OPINI
OPINI Prof DR Nugroho SBM : Meredam Inflasi Tinggi di Indonesia
PERANG Rusia dan ukraina ternyata berimbas ke hampir semua negara dalam bentuk tingginya inflasi.
oleh Prof DR Nugroho SBM, MSi
Guru Besar Ilmu Ekonomi FEB Undip
PERANG Rusia dan ukraina ternyata berimbas ke hampir semua negara dalam bentuk tingginya inflasi. Hal tersebut terjadi karena kedua negara merupakan pemasok 20 persen sumber energi dan 30 persen komoditas pangan dunia.
Sehingga dengan terjadinya perang antar kedua negara maka pasokan energi dan pangan ke seluruh negara di dunia terganggu.
Akibatnya harga pangan dan energi naik dengan sangat tajam dan terjadilah inflasi hampir di semua negara di dunia.
Indonesia tak terkecuali terdampak perang Rusia-Ukraina dalam bentuk tingginya tingkat inflasi. Hingga September 2022 inflasi tahun berjalan sudah mencapai 4,84 persen. Sementara inflasi dari tahun ke tahun (year on year) sudah mencapai 5,95 persen. Ini merupakan angka yang tinggi dan sudah melampaui target pemerintah di APBN 2022 yang hanya 3 persen +- 1 persen.
Tingginya tingkat inflasi tentu sesuatu yang mengkhawatirkan dalam sebuah perekonomian mengingat beberapaa dampak negatif yang ditimbulkannya.
Pertama, daya beli masyarakat khususnya yang berpenghasilan rendah dan tetap. Kedua, inflasi yang tinggi juga akan mengakibatkan distribusi pendapatan yang semakin timpang.
Hal tersebut disebabkan saat inflasi tinggi ada kekayaan atau asset-asset yang nilai atau harganya naik, misal: tanah dan bangunan.
Orang kaya biasanya memiliki beragam asset yang antara lain asset yang nilainya naik akibat inflasi. Sementara itu di lain pihak, orang miskin hanya memiliki asset uang tunai yang nilainya akan merosot ketika terjadi inflasi tinggi.
Ketiga, akan menyebabkan terdepresiasinya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Depresiasi rupiah terhadap dolar AS tersebut tentu akan menyulitkan bagi Indonesia yang ketergantungan terhadap impor masih tinggi serta pembayaran bunga dan cicilan utang luar negerinya juga masih tinggi.
Keempat, situasi inflasi tinggi dan terdepreasinya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akan memancing spekulan untuk masuk dan melakukan spekulasi dalam valuta asing.
Situasi ini akan menggoyahkan hal yang lebih besar yaitu stabiltas sistem keuangan. Goyahnya stabilitas sistem keuangan pada akhirnya akan memicu krisis ekonomi dan juga politik.
Respon BI
Untuk merespon tingginya tingkat inflasi tersebut Bank Indonesia (BI) telah meninggalkan era suku bunga acuan yang rendah selama 18 bulan terakhir.