Berita Semarang
Unnes Soroti RUU Sisdiknas karena Tak Cantumkan Peran LPTK sebagai Penghasil Calon Guru Profeisonal
RUU Sisdiknas menjadi sorotan khusus Universitas Negeri Semarang (Unnes).
Penulis: amanda rizqyana | Editor: sujarwo
Prof. Fathur kira semakin banyak yang memberikan masukan akan menunjukkan bahwa undang-undang ini memang undang-undang yang punya posisi strategis dalam pendidikan.
"Untuk itu hari ini Unnes mengusulkan usulan terkait dengan RUU Sisdiknas. Ini bukan sekedar usulan, karena ini sudah didiskusikan dan dikaji berdasarkan data oleh pakar pendidikan, pakar hukum dan pakar terkait lainnya yang ada di UNNES,” jelas Prof. Fathur.
FGD tanggapan atas Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional ini menghadirkan narasumber Prof. Dr. R Benny Riyanto, M.Hum., selaku Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat (LP2M) Unnes, Dr. Ngabiyanto, M.Si., selaku Ketua Lembaga Pengembangan Pendidikan dan Pengajaran (LP3), Dr. Edy Purwanto, M.Si., selaku Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) Unnes, dan Prof. Dr. Mungin Eddy Wibowo, M.Pd., Kons., selaku Guru Besar FIP Unnes.
FGD dimoderatori oleh Dosen Ilmu Hukum Fakultas Hukum (FH) Unnes Muhammad Azil Maskur, S.H., M.H.
Pada diskusikan ini, para narasumber dan peserta sepakat menyoroti 3 hal dalam RUU Sisdiknas.
Pertama, RUU Sisdiknas mereduksi peran Lembaga Pendidikan dan Tenaga Kependidikan tereduksi.
Pada UU Guru dan Dosen, LPTK mempunyai peran yang jelas yaitu perguruan tinggi yang diberi tugas oleh Pemerintah untuk menyelenggarakan program pengadaan guru, akan tetapi dalam RUU Sisdiknas LPTK tidak tercantum, bahkan membuka peluang bagi semua perguruan tinggi menyelenggarakan pendidikan profesi guru.
Disamping itu, pereduksian LPTK terlihat dari syarat menjadi guru hanya lulus pendidikan profesi guru, tidak mesti harus sarjana pendidikan.
Profesi guru yang terbuka dari semua lulusan bukan hanya dari sarjana pendidikan, tentu akan berdampak pada kualitas peserta didik, karena seorang guru harus mempunyai kemampuan pedagogik dan kemampuan afektif yang telah dibekalkan pada lulusan dari program studi kependidikan.
Kedua, tidak ada jaminan keberlangsungan tunjangan profesi guru dan dosen baru.
Rumusan RUU Sisdiknas yang membatasi jaminan adanya tunjangan profesi guru dan dosen bagi guru dan dosen yang telah menerima tunjangan profesi merupakan bentuk lepas tangan pemerintah terhadap kesejahteraan guru.
Ini dapat berakibat pada kualitas guru dan dosen yang berdampak pada kualitas pendidikan yang diterima para pelajar.
Hal ini merupakan kemunduran dalam Sistem Pendidikan Nasional yang menjadikan kesejahteraan guru menjadi prioritas.
UU Guru dan Dosen saat ini telah menjamin bahwa tunjangan profesi merupakan hak guru dan dosen bahkan tercantum jelas bahwa tunjangan profesi bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanjar Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Ketiga, hilangnya pendidikan kewarganegaraan dalam mata pelajaran wajib atau mata kuliah wajib.
RUU Sisdiknas dalam penjelasannya, pendidikan kewarganegaraan dimasukkan dalam Pendidikan Pancasila.
Akan tetapi penggabungan ini merupakan kemunduran karena materi muatan pendidikan kewarganegaraan dan pendidikan Pancasila berbeda.
Sebagai bahan perbandingan bahwa dalam UU Sisdiknas Tahun 2003 telah dibedakan antara pendidikan Pancasila dan pendidikan kewarganegaraan. (*)