Berita Semarang
3 Kasus Bunuh Diri Mahasiswa di Semarang, Terbaru Mahasiswi Kampus Negeri, Ini Respons Psikolog
Selama September 2022, terjadi tiga kasus bunuh diri mahasiswa di Kota Semarang.
Penulis: amanda rizqyana | Editor: galih permadi
Sebagai remaja, mahasiswa dihadapkan pada permasalahan ekspektasi yang tidak sesuai dengan realita yang memicu perasaan depresi dan dorongan melakukan bunuh diri.
“Kunci dari permasalahan para remaja ini ialah komunikasi.
Mereka bisa menyampaikan permasalahan atau sekadar bercerita dengan kawan sebaya maupun dengan orang tua,” ungkapnya saat dihubungi Tribun Jateng pada Minggu (24/9/2022).
Ia menyebutkan, dengan bercerita dapat mengurangi beban dan menyampaikan keluhan maupun kekecewaan para remaja ini.
Tentu saja, dalam komunikasi tentu harus menghilangkan aspek penghakiman untuk menitikberatkan solusi atas permasalahan yang dihadapi mahasiswa.
“Memang ada kecenderungan orang tua menggunakan perspektif mereka dalam menghadapi problematika anak.
Dalam proses awal komunikasi pasti ada gesekan, terjadi konflik di awal, tapi harus kembali lagi pada rel awal untuk mencari solusi atas permasalahan,” terangnya lagi.
Penyelesaian permasalahan dengan komunikasi dalam kehidupan remaja harus berdasarkan solusi sembari memberi pemahaman bahwa ekspektasi di kepala tidak selalu sama dengan realita.
Sementara itu, Siswanto, S.Psi., M.Si., selaku dosen Psikologi Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata Kota Semarang menyatakan pihaknya berkomitmen memberikan pendampingan pada mahasiswiswa dalam menghadapi permasalahan terkait psikologi dan hukum.
“Kami menyediakan Unika Student Care untuk mendampingi, melindungi, dan memulihkan mahasiswa.
Mereka berhak atas dukungan secara psikologis dan hukum,” ungkapnya.
Dukungan tak hanya diberikan mahasiswa yang memiliki masalah personal pada dirinya, melainkan juga mendampingi kawan atau sahabat dari pelaku bunuh diri.
Mereka tentu memiliki tekanan moral ketika mengetahui rekan atau sahabat mereka meninggal secara tragis, apalagi di hari kepergian sempat meminta untuk ditemani makan namun karena tak sempat membalas, terlewatkan.
“Ada perasaan kehilangan, sedih, marah, kecewa, gelo yang menyelimuti mereka. Kami berikan pendampingan intensif pada para mahasiswa ini hingga mereka bisa menerima peristiwa yang terjadi,” jelasnya.
Meski demikian, Siswanto, M.Si, juga mengingatkan para remaja jangan melakukan diagnosa mandiri atas permasalahan kesehatan mental.
Diagnosa dan penanganan kesehatan mental harus oleh praktisi bidang psikologi.
Penanganan yang tepat dapat memberikan solusi bagi penderita maupun keluarga.
(arh)