Opini
Opini Muhammad Farid: Perspektif Daya Guna dan Pemajuan Budaya Kudus
MENYAMBUT Hari Ulang Tahun ke 473 Kabupaten Kudus edaran surat instruksi mulai bertebaran. Mulai dari yang sekadar meramaikan dengan ucapan, pasang sp
Opini Ditulis Oleh Muhammad Farid (Mahasiswa S2 Kajian Budaya UNS)
TRIBUNJATENG.COM - MENYAMBUT Hari Ulang Tahun ke 473 Kabupaten Kudus edaran surat instruksi mulai bertebaran. Mulai dari yang sekadar meramaikan dengan ucapan, pasang spanduk serta baliho di sepanjang jalan hingga informasi pemaknaan logo yang mirip obor perjuangan. Satu hal yang membuatnya kian menarik dari logo HUT Kudus tahun ini ialah tema yang diusung yaitu Kudus Berdaya Guna.
Agar tak menjadi perayaan slogan, masyarakat tampak perlu mengadakan kegiatan yang mengejawantahkan makna tema HUT dalam berbagai bidang upaya. Sedikit mundur pada tahun 2018 misalnya, atas dorongan dari beberapa tokoh adat dan budaya pemerintah daerah kemudian menelurkan Perda yang menganjurkan bagi para ASN (dan pelajar) untuk memakai pakaian iket kudusan.
Fenomena itu disambut baik oleh masyarakat luas yang kemudian ramai-ramai membeli produk batik, utamanya produk Kudusan. Ibarat sekali dayung dua tiga pulau terlampaui. Dampak dari kebijakan itu tidak saja baik untuk kelestarian budaya, tapi juga menghidupkan ekonomi di berbagai sektor.
Memang seperti itulah seharusnya. Spirit lokalitas penting untuk dimunculkan setiap tahunnya agar memiliki daya guna. Demikian itu pula yang terkandung dalam amanat Undang-undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
Ekspansi
Di tengah gempuran arus global yang tidak menentu bukan lagi saatnya mengandalkan komoditas sumber daya alam untuk dibanggakan. Pertama, sebab jumlahnya yang terbatas dan kedua karena sekarang banyak inovasi bahan alternatif yang ditawarkan dengan harga yang lebih cuan.
Maka, pengarusutamaan ekonomi kreatif itu lah sebagai salah satu faktor kebangkitan. Kesadaran untuk melakukan langkah ekspansi nilai budaya penting disuarakan agar muncul peluang-peluang pasar baru yang menjanjikan dan keberlanjutan (sustainable).
Korea Selatan misalnya, mereka tidak hanya sukses menjadikan K-Pop sebagai industri kreatif dalam bidang musik saja, tapi sekaligus alat diplomasi yang mendunia. Bahkan pengaruhnya dirasakan pula oleh sebagian besar kawula muda Indonesia. Atau dalam ranah yang lebih domestik di Indonesia, Pulau Bali adalah salah satu contoh nyata. Ia bisa mengelola nilai budaya sebagai daya pacu kesejahteraan warganya. Dan yang lebih spesifik di Jawa, tentu saja kita punya Solo dan Jogja.
Oleh karenanya, ketika ada seseorang yang hari ini masih berujar melestarikan budaya hanyalah sebuah kesia-siaan belaka, patut dipertanyakan sejauh mana ia berkelana. Dalam regulasinya, ada sepuluh bidang pemajuan kebudayaan yang bisa digarap. Diantaranya, tradisi lisan, manuskrip, adat istiadat, ritus, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, seni, bahasa, permainan tradisional dan olahraga tradisional (UU Nomor 5 Tahun 2017). Pertanyaannya, dari sekian banyak objek, apa yang tidak dipunyai oleh masyarakat Kudus dan Kawasan Muria?
Daya Guna Desa
Sempat hangat dalam perbincangan. Di saat banyak desa ramai-ramai menyebut diri sebagai desa wisata, ada satu desa di Kawasan Muria justru berbeda. Desa itu secara tegas menyusun draft sebagai Desa Budaya Lau. Pada perkembangannya, desa tersebut mendayagunakan ajaran Tapa Ngeli dan Pagar Mangkuk Sunan Muria sebagai garapan utamanya.
Berbagai lapisan masyarakat mampu berbaur. Baik anak-anak, remaja, dewasa hingga orang tua berusaha saling asah, asih dan asuh antarsesamanya. Mereka juga melakukan upaya rekonstruksi budaya masa lalu yang sempat hilang, seperti sedekah kendi (air minum) dan padasan (air untuk wudlu atau sekadar cuci muka, tangan dan kaki).
Dalam bidang seni pertunjukan, mereka seringkali mengangkat cerita rakyat (folklore) yang berkembang di situ untuk dipentaskan keliling ke desa-desa lain. Mereka juga memiliki ritual adat tahunan yang dibuat meriah sebagai Festival
Pagar Mangkuk