Berita Regional
Soal Capres, Pengamat: Jawa Masih Jadi Kunci, tapi Politik Etnis Makin Tergerus
Politik Indonesia tak lagi berbicara soal etnis, malah kerjasama antar etnis. Pandangan ilmuwan menganggap secara politik ikatan etnis lebih lemah.
Besarnya penduduk pulau Jawa bisa menjadikan sebagai kunci menduduki kursi presiden.
"Dalam konteks politik elektoral, Jawa sebagai pulau kayak dalam satu kolam ikannya banyak. Memancing pemilu kayak memancing ikan, kemungkinan dapat pemilihnya banyak di sana. Karena geografis kecil tapi pemilihnya banyak. Pasarnya memang di jawa," katanya.
Dengan sistem satu orang untuk satu suara, maka Jawa dinilai tetap menjadi kunci dalam Pemilu 2024.
Hasan Nasbi pun juga meninjau Jawa dari segi etnis dan kultur.
"Dalam konteks etnis dan kultur, nama pulaunya Jawa, tapi ada orang Banten, Sunda, Madura baru disebut Jawa. Kalau data BPS orang yang etnis Jawa itu 45 persen, Sunda 17 persen," lanjutnya.
Dari jumlah tersebut, etnis Jawa dinilai sebagai mayoritas.
Etnis Jawa pun telah tersebar luas di seluruh penjuru nusantara melalui diffusion of national culture atau penyebaran budaya nasional.
"Dari sisi kultural, Jawa ini mayoritas. Jawa ini ada dulu diffusion of national culture dengan program transmigrasi. Jadi dioper ke mana-mana karena Jawa terlalu padat. Ada ke Aceh, Kalimantan, Sulawesi," kata Hasan Nasbi.
Maka dari itu, suara etnis Jawa yang tersebar ini bisa mempengaruhi berbagai wilayah.
"Makanya orang yang berkultur Jawa, beretnis Jawa, tidak hanya di pulau Jawa. Kayak di Lampung itu mayoritas Jawa, 62 persen itu Jawa. Di Sumatera Utara juga, di Kalimantan Timur juga. Beda Sunda yang banyak terkonsentrasi di Jawa Barat. Sulsel juga berdifusi ke mana-mana, utamanya di Indonesia Timur dan Kalimantan," katanya.
Hasan Nasbi mengakui ikatan kultur etnis Jawa sangat kuat. Sebab, kompleksitas budaya Jawa dalam menjalani kehidupan.
Kekuatan etnis ini pun dinilai bisa mempengaruhi suara.
"Hebatnya Jawa menurut saya ikatan identitas kultural. Budaya Jawa kompleks sekali, apapun mengenai aturan hidup ada. Menentukan tanggal, jodoh ada rumusnya, termasuk juga menentukan pemimpin. Pemikiran politik Jawa itu ada," jelas Hasan.
"Makanya orang Chinese di Jawa jadi orang Jawa. Makanannya Jawa, bahasanya Jawa. Beda di Kalimantan, bisa bahasa Mandarin. Begitu kuatnya kultur itu, di Jawa-kan," lanjutnya.
Hasan pun mencontohkan sebaran suara pada Pemilu 2024.
Jokowi sebagai etnis Jawa berhasil menang di daerah seperti Jateng, Jatim hingga Lampung.
Namun, Jokowi tumbang di Jabar yang mayoritas etnis Sunda.
"Dalam konteks nasional, Jokowi di Jabar tidak berdaya, tapi di Jateng, Jatim, Yogya menang besar. Di Lampung juga menang besar. Kalau kita baca data berarti ada kecenderungan etnisitas itu ada," kata Hasan.
Guru Besar Emeritus UIN Alauddin Makassar M Qashim Mathar tegas mengatakan tokoh yang bukan keturunan Jawa mustahil memimpin Indonesia.
"Jawaban saya bukan harus. Tapi wajib," katanya.
Menurutnya, selama ini kepala rakyat Indonesia selalu diisi dengan presiden adalah orang Jawa.
Termasuk beberapa presiden yang terpilih sebelumnya.
Adapun Presiden bukan orang Jawa yang pernah ada bukan karena dipilih langsung oleh rakyat, tapi hanya sebagai pengganti.
"Mustahil tokoh luar Pulau Jawa terpilih menjadi presiden," katanya.
Prof Qashim menjelaskan bahwa polarisasi menyambut Pilpres 2024 ini tidak kalah kencang dengan Pilpres sebelumnya.
Polarisasi, kata dia, akan terus terjadi bahkan bisa makin kencang kedepannya. Sehingga, kata dia, orang yang harus memimpin Indonesia adalah orang Jawa.
Sebab presiden yang terpilih selalu mengandalkan kekuatan uang dan juga oligarki.
"Kalau tidak ada seperti itu pasti kalah," katanya.
Lebih lanjut ia menyebutkan bahwa proses seperti itu didukung oleh peraturan yang ada selama ini.
"Undang-undang pemilu sama sekali tidak mendukung untuk mengubah keadaan ini," katanya.
Ia menyebutkan politisi sebenarnya tidak pernah jenuh. Bahkan banyak di antara mereka pindah-pindah partai.
"Semua ingin terpilih dan berteriak capresnya paling sempurna. Itu jualan politisi. Bukan hal baru. Semuanya nyaris omong kosong," tambahnya.
Menurutnya sampai saat ini presiden yang terpilih tidak otomatis yang terbaik.
"Presiden yang terpilih tidak otomatis yang terbaik karena kita belum punya peraturan dalam undang-undang pemilu yang memaksa rakyat kita dan bangsa kita orang paling ideal yang terpilih," katanya.
Prof Qashim Mathar juga menyindir Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh yang mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai calon presiden (capres), yang kemudian justru memancing polarisasi.
Ia mengatakan pemilihan presiden (Pilpres) 2024 masih lama, namun Surya Paloh sudah berani mendeklarasikan Anies Baswedan lebih dini.
"Masih dua tahun pilpres, Surya Paloh sudah memancing polarisasi itu dengan mendeklarasikan Anies Baswedan," katanya.
Menurutnya, polarisasi tidak akan hilang.
Malah ia menduga pemilu kali ini akan lebih marak polarisasi.
Qashim mengatakan tindakan yang dilakukan Surya Paloh melanggar etika dalam berkampanye.
"Dia menggunting lipatan pada koalisinya. Dia juga melanggar etika berkampanye, karena dia berkampanye terus," katanya.
Menurutnya, polarisasi itu akan terus terjadi bahkan bisa semakin kencang ke depannya.(faqih imtiyaaz/wahyudin tamrin/hasim arfah)