Berita Demak
Kisah Ningsih di Sayung Demak Anaknya Stunting Rumahnya Hampir Tenggelam Karena Air Rob
Sri Ningsih (39) digelayuti anak ketiganya bernama Lutfi Yahya (3) saat duduk santai di depan rumah panggung mereka di Desa Timbulsloko.
Penulis: iwan Arifianto | Editor: rival al manaf
TRIBUNJATENG.COM,SEMARANG - Pemerintah pusat hingga daerah tengah gencar menekan tingkat presentase stunting atau anak gagal tumbuh.
Sayangnya, di tengah upaya tersebut, masih banyak anak stunting hidup semakin terdesak di tengah banjir rob.
Sri Ningsih (39) digelayuti anak ketiganya bernama Lutfi Yahya (3) saat duduk santai di depan rumah panggung mereka di Desa Timbulsloko, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak.
Baca juga: Sederet Kisah Nikita Mirzani di Penjara, Dari Traktir Pizza Rp 10 Juta Hingga Jadi Motivator
Baca juga: Inilah Gempa Bumi Pertama Kali di Tahun Baru 2023, Berikut Penjelasan BMKG
Baca juga: 32 Kades Baru Dilantik di Akhir Tahun, Bupati Wonosobo Berpesan Bangkitkan Ekonomi Desa
Anaknya tersebut dikategorikan sebagai anak stunting oleh petugas kesehatan setempat akibat berat badannya kurang.
"Anak saya usia tiga tahun, bobot kurang dari 10 kilogram, idealnya di angka 12-13 kilogram," ujarnya kepada Tribun Jateng, Jumat (30/12/2022).
Ia mengaku, tidak bisa berbuat banyak terhadap kondisi anaknya tersebut. Ibu rumah tangga yang memiliki empat anak itu tidak punya penghasilan yang cukup untuk memberikan gizi tambahan kepada anak-anaknya.
Suaminya, hanya pencari kerang dengan penghasilan Rp30 ribu perhari. Ditambah kondisi kampung kini sudah terendam rob selama bertahun-tahun. Tak pelak, kondisi itu memperparah tumbuh kembang anaknya.
"Dulu aku kecil kampung ini subur, ada banyak sawah, bisa tanam sayur dan ketela di halaman rumah. Buah-buahan juga banyak tidak kekurangan makanan, sekarang mau tanam apa?, kanan kiri sudah jadi laut," ujarnya.
Kampung Timbulsloko sekarang memang sudah menjadi lautan. Ratusan rumah di kampung itu berevolusi menjadi rumah panggung. Jalan tanah diganti jalan papan yang saling terhubung antar rumah.
Kondisi tersebut membuat warga susah mengakses layanan kesehatan. Satu-satunya jalan penghubung Kampung sejak tahun 2018 tidak berfungsi. Kini, jalan tersebut sedang dalam pembangunan.
Kondisi itu membuat warga harus menggunakan perahu untuk keluar dari kawasan perkampungan. Biaya sewa perahu motor Rp5 ribu satu kali jalan.
"Kalau mau beli sayur tidak bisa, penjual sayur di sini hanya ada satu orang namanya Bu Bandriah. Tapi itu kalau ada uang, beli di sana kalau terlambat sedikit ya habis," ungkapnya.
Kondisi rob, kata Sri, semakin memperparah kondisi anaknya yang sering sakit-sakitan. Paling tidak sebulan sekali anaknya sakit terutama demam dan batuk.
Untuk berobat, ia menunggu layanan posyandu sebulan sekali. Semisal sakitnya kian parah, terpaksa harus naik perahu ke seberang kampung.
"Untuk pergi ke rumah sakit dari sini butuh waktu selama 2-3 jam, puskemas 1 jam, dan bidan terdekat naik perahu 30 menit," jelasnya.
Kendati anaknya masuk kategori stunting, pemberian bantuan gizi dari pemerintah hanya diterimanya selama dua bulan. Itupun hanya berupa susu kotak ukuran sekira 115 mililiter sebanyak 10 biji, biskuit dan makanan tambahan lainnya.
"Bantuan hanya dua bulan, habis itu berhenti sampai sekarang," katanya.
Ia mengatakan, sebenarnya anaknya menyukai makanan olahan telur namun tidak bisa dipenuhinya setiap hari.
Seringkali anaknya yang stunting diberi asupan gizi seadanya seperti yang dimakan oleh orangtuanya yaitu tempe, tahu dan kerang hasil tangkapan suaminya.
"Saat ada uang lebih saya dibelikan susu tapi sebatas susu sachet di warung," ujarnya.
Ia harap anaknya yang stunting mendapatkan bantuan untuk penambahan gizi.
"Ya supaya gizinya ada perbaikan, tidak kurus gini," bebernya.
Perempuan Timbulsloko, Yulianti (22) mengatakan, anaknya Beliatunnissa (3) alami stunting sejak umur dua tahun.
Menurutnya, rob berpengaruh terhadap kondisi anaknya yang alami stunting. Selain itu berdampak pula kepada anaknya yang rentan sakit seperti sering demam, batuk, pilek.
"Sakit karena ya kondisi kampung seperti ini, rob dan angin laut cukup kencang," terangnya.
Dalam pemenuhan gizi anaknya, ia merasa kesulitan sebab di kampungnya sudah berubah jadi lautan.
Sekarang untuk mencari sayur saja susah sebab harus membeli di satu-satunya pedagang di kampung itu.
"Dulu zaman saya depan rumah bisa ditanami sayur karena kampung sini dulu sawah. Sekarang serba susah, jadi menu makanan diikutkan yang dimakan orangtua, menunya sama tidak ada menu tambahan," paparnya.
Ketua Forum Dukuh Timbulsloko, Ashar mengatakan, kampungnya kini dihuni oleh 132 kepala keluarga (KK) dengan jumlah lebih dari 300 jiwa.
"Di kampung ini didominasi anak-anak, kasihan mereka hidup di tengah rob tanpa akses kesehatan dan gizi yang baik," jelasnya.
Para anak juga rentan penyakit sebab harus hidup di tengah banjir rob. Selain itu, mereka rentan kekurangan gizi akibat orangtuanya tidak Bekerja sehingga konsumsi makanan seadanya.
"Bisa dilihat di sini, anak-anak kelihatan kurus-kurus karena kurang pangan," ucapnya.
Menurutnya, kampungnya dahulu merupakan wilayah subur sebab menanam saja bisa hidup.
Di sepanjang jalanan kampung ditumbuhi pohon kelapa.
Depan rumahnya terdapat beragam tanaman sayur dan buah-buahan seperti bayem,pisang, dan jambu. Sebaliknya, belakang rumahnya di tanam beragam sumber karbohidrat seperti ketela dan jagung.
"Makan apa saja ada, tidak harus beli sehingga gizi anak dulu tercukupi beda dengan sekarang," tuturnya.
Kondisi kian berubah sejak tahun 2010, kampungnya mulai terkena abrasi yang disusul banjir rob hingga sekarang.
"Paling parah tahun 2018, kampung kian tenggelam, makanya kami modifikasi kampung jadi rumah panggung," terangnya.
Pesisir Semarang
Keadaan anak stunting di kota Semarang dapat ditengok di kawasan perkampungan nelayan Tambak Lorok, Kelurahan Tanjung Mas, Kecamatan Semarang Utara.
Perkampungan yang pernah dikunjungi Jokowi secara incognito pada awal tahun 2019 silam masih menyimpan seabrek persoalan di antaranya soal stunting.
Perempuan Tambak Lorok, Nur Hidayah (40) menjelaskan,banjir rob kian memperparah kondisi anaknya yang stunting sejak lahir.
Menurutnya, kesehatan anaknya kian memprihatinkan sebab rentan terkena diare dan masuk angin.
Apalagi hampir setiap hari depan rumahnya terendam banjir rob.
"Tadi malam saja air rob sampai masuk ke dalam rumah. Kami terpaksa tidur di atas kursi. Kondisi itulah yang kian memperburuk kesehatan," paparnya, Kamis (29/12/2022).
Ia sebagai single parents harus menghidupi tiga orang anaknya di tengah penghasilan tak menentu.
Pekerjaannya hanya sebagai buruh mengelupas kerang, sehari mentok penghasilan Rp20 ribu per hari.
Kerjanya libur ketika nelayan libur seperti kondisi seperti sekarang yang mana cuaca pesisir tak bersahabat.
Seringkali kebutuhan sehari-harinya dibantu oleh kerabat yang kondisinya juga serba terbatas.
"Anak paling besar laki-laki tapi putus sekolah, lulus SMP tidak melanjutkan. Dua anak perempuan saya masih 5 tahun dan 4 tahun, keduanya stunting tapi hanya satu saja yang bisa dimasukkan untuk mendapatkan bantuan karena syaratnya seperti itu, satu rumah satu anak," bebernya.
Perempuan pengidap kanker payudara itu menyebut, nutrisi dua balitanya mengandalkan bantuan susu dari pemerintah.
Ia tak membayangkan semisal tidak mendapatkan bantuan tersebut.
"Full bantuan susu dari pemerintah kalau tidak ya tidak bisa beli susu," ungkapnya.
Supriyono (40) warga Tambak Lorok, menyebut, kondisi rob diakuinya memang berpengaruh terhadap kesehatan anaknya.
Terutama terhadap anak kelimanya yang alami stunting. "Ada rob bikin anak sering sakit jadinya tidak mau makan, makannya sulit jadinya stunting," ujarnya.
Ia dan istrinya sudah berupaya untuk memperbaiki kondisi gizi anaknya.
Terutama istrinya, Sukmaningsih (36), di tengah kesibukannya bekerja sebagai buruh pabrik kadangkala sering membuat menu makanan pendamping ASI (MPASI).
"Saya lihat caranya di YouTube, namun karena anak seringnya sama suami jadi makanan kalau tidak beli ya bikin kuah mie instan," ujar Sukmaningsih.
Rumahnya yang direndam rob berdampak pula bagi kesehatan anaknya berupa sering sakit pilek, batuk hingga demam sehingga nafsu makan berkurang.
Kondisi tersebut lebih parah dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mana rob terjadi hampir setiap hari sebelum ada sheet pile di depan rumahnya.
Dulu keempat anaknya kerap terkena diare karena direndam rob setiap hari.
"Sekarang rob terjadi saat gelombang tinggi saja, sakit diare sudah jarang seringnya sakit demam dan panas," papar Supriyono.
Perempuan Tambak Lorok, Supriyanti (35), menuturkan, anaknya yang berusia tiga tahun mengalami stunting sejak setahun lalu.
Diakuinya, kondisi rob tidak bisa jualan sehingga tidak bisa kerja yang berimbas tak ada pemasukan. Hal itu secara langsung berdampak pada pemenuhan gizi anaknya.
"Makan jadi seadanya, tahu dan tempe mengikuti orangtua," terangnya.
Rumahnya memang berpagar lautan yang berada di sebelah barat. Akibat kondisi rob, banyak sampah terbawa hingga menyangkut di kolong rumahnya yang didesain rumah panggung supaya tidak terendam rob.
"Rumah persis di pinggir laut, memang tidak sehat, anak seringnya kena batuk pilek, jadi susah makan," ungkapnya.
Ia menyebut, belum sempat bikin MPASI bagi anaknya lantaran tidak ada waktu. Seluruh waktunya habis untuk bekerja sebagai pedagang sayur dan mengurus tiga anaknya. Sedangkan suaminya sibuk berjualan ikan.
"Anak saya tiga memang kecil-kecil, mungkin semuanya dulu stunting tapi tidak terdeteksi," jelasnya.
Koordinator kader stunting Tambak Mulyo dan Tambakrejo, Tanjung Mas,Suntiah (52) mengatakan, faktor alam seperti rob ikut berkontribusi dalam menyumbang stunting.
Keterkaitan tersebut dapat dilihat secara garis lurus yang mana banjir rob membuat nelayan kesulitan melaut yang berimbas pemasukan seret.
"Makan jadi seadanya begitupun bagi balita," tuturnya.
Kondisi anak stunting semakin menderita di tengah banjir rob karena daya tahan tubuh mereka rentan.
Di samping itu, mereka harus bertahan di situasi tersebut sehingga lebih mudah terserang demam, flu, dan diare. Hal itu berhubungan pula terhadap nafsu makan yang menurun.
"Dari persoalan itu penangan stunting di sini tak mudah seperti membalikkan kedua telapak tangan," ucapnya.
Kendati demikian, pihaknya mengklaim angka stunting di kawasan pesisir mengalami penurunan setiap tahunnya.
Pada tahun 2020 di angka 230 balita, tahun 2021 menjadi 109 balita, hingga Desember tahun 2022 turun menjadi 87 balita.
"Khusus Tambak Lorok dari RW 12 sampai RW 16 tinggal 16 balita stunting," terangnya.
Namun, lanjut dia, angka tersebut cukup tinggi dibandingkan dengan daerah lainnya yang hanya dua sampai tiga orang dengan cakupan wilayah yang sama.
"Ya memang angka stunting selalu tambal sulam, balita satu lepas stunting tapi selalu ada temuan baru. Ada beberapa faktor penyebab selain lingkungan adapula karena pola pikir, pola asuh dan pola hidup," bebernya.
Ia menyebut, penanganan stunting di pesisir supaya lebih cepat terselesaikan harus ada intervensi gizi secara lebih masif seperti asupan susu, suplemen atau vitamin diperbanyak.
"Pemerintah bisa kerjasama dengan akademisi bagaimana menangani persoalan ini," imbuhnya.
Rob dan Stunting
Presiden Jokowi di tahun 2024 menargetkan angka stunting dapat ditekan menjadi 14 persen. Berbagai program dicanangkan untuk mengejar target tersebut.
Berdasarkan hasil Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) Kementerian Kesehatan, prevalensi balita stunting sebesar 24,4 persen pada 2021. Angka tersebut lebih rendah dibanding 2020 yang diperkirakan mencapai 26,9 persen.
Kendati demikian, angka tersebut menunjukkan hampir seperempat balita di Indonesia mengalami stunting di tahun lalu.
Berbagai daerah di Indonesia memiliki prevalensi stunting tinggi seperti wilayah Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Banten dan Sumatera.
Daerah lainnya meliputi Kalimantan Selatan, Sulawesi Barat, Aceh, Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.
Data Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) tahun 2019, Prevalensi Jawa Tengah berada di angka 27,68 persen, dan data SSGI 2021 turun tajam menjadi 20,9 persen. Merujuk data itu, berarti 1 dari 5 balita di Jawa Tengah alami stunting.
Persoalan stunting di kawasan pesisir juga tidak dapat dipandang sebelah mata.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Demak, total kasus stunting keseluruhan di Kabupaten Demak pada tahun 2021 mencapai 4.215 balita.
Tersebar di Kecamatan Kecamatan Bonang 702 balita, Sayung 427 balita, Wedung 349 balita dan Karangtengah 154 balita. Empat kecamatan tersebut berada di pesisir Demak yang terdampak abrasi.
Sisa angka stunting tersebar di kecamatan lainnya seperti di Guntur total stunting 694,Kecamatan Wonosalam 406,Demak 353, Mijen 150, Kebonagung 87, Karangawen 193, Karanganyar 130 dan Mranggen 207.
Begitupun di Kota Semarang, merujuk data Dinas Kesehatan Kota Semarang pada Agustus 2022 mencatat ada 1.465 kasus balita mengalami stunting dari total 95.447 balita.
Kasus terbanyak berada di Kecamatan Semarang Utara dengan total 236 kasus. Lebih rinci, kasus tertinggi berada di Kelurahan Bandarharjo sebanyak 75 balita, sedangkan Tanjung Mas terdapat 87 balita.
Dua kelurahan tersebut berada di kawasan pesisir.
Berkaitan banjir rob di Demak dan Semarang apakah mempengaruhi kondisi anak stunting, Dokter spesialis anak, Dr.dr.Muhammad Heru Muryawan SpA(K) mengatakan, status kesehatan dipengaruhi dari hal paling besar yakni lingkungan baik itu geografis,biologi,psikologi,sosial,ekonomi dan budaya.
Disusul perilaku kesehatan berupa perilaku hidup sehat dari masyarakat.
Kemudian faktor genetik yakni sehat atau ada penyakit sejak dalam kandungan.
Terakhir dukungan pelayanan kesehatan meliputi puskesmas, rumah sakit , rumah sakit rujukan dan lainnya.
"Jadi, kondisi lingkungan yang tidak optimal mempengaruhi kondisi kesehatan anak," bebernya yang juga Sekertaris umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Wilayah Jawa Tengah.
Selain itu, dalam jangka waktu panjang beragam penyakit dapat menimpa anak ketika
dalam kondisi rob seperti penyakit infeksi umum meliputi penyakit kulit, diare, infeksi saluran pernafasan akut, dan
leptospirosis.
"Penyakit lain yakni status gizi baik gizi kurang atau gizi buruk," bebernya.
Melihat kondisi itu, ia mendorong upaya yang bersifat lintas program dan lintas sektoral untuk penanganan dan
pencegahan.
"Perlu pula melibatkan
organisasi profesi termasuk IDI dan organisasi profesi kesehatan lain," terangnya.
Lindungi Pesisir
Terpisah, menurut Pakar Lingkungan dan Tata Kota Universitas Sultan Agung (Unissula) Semarang, Mila Karmila, menjelaskan, kawasan permukiman yang terendam rob memang lebih rentan anak-anaknya mendapatkan persoalan kesehatan seperti stunting.
Sebab, praktik di lapangan yang terjadi yaitu uang yang semestinya digunakan sebagai pemenuhan gizi anak tetapi dialihkan sebagai kebutuhan untuk menanggulangi dampak rob seperti peninggian rumah.
"Artinya ada hubungan tidak langsung antara rob dengan stunting karena dana seharusnya meningkatkan kualitas kesehatan teralihkan ke kebutuhan peninggian rumah yang membutuhkan biaya hingga puluhan juta," katanya kepada Tribun Jateng.
Diakuinya, banjir rob imbas perubahan iklim berpengaruh kepada banyak hal, tak hanya ke persoalan stunting tapi sosial budaya masyarakatnya. Di antaranya nelayan harus berubah mata pencaharian, dari nelayan ke buruh atau pekerjaan lainnya.
"Hal itu bisa dilihat di pesisir Jateng, tipikal hampir sama. Paling parah ya pesisir Demak bisa dilihat di Timbulsloko, begitupun di kota Semarang di Tambak Lorok dan Tambak Rejo," terangnya.
Melihat kondisi itu, ia mendorong pemerintah untuk menekan pembangunan infrastruktur besar di kawasan pesisir.
Selanjutnya melakukan proteksi kawasan pesisir supaya tidak terjadi abrasi dan rob.
"Langkah awal dengan tanggul, tapi jangan hanya pembangunan fisik melainkan dibarengi dengan konservasi lingkungan seperti penanaman mangrove," ujarnya.
Terkait penangan stunting di wilayah rob, Kepala Dinas Kesehatan Kota Semarang, Abdul Hakam, menjelaskan, anak stunting hidup di wilayah rob atau banjir yang paling penting air yang dikonsumsi bersih tidak mengandung bakteri maka tidak masalah.
Persoalannya ketika banjir rob sudah terjadi menahun maka harus dicarikan solusi.
"Nah, infrastruktur harus difokuskan ke daerah-daerah yang memang sanitasi terganggu dan air bersih kurang maksimal, penanganannya memang harus lintas sektoral," ungkapnya.
Diakuinya, secara prevalensi sebenarnya angka stunting di daerah Kota Semarang sisi selatan dan tengah lebih tinggi, namun secara jumlah akumulasi paling banyak di sisi utara atau pesisir.
Hal itu terjadi karena di sana jumlah bayi lebih banyak. "Maka paling tinggi di utara, apalagi persoalan di sana lebih kompleks," bebernya.
Persoalan tersebut mulai dari sanitasi kurang bagus dan air bersih yang tidak memenuhi syarat.
Di samping itu ibu hamil dengan kondisi kurang baik presentasinya cukup tinggi.
"Persoalan itulah yang mendasar kasus stunting baru cukup tinggi di sana (Semarang utara)," tandasnya. (Iwn)
Jebol Kipas Pembuangan Udara, Napi dengan Penyakit Menular Kabur dari RSUD Sunan Kalijaga Demak |
![]() |
---|
Menteri KKP Janji Hentikan Impor Garam pada 2027, Petani di Demak Sambut Gembira |
![]() |
---|
Desa Berahan Kulon Kembangkan Potensi Lokal Jadi Desa Wisata Unggulan di Demak |
![]() |
---|
Pria Bertato Berlian Ditemukan Tewas di Sawah Wonosalam Demak |
![]() |
---|
Pemkab Demak Wujudkan "Kecamatan Berdaya" Bebas Kekerasan |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.