhlak yang bersumber dari Rasulullah Saw. Rahman (2022) juga memaparkan bahwa tidak hanya kiai, bahkan benda yang dipakai oleh kiai dan guru agama dianggap sakral. Living hadis ini merupakan manifestasi teori sakral dalam pesantren. Berdasarkan hal ini pula, kekerasan di pesantren darurat untuk ditangani secara professional dan berkelanjutan.
Konselor sebaya
Sebelum masuk ke pesantren, orang tua tentu harus mempersiapkan mental anak, termasuk membekali anak dengan kemampuan self protection. Orang tua perlu membekali keterampilan untuk menjaga diri. Hal ini tetap penting sebagai sebuah upaya melindungi anak ketika ia hendak menjadi korban kekerasan.
Anak juga perlu dibimbing untuk memahami perspektif keadilan hakiki sehingga ia tidak rentan menjadi korban atau pelaku kekerasan. Selain membekali anak dengan self protection, lembaga pendidikan juga harus melakukan edukasi terhadap santri. Bimbingan konseling dan layanan konsultasi harusnya dapat diakses secara inklusif.
Upaya edukasi tentang konselor sebaya juga merupakan salah satu hal strategis yang dapat diupayakan untuk mencegah kekerasan di pesantren.