Berita Jateng
Inovasi Perahu Tenaga Surya, Upaya Wujudkan Karbon Biru
Perahu nelayan tenaga surya dinilai mampu menjadi alternatif dalam upaya menjaga kelestarian laut.
Penulis: Idayatul Rohmah | Editor: Catur waskito Edy
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Perahu nelayan tenaga surya dinilai mampu menjadi alternatif dalam upaya menjaga kelestarian laut. Sebab, inovasi tersebut dianggap lebih ramah lingkungan, efisien, dan hemat.
Penggagas perahu tenaga surya Kota Pekalongan, Idi Amin, mengatakan, perahu tradisional bertenaga surya mulai dikembangkan sejak tahun 2019.
Kala itu, pihaknya harus bongkar pasang perahu selama enam bulan untuk merancang perahu bertenaga surya yang ideal.
Inovasi tersebut kemudian dilakukan dengan membuat panel surya sebagai atap perahu.
"Pembuatan selama enam bulan di perahu kecil 3 gross tonnage (GT) sehingga cocok untuk nelayan tradisional yang berangkat melaut hanya hitungan jam," katanya kepada tribunjateng.com, Kamis (8/12/2022).
Perahu tradisional tenaga surya ramah lingkungan hasil rancangannya bersama para mekanik mampu memiliki penggerak motor direct current bertenaga 3 ribu watt atau 48 volt menghasilkan tenaga 3 ribu Revolution Per Minute (RPM).
"Ide membuat perahu tenaga surya mulai muncul akhir tahun 2018 saat memancing di pesisir Pekalongan. Ketika itu saya berpikir kenapa tak pakai tenaga surya saja, pakai mesin diesel berisik, polusi, BBM susah dan mahal," paparnya.
Cara kerja perahu tenaga surya secara sederhana dimulai saat panel solar sel menangkap sinar matahari. Hasil tangkapan itu nantinya disalurkan ke controller yang akan diteruskan ke baterai.
Tenaga di baterai itu akan digunakan untuk menggerakkan mesin.
"Kekuatan baterai menyimpan tenaga listrik yang secara daya mampu mengoperasikan perahu hingga 3 sampai 6 jam tanpa sinar matahari," ujarnya.
Biaya membuat perahu tenaga surya untuk seluruh perangkat sistem meliputi panel sel, controller, baterai ditaksir menelan biaya Rp80 juta sampai Rp90 juta.
Harga itu belum termasuk perahunya. Angka itu, menurut Amin tidak besar. Hitung-hitungannya jauh lebih murah dibandingkan dengan menggunakan solar.
Perahu tenaga surya dibandingkan tenaga solar diklaim lebih hemat 100 persen. Sebab, nelayan tidak perlu membeli solar cukup memanfaatkan sumber matahari juga didapat secara gratis dan melimpah.
"Kelihatannya mahal di awal tapi jangka panjangnya lebih murah. Misal uang beli solar dihitung selama dua tahun itu sudah dapat membeli perangkat tenaga surya," paparnya.
Nelayan dalam melakukan perawatan perahu itu juga cukup mudah seperti hanya perlu rajin membersihkan panel Surya. Selebihnya, sistem peralatan tenaga Surya itu mampu bertahan lebih dari lima tahun.
Kendati diklaim lebih hemat, ia mengaku, perahu itu belum dapat diproduksi massal. Pihaknya sejuah ini baru memproduksi 14 perahu.
Empat perahu saat ini digunakan di pantai Marunda Jakarta Utara. Sisanya dipesan oleh warga untuk digunakan di perairan kepulauan Batam.
"Iya yang pesen dari luar Jawa sementara untuk alat transportasi bukan sebagai perahu tangkap ikan," terangnya.
Ia menjelaskan, terkait kelemahan perahu tenaga surya tentu dalam kondisi tidak ada sumber matahari seperti saat hujan deras dan cuaca buruk.
Namun di kondisi tersebut nelayan memang tidak melaut, mau pakai solar atau tenaga matahari kalau cuaca buruk nelayan tentu libur melaut.
"Kalau malam hari sudah ada baterai yang mampu menyimpan daya yang dapat digunakan," jelasnya.
Ia berharap, inovasi tersebut dapat terus dikembangkan di antaranya pemerintah hadir untuk memfasilitasi pengembangan perahu nelayan.
Terutama dalam upaya memanfaatkan sumber daya alam yang melimpah sinar matahari dapat dimanfaatkan maksimal sekaligus untuk kelanjutan ekosistem laut yang bersih.
Lebih dari itu, nelayan akan mendapatkan hasil keuntungan penjualan ikan karena tak perlu beli solar.
Begitupun pemerintahan dapat mengurangi subsidi BBM karena tidak perlu pakai solar lagi.
"pengembangan perahu tradisional tenaga surya tetap membutuhkan peran pihak ketiga seperti pemerintah maupun sektor swasta sehingga mampu membantu nelayan untuk memiliki perahu tersebut," katanya.
Terpisah, Ketua DPD Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Jateng, Rismanto menyebutkan, kenaikan harga BBM memang berdampak terhadap nelayan, khususnya kapal perikanan di bawah 30 GT.
Dia menyebut, sejauh ini, 70 persen kebutuhan operasional melaut menggunakan BBM subsidi jenis pertalite dan solar.
Adapun dampak kenaikan BBM itu, setidaknya akan dirasakan oleh 15.219 pemilik kapal perikanan berukuran di bawah 30 GT di Jawa Tengah.
"Kenaikan harga BBM juga diikuti oleh kenaikan harga bahan pokok yang menjadi perbekalan selama melaut kurang lebih 15-20 persen, sehingga nelayan harus mengurangi jumlah hari operasi/trip penangkapannya yang menyebabkan penurunan produksi dan pemilik kapal akan merugi," terangnya di sela Focus Group Discussion (FGD) terkait penggunaan teknologi dan digitalisasi bagi para nelayan penangkap ikan di Jawa Tengah yang digelar di salah satu hotel Kota Semarang, Senin (28/11) lalu.
Upaya Berbagai Pihak
Di sisi lain, berbagai pihak kini tengah mendorong agar hasil tangkapan nelayan bisa optimal dan juga bisa lebih irit bahan bakar.
Kamar Dagang Industri (Kadin) Provinsi Jawa Tengah memandang, persoalan nelayan selama ini selain karena faktor juga keterbatasan teknologi alat tangkap.
Teknologi yang terbatas tersebut mengakibatkan ketergantungan terhadap musim menjadi sangat tinggi sehingga wilayah dan hasil tangkapnya juga terbatas.
Selain itu, kondisi sumber daya perikanan yang bersifat milik umum telah mengakibatkan terjadinya persaingan dalam memperebutkan sumberdaya sehingga para nelayan tradisional akan selalu kalah dalam persaingan.
Kondisi inilah yang mengakibatkan pendapatan nelayan menjadi rendah.
"Hasil tangkapan ikan cenderung menurun dari tahun ke tahun, salah satu penyebabnya adalah berkurangnya kapal besar yang melakukan bongkaran hasil tangkapan pelabuhan di Jawa Tengah.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 58 tahun 2020 yang agak merugikan atau mempersulit kapal besar dan nelayan perlu peningkatan akses terhadap teknologi penangkap ikan supaya hasil tangkapan lebih menguntungkan," kata Koordinator WKU Bidang Maritim, Investasi & Luar Negeri Kadin Jateng, Edward Sofiananda.
Hal itu juga berbanding lurus dengan data Data Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Tengah yang menyebutkan, hasil tangkapan ikan di Jawa Tengah cenderung mengalami penurunan dua tahun terakhir.
Tercatat, produksi tangkap tahun 2021 yakni sebanyak 330.293 ton, turun dari produksi tangkap tahun 2020 yang sebanyak 433.938 ton.
"Tahun 2020-2021 terjadi penurunan. Tahun 2021, produksi kita sekitar 330.000 ton.
Mungkin turun karena tahun 2020-2021 masih ada pandemi covid-19, sehingga berpengaruh terhadap aktivitas penangkapan ikan, banyak kapal tidak berlayar," katanya.
Fendiawan lebih lanjut mengatakan, jika dilihat dari data sejak tahun 2018, hasil tangkap ikan terjadi secara fluktuatif.
Tercatat produksi tangkap tahun 2018 sendiri sebanyak 446.277 ton dan tahun 2019 mengalami peningkatan menjadi 495.356 ton.
Setelah itu, mengalami penurunan tahun 2020 dan 2021.
"Ini fluktuatif. Tahun 2022 mudah-mudahan mulai normal dan hasil tangkapan sesuai target," tambahnya.
Sementara itu, untuk meningkatkan hasil tangkapan ikan para nelayan di Jawa Tengah, Fendiawan mengatakan, dukungan diberikan yakni teknologi tangkapan ikan baik berbasis satelit maupun berbasis radio.
Teknologi berbasis satelit telah diujicobakan tahun ini dengan pemasangan alat di atas kapal berukuran di bawah 30 GT.
Adapun uji coba dilakukan di wilayah pantai utara dan pantai selatan.
Sedangkan teknologi berbasis radio, rencana tahun depan akan memasang 10 alat.
"Untuk satelit tahun ini ada 13 alat. Rencana nanti di Cilacap, Kebumen, Batang, dan Rembang. Ini merupakan pilot project, jadi kami mengadakan alat ini kemudian kami coba ke mereka.
Mudah-mudahan kedepan secara bertahap mereka bisa memiliki atau membeli sendiri.
Tentunya nanti ada skema pembiayaan yang memudahkan mereka untuk mendapatkan alat tersebut," ungkapnya.
Adapun teknologi berbasis radio, disebutkan, uji coba Februari tahun depan, bekerjasama dengan BPI dan Undip.
"Ini akan bagus sekali karena nelayan dimudahkan untuk lokasi penangkapan ikan dan bisa berkomunikasi menggunakan handphone, sehingga nelayan lebih terbantu dalan menangkap ikan.
Dampaknya, BBM lebih hemat dan waktu penangkapan lebih singkat," sambungnya.
Wakil Ketua DPRD Provinsi Jawa Tengah Sukirman di sisi itu menyebutkan, ada sejumlah persoalan dihadapi para nelayan Jawa Tengah yang membuat mereka masih kesulitan mengembangkan perekonomiannya.
Menurutnya, minimnya pemanfaatan teknologi menjadi satu di antara permasalahan tersebut sehingga perlu untuk didorong.
"Banyak persoalan yang kemudian kami akomodir di dalam Perda itu. Harapan termasuk digitalisasi dan seterusnya ini mendapat perhatian pemerintah yang serius.
Anggaran dari APBD sangat mungkin, tapi tentu saja bertahap karena banyak program yang juga kami sudah arahkan ke nelayan seperti subsidi BBM dan tinggal penggunaan fasilitas (teknologi) melalui aplikasi ini yang memang harus jadi prioritas," imbuhnya. (idy)
Baca juga: Hasil Liga 1 Hari Ini : Tanggapan Aji Santoso Setelah Persebaya Dikalahkan Persib Bandung
Baca juga: Kalahkan Jonatan Christie, Anthony Ginting Melaju ke Final BWF World Tour Finals 2022
Baca juga: Kecelakaan Maut Pikap Terbakar Setelah Tabrak Pohon, Sopir dan Penumpang Tewas
Baca juga: Lolos Test CAT, 243 Calon PPK Akan Ikuti Seleksi Wawancara