OPINI
OPINI Gunoto Saparie : Kekayaan Intelektual Sebagai Jaminan Utang
Presiden Joko Widodo telah mengesahkan Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 2022 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2022
Oleh Gunoto Saparie
Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah
Presiden Joko Widodo telah mengesahkan Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 2022 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2022 tentang Ekonomi Kreatif, atau disebut dengan PP Ekraf pada tanggal 12 Juli 2022.
Tentu saja peraturan turunan ini memberi angin segar pada komunitas pelaku ekonomi kreatif. Hal ini karena produk kekayaan intelektual (KI) kini dapat dijadikan objek jaminan utang bagi lembaga keuangan bank dan nonbank. Penjaminan KI ini merupakan upaya pemerintah mendorong ekonomi kreatif di level makro.
Pertanyaan yang segera muncul ke permukaan adalah: Mungkinkah hal itu? Memang, kalau peraturan ini berjalan sebagaimana mestinya, pelaku seni dapat menjaminkan objek KI yang dimilikinya untuk menunjang penciptaan karya.
Komponen pembiayaan ini dapat dijadikan modal oleh seniman untuk melahirkan karya yang sesuai dengan idealismenya. Selain itu, pelaku seni juga dapat menjaminkan kontrak kerja dan hak tagih dalam kegiatan ekonomi kreatif.
Harus kita akui, sampai hari ini sistem KI yang ada belum cukup untuk melindungi hak para pencipta. Dalam konteks KI, subsektor ekonomi kreatif yang bersentuhan dengan seni dilindungi oleh hak cipta.
Akan tetapi, dalam upaya mendapatkan hak cipta, para seniman di Indonesia ternyata masih sering terkendala permasalahan sistem pencatatan. Ini berarti, tata kelola hak cipta memang masih belum maksimal.
Sebutlah, misalnya di sektor film, di mana ternyata negara belum mengurus aturan royaltinya. Selama ini aturan royalti hanya diatur dalam kontrak antara produser dengan pelaku industri.
Sedangkan di sektor musik, nominal penerimaan royalti performing rights masih menjadi isu. Padahal royalti itu seharusnya dikelola transparan oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
Bagaimana sektor seni rupa? Di sektor ini porsi royalti untuk pencipta dari transaksi pembelian yang bersifat publik, masih belum diterapkan di Indonesia.
Sementara di sektor penerbitan, pembagian royalti sangat bergantung pada kesepakatan yang tertera pada kontrak antara penerbit dan penulis.
Yang lebih memprihatinkan lagi sektor pertunjukan teater dan tari, di mana belum memiliki mekanisme valuasi yang spesifik atas karya yang dipertunjukkan.
Oleh karena itu wajar ketika muncul kekhawatiran akibat sistem yang belum mapan itu. Bukan mustahil hal itu dapat mengurangi nominal jaminan utang yang dapat diberikan, seperti diatur dalam PP Ekraf.
Mengacu pada Pasal 12 PP itu salah satu pendekatan yang dipakai dalam pemberian jaminan adalah melalui pendekatan pendapatan.
Artinya, penilai akan mengkaji potensi komersial dari objek KI, lewat proyeksi pendapatan si calon debitur. Hasil penilaian itu nantinya akan menentukan nominal jaminannya.
Di samping itu, sesuai dengan PP Pelaksanaan UU Ekonomi Kreatif Pasal 10 (B), salah satu syarat dalam menjaminkan hak cipta sebagai objek jaminan adalah, objek tersebut telah dikelola dengan baik secara sendiri dan/atau dialihkan haknya kepada pihak lain. Ini berarti, objek yang dapat dijaminkan memiliki rekam jejak finansial yang dikelola baik oleh pemegang hak cipta.
Hal ini masuk akal karena pihak lembaga pembiayaan tentunya akan menghindari risiko gagal bayar dari debitur.
Akan tetapi, di saat bersamaan, ada kesan bahwa pihak yang dapat mengakses metode pembiayaan ini adalah subjek yang telah mahir mengeksploitasi aspek ekonomi dari hak cipta yang dimilikinya.
Bagaimana dengan mereka yang belum memiliki rekam jejak finansial yang dinilai baik dapat mengakses metode pembiayaan tersebut? Bagaimana pula dengan mereka yang memiliki karya di luar pasar arus utama dapat meraih keuntungan komersial yang besar?
Pernyataan Wakil Ketua Koalisi Seni Kartika Jahja dalam hal ini patut digarisbawahi. Kartika mengungkapkan bahwa pemerintah harus melakukan evaluasi agar nantinya tak ada yang menghambat karya seni dan ekonomi kreatif menjadi jaminan utang.
Pemerintah harus memastikan empat pilar KI yakni penciptaan, perlindungan, penegakan hukum, dan komersialisasi, sudah terbentuk dengan mapan di ekosistem hak cipta. Empat pilar itu juga harus dapat melindungi hak pelaku seni secara luas.
Selain itu, pemerintah harus mengkaji kemungkinan untuk merancang peta transisi terkait jaminan utang KI. Dalam kaitan ini, Indonesiai dapat mencontoh Singapura yang meneken rencana induk 10 tahun penerapan pembiayaan berbasis hak KI. Strategi itu bisa diterapkan di Indonesia untuk menyempurnakan skema pembiayaan utang berbasis KI.
Pemerintah juga perlu mempertimbangkan kemungkinan anggaran subsidi dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah/Negara (APBN/APBD), atau memberi insentif finansial pada lembaga pembiayaan milik negara dalam bentuk hibah.
Hal ini karena pada awal praktik penerapan skema, negaralah yang sering menanggung risiko kredit bersama lembaga pembiayaan.
Dua Jalur
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara telah mengatur dua jalur dukungan finansial kepada lembaga pembiayaan dan debitur utang KI.
Pasal 24 UU itu menyebut, pemerintah dapat memberikan hibah kepada perusahaan milik negara dan daerah dengan persetujuan DPR. Tentunya, penerapan anggaran jaminan utang melalui APBN/APBD juga dapat dilakukan.
Namun metode hibah lebih direkomendasikan karena skema itu akan mulai diterapkan tahun depan, sementara APBN/APBD untuk tahun 2023 telah mulai disusun pertengahan tahun ini.
Di dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta secara implisit disebutkan bahwa hak cipta dapat menjadi objek jaminan fidusia.
Pernyataan ini terdapat pada Pasal 16 ayat (3). Akan tetapi, dalam pasal tersebut tidak secara seutuhnya bank secara mudah memberikan suatu kreditnya. Proses pinjaman kredit dengan objek jaminan KI secara umum tidak terlepas atas dasar nilai suatu karya cipta tersebut.
Memang, bank dapat memberikan pinjaman kepada debitur, namun tetap dengan catatan bahwa debitur memberikan jaminan atas pinjaman tersebut, dalam hal ini berapa nilai hak cipta yang dapat di-appraisal.
Padahal ada empat persyaratan permohonan kredit, yaitu watak (character), kemampuan (capacity), modal (capital), dan prospek usaha (condition of economic) harus terpenuhi. Sedangkan agunan (collateral) bersifat formalitas saja untuk memenuhi kewajiban bank meneliti kemampuan calon debitur menyiapkan jaminan sebagai persyaratan permohonan kredit. (*)
Baca juga: Fokus : Kompor Bang Ben
Baca juga: Daftar Weton Penuh Keberuntungan, Lancar Rezeki dan Pekerjaan
Baca juga: IT Telkom Purwokerto dan KPU Banyumas Sosialisasikan Aplikasi Pemilu “Siballu”
Baca juga: Dery Saputra Manajer Devina Kirana Murka Dituding Sengaja Sembunyikan Perselingkuhan Rizky Billar