Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Berita Regional

Soal Capres, Pengamat: Jawa Masih Jadi Kunci, tapi Politik Etnis Makin Tergerus

Politik Indonesia tak lagi berbicara soal etnis, malah kerjasama antar etnis. Pandangan ilmuwan menganggap secara politik ikatan etnis lebih lemah.

Editor: galih permadi
Tribun timur
diskusi Program Memilih Damai dengan tema "Masihkan Berlaku The Iron Law of Indonesia Politics 'Jawa Adalah Kunci' Pada Pemilu 2024?" 

TRIBUNJATENG.COM, MAKASSAR- Politik Indonesia tak lagi berbicara soal etnis, malah kerjasama antar etnis.

Pandangan ilmuwan menganggap secara politik ikatan etnis lebih lemah.

Justru saat ini politik etnis semakin menurun pasca orde baru.

Sehingga, pada awal pemilihan presiden secara langsung, pasangan pelangi muncul yakni Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Jusuf Kalla.

SBY beretnis Jawa, sementara Jusuf Kalla beretnis Bugis.

Pernyataan itu mencuat dalam diskusi Program Memilih Damai dengan tema "Masihkan Berlaku The Iron Law of Indonesia Politics 'Jawa Adalah Kunci' Pada Pemilu 2024?"

Diskusi yang digelar di Aula Prof Syukur Abdullah, FISIP Universitas Hasanuddin, Makassar pada Senin (14/11/2022) pagi itu menghadirkan empat pengamat politik dari kalangan akademisi.

Mereka adalah dosen Universitas Indonesia Panji Anugrah Pramana, Komisaris Utama PT Cyrus Nusantara Hasan Hasbi, Guru Besar UIN Alauddin M Qasim Mathar, dan Dosen Sosiologi Politik Iqbal Latief.

Keempat akademisi dan pengamat politik itu membahas tema tersebut selama dua jam lebih.

Panji Anugrah mula-mula membedah soal Jawa adalah kunci dalam pemilihan umum.

"Jawa adalah kunci! Ada dua makna. Pertama, kandidat capres haruslah orang Jawa, yang berpeluang menang adalah orang Jawa. Makna kedua, secara elektoral bisa dipahami bahwa siapapun menguasai Jawa bisa memenangkan kontestasi tersebut," katanya.

Menurutnya, makna ini bisa ke arah orang atau pelakunya maupun ke wilayahnya.

Panji mencontohkan ketika pemilu 2019, Daftar Pemilih Tetap (DPT) mayoritas di Pulau Jawa

"Contohnya DPT 2019, ada 191 juta orang yang memiliki hak pilih. Sekitar 110 juta pemilih itu di Jawa. Jadi 57,29 persen pemilih di Jawa terbagi ke dalam enam provinsi," katanya.

Panji menganggap angka tersebut sangat besar dalam Pemilihan Umum (Pemilu).

Apalagi sistem pemungutan suara di Indonesia menganut satu suara untuk satu orang.

"Memang secara hitung-hitungan matematika itu besar," tegas Panji.

Maka dari itu, makna "Jawa adalah Kunci" bisa disebutkan dari sisi voters atau pemilih.

Panji Anugrah Pramana kemudian menyinggung soal politik etnis.

"Dari sisi etnis memahami data statistik 40 persen lebih sebagai populasi, Sunda 15 persen dan sisanya etnis yang kategori 0-3 persen. Di Indonesia kategori etnis sangat banyak, seorang ilmuwan meneliti etnis ada 1.072 kategori etnis," lanjutnya.

Panji menyebut Indonesia pernah mengalami periode kenaikan politik etnis di akhir masa orde baru.

Kemudian grafiknya mulai menurun di masa pasca orde baru.

Fenomena pasangan pelangi pun dinilai sebagai solusinya.

"Dalam konteks Pilkada ada fenomena pasangan pelangi, maka muncul jargon sahabat semua suku dulu di Sumatera Utara, di Samarinda ada jargon keberagaman itu indah. Bukan berarti aspirasi etnis tidak ada, di Aceh dan Papua ada partai lokal yang dikhususkan," katanya.

Pasangan pelangi ini merujuk pada hadirnya tokoh politik yang bergandengan dari berbagai latar belakang etnis. Politik di Indonesia pun dipandang tidak lagi mengarah ke politik etnis.

"Indonesia tidak mengarah ke politik berbasis etnis malah kerjasama etnis lebih kuat. Indonesia dalam pandangan ilmuwan menganggap secara politik ikatan etnis lemah,” katanya.

Setelah itu, Panji mengungkapkan tiga alasan sehingga masyarakat Indonesia mulai meninggalkan politik etnis.

"Pertama, kita punya tradisi kuat dan sejarah nasionalisme yang meredam aspirasi kedaerahan tidak berkembang. Ini terjadi karena kesadaran kita sebagai bangsa Indonesia," katanya.

Panji menilai adanya sistem yang berlaku menyeluruh.

Sistem terstruktur ini membuat aspirasi kedaerahan diredam secara institusional

Sistem ini sejalan dengan bentuk negara Indonesia yakni kesatuan.

"Kedua, berlakunya sistem nasional. Kita negara kesatuan, beda dengan federal. Sistem kita unitaristik, desentralisasi yang belakangan ditarik jadi resentralisasi. Dalam konteks regulasi, ada DAU (Dana Alokasi Umum) dan DAK (Dana Alokasi Khusus) dari pusat," kata Panji

"Dari aspirasi kedaerahan itu ngerem secara institusional. Desain pemilunya nasional sifatnya sama. Sistem kepartaiannya juga sentralistik, Jakarta juga yang menentukan. Jadi aspirasi terbentuknya parpol daerah tak berkembang," lanjutnya.

Alasan terakhir yakni pengaruh dari politik uang.

"Ketiga yang menarik, ini tidak bisa saya bilang bagus. Ada sistem patronase yang menghancurkan ikatan etnis. Bahasa umumnya, ya politik uang," tegas Alumni UI ini

Menurutnya, politik uang memiliki dua efek berbeda, ibarat pisau bermata dua.

Di satu sisi merusak politik sehat, namun di sisi lain bisa meredam politik etnis.

"Ya merusak dan berdampak tidak terbangunnya politik etnis karena dari aspek sebagai mekanisme politik elektoral yang efektif dalam mobilisasi sehingga basis ikatan identitas etnis tidak berkembang," katanya.

Sementara itu Komisaris Utama PT Cyrus Nusantara, Hasan Nasbi membahas detail soal potret pemilih Indonesia.

Hasan Nasbi menyebut pemilih harus legowo melihat pulau Jawa yang menjadi lumbung suara.

"Kalau bicara dalam konteks Jawa kita harus memahami dalam beberapa pengertian kalau Jawa adalah sebuah pulau itu dalam berbagai survei, komposisi hampir 60 persen berdiam di Pulau Jawa," jelas Hasan Nasbi

"Jadi kalau kita sederhanakan 60 persen Jawa, 20 Sumatra, 20 lagi itu gabungan dari Kalimantan, Sulawesi, Bali, Maluku sampai Papua. Jabar tambah Jakarta aja lebih besar dari Indonesia Timur," lanjut alumni Ilmu Politik Universitas Indonesia itu.

Bahkan ia menyampaikan jumlah populasi di Pulau Jawa terbanyak di dunia.

"Jawa itu the most populated island in the world. Bahkan penduduk pulau Jawa lebih besar dari Rusia," kata Hasan Nasbi.

Dalam politik, Hasan mengibaratkan pulau Jawa seperti kolam ikan.

Besarnya penduduk pulau Jawa bisa menjadikan sebagai kunci menduduki kursi presiden.

"Dalam konteks politik elektoral, Jawa sebagai pulau kayak dalam satu kolam ikannya banyak. Memancing pemilu kayak memancing ikan, kemungkinan dapat pemilihnya banyak di sana. Karena geografis kecil tapi pemilihnya banyak. Pasarnya memang di jawa," katanya.

Dengan sistem satu orang untuk satu suara, maka Jawa dinilai tetap menjadi kunci dalam Pemilu 2024.

Hasan Nasbi pun juga meninjau Jawa dari segi etnis dan kultur.

"Dalam konteks etnis dan kultur, nama pulaunya Jawa, tapi ada orang Banten, Sunda, Madura baru disebut Jawa. Kalau data BPS orang yang etnis Jawa itu 45 persen, Sunda 17 persen," lanjutnya.

Dari jumlah tersebut, etnis Jawa dinilai sebagai mayoritas.

Etnis Jawa pun telah tersebar luas di seluruh penjuru nusantara melalui diffusion of national culture atau penyebaran budaya nasional.

"Dari sisi kultural, Jawa ini mayoritas. Jawa ini ada dulu diffusion of national culture dengan program transmigrasi. Jadi dioper ke mana-mana karena Jawa terlalu padat. Ada ke Aceh, Kalimantan, Sulawesi," kata Hasan Nasbi.

Maka dari itu, suara etnis Jawa yang tersebar ini bisa mempengaruhi berbagai wilayah.

"Makanya orang yang berkultur Jawa, beretnis Jawa, tidak hanya di pulau Jawa. Kayak di Lampung itu mayoritas Jawa, 62 persen itu Jawa. Di Sumatera Utara juga, di Kalimantan Timur juga. Beda Sunda yang banyak terkonsentrasi di Jawa Barat. Sulsel juga berdifusi ke mana-mana, utamanya di Indonesia Timur dan Kalimantan," katanya.

Hasan Nasbi mengakui ikatan kultur etnis Jawa sangat kuat. Sebab, kompleksitas budaya Jawa dalam menjalani kehidupan.

Kekuatan etnis ini pun dinilai bisa mempengaruhi suara.

"Hebatnya Jawa menurut saya ikatan identitas kultural. Budaya Jawa kompleks sekali, apapun mengenai aturan hidup ada. Menentukan tanggal, jodoh ada rumusnya, termasuk juga menentukan pemimpin. Pemikiran politik Jawa itu ada," jelas Hasan.

"Makanya orang Chinese di Jawa jadi orang Jawa. Makanannya Jawa, bahasanya Jawa. Beda di Kalimantan, bisa bahasa Mandarin. Begitu kuatnya kultur itu, di Jawa-kan," lanjutnya.

Hasan pun mencontohkan sebaran suara pada Pemilu 2024.

Jokowi sebagai etnis Jawa berhasil menang di daerah seperti Jateng, Jatim hingga Lampung.

Namun, Jokowi tumbang di Jabar yang mayoritas etnis Sunda.

"Dalam konteks nasional, Jokowi di Jabar tidak berdaya, tapi di Jateng, Jatim, Yogya menang besar. Di Lampung juga menang besar. Kalau kita baca data berarti ada kecenderungan etnisitas itu ada," kata Hasan.

Guru Besar Emeritus UIN Alauddin Makassar M Qashim Mathar tegas mengatakan tokoh yang bukan keturunan Jawa mustahil memimpin Indonesia.

"Jawaban saya bukan harus. Tapi wajib," katanya.

Menurutnya, selama ini kepala rakyat Indonesia selalu diisi dengan presiden adalah orang Jawa.

Termasuk beberapa presiden yang terpilih sebelumnya.

Adapun Presiden bukan orang Jawa yang pernah ada bukan karena dipilih langsung oleh rakyat, tapi hanya sebagai pengganti.

"Mustahil tokoh luar Pulau Jawa terpilih menjadi presiden," katanya.

Prof Qashim menjelaskan bahwa polarisasi menyambut Pilpres 2024 ini tidak kalah kencang dengan Pilpres sebelumnya.

Polarisasi, kata dia, akan terus terjadi bahkan bisa makin kencang kedepannya. Sehingga, kata dia, orang yang harus memimpin Indonesia adalah orang Jawa.

Sebab presiden yang terpilih selalu mengandalkan kekuatan uang dan juga oligarki.

"Kalau tidak ada seperti itu pasti kalah," katanya.

Lebih lanjut ia menyebutkan bahwa proses seperti itu didukung oleh peraturan yang ada selama ini.

"Undang-undang pemilu sama sekali tidak mendukung untuk mengubah keadaan ini," katanya.

Ia menyebutkan politisi sebenarnya tidak pernah jenuh. Bahkan banyak di antara mereka pindah-pindah partai.

"Semua ingin terpilih dan berteriak capresnya paling sempurna. Itu jualan politisi. Bukan hal baru. Semuanya nyaris omong kosong," tambahnya.

Menurutnya sampai saat ini presiden yang terpilih tidak otomatis yang terbaik.

"Presiden yang terpilih tidak otomatis yang terbaik karena kita belum punya peraturan dalam undang-undang pemilu yang memaksa rakyat kita dan bangsa kita orang paling ideal yang terpilih," katanya.

Prof Qashim Mathar juga menyindir Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh yang mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai calon presiden (capres), yang kemudian justru memancing polarisasi.

Ia mengatakan pemilihan presiden (Pilpres) 2024 masih lama, namun Surya Paloh sudah berani mendeklarasikan Anies Baswedan lebih dini.

"Masih dua tahun pilpres, Surya Paloh sudah memancing polarisasi itu dengan mendeklarasikan Anies Baswedan," katanya.

Menurutnya, polarisasi tidak akan hilang.

Malah ia menduga pemilu kali ini akan lebih marak polarisasi.

Qashim mengatakan tindakan yang dilakukan Surya Paloh melanggar etika dalam berkampanye.

"Dia menggunting lipatan pada koalisinya. Dia juga melanggar etika berkampanye, karena dia berkampanye terus," katanya.

Menurutnya, polarisasi itu akan terus terjadi bahkan bisa semakin kencang ke depannya.(faqih imtiyaaz/wahyudin tamrin/hasim arfah)

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved