Berita Semarang
Status Anak Hasil di Luar Pernikahan Masih Pro Kontra, Rektor Unwahas: Hukum Didasarkan Alasan Baik
Pada tahun 2012, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010.
Penulis: faisal affan | Editor: sujarwo
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Pada tahun 2012, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010.
Dalam putusan itu menyatakan pasal 2 ayat (2) yang mengatur masalah pencatatan perkawinan dan pasal 43 ayat (1) yang mengatur status keperdataan anak luar kawin, dinyatakan bertentangan dengan konstitusi dan harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum dengan segala akibatnya.
Namun putusan itu menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Masyarakat yang pro menganggap putusan itu sebuah terobosan hukum progresif untuk melindungi anak yang lahir di luar nikah.
Tapi yang kontra, menganggap putusan ini merupakan afirmasi dan legalisasi terhadap pernikahan siri maupun perbuatan zina, kumpul kebo (samen laven).
Oleh sebab itu, Universitas Wahid Hasyim Semarang (Unwahas) menyelenggarakan Seminar Nasional dengan tema Status Hukum Anak Luar Nikah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi.
Beberapa pakar pun turut hadir dalam Seminar Nasional. Di antaranya Staf Ahli Hakim Konstitusi Irfan Nur Rahman, Ketua Pengadilan Negeri Lumajang Budi Prayitno, Dosen Fakultas Hukum Unwahas Mursito, dan Wakil Dekan Fakultas Hukum Untag Surabaya Endang Prasetyawati.
Dekan Fakultas Hukum Unwahas, Mastur, mengatakan jika putusan Mahkamah Konstitusi tersebut hingga saat ini masih menjadi pro dan kontra di masyarakat. Maka ia menilai perlu adanya pemahaman yang objektif dan mendalam terkait hal tersebut.
"Hukum dari status anak luar nikah, atau anak luar kawin, atau anak sirri, atau anak dari hasil perkawinan yang tidak tercatatkan dengan sah dalam hukum negara, masih menarik untuk dibahas. Karena hal tersebut masih selalu terjadi permasalahan dan pro kontra di masyarakat," terangnya.
Di lain pihak, Rektor Unwahas Mudzakir Ali, menjelaskan dari aspek agama berkaitan dengan nilai aswaja, anak yang lahir dibagi menjadi tiga. Anak lahir dari hasil pernikahan tercatat, anak lahir dari pernikahan tidak tercatat, kemudian anak lahir hasil diluar nikah.
"Yang penting bahwa dalam bahasa ilmu fiqih, hukum didasarkan pada alasan baik itu ada maupun tidak ada, dan dalam hadist yang artinya tidak boleh ada sesuatu yang membuat mudharat diri sendiri atau memadlarati orang lain," tambah Mudzakir.
Adapun Dosen Fakultas Hukum Unwahas Mursito, menambahkan supaya anak hasil diluar nikah mendapatkan status hukum yang sah, maka perlu syarat administratif.
"Ada permohonan tes DNA, proses pengakuan anak di notaris, dan permohonan pengakuan anak di Pengadilan Negeri. Mengapa saya katakan Pengadilan Negeri bukan Pengadilan Agama? karena saya disini tidak berani berspekulasi. Namun yang perlu digaris bawahi bahwa permohonan pengakuan anak di Pengadilan Negeri jangan pernah mendalilkan adanya pernikahan siri," tutup Mursito. (*)