Berita Jakarta
BERITA LENGKAP : Hakim Tolak Vonis Mati Benny Tjokro, Divonis Nihil dan Bayar Pengganti Rp 5,7 T
Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menolak menjatuhkan pidana mati kepada Direktur Utama PT Hanson International Tbk,
TRIBUNJATENG.COM, JAKARTA -- Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menolak menjatuhkan pidana mati kepada Direktur Utama PT Hanson International Tbk, Benny Tjokrosaputro.
Alih-alih menjatuhkan vonis mati, majelis hakim justru menjatuhkan vonis nihil kepada Benny Tjokro.
Vonis nihil diberikan hakim karena Benny sudah mendapat vonis seumur hidup dalam kasus Jiwasraya.
"Karena terdakwa sudah dijatuhi pidana seumur hidup dalam perkara PT Asuransi Jiwasraya, maka pidana yang dijatuhkan dalam perkara a quo adalah pidana nihil," kata ketua majelis hakim IG Eko Purwanto di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (12/1).
Hakim menyebut Benny Tjokro memang terbukti bersalah melakukan korupsi terkait pengelolaan keuangan dan dana investasi di PT Asabri tahun 2012-2019 yang merugikan keuangan negara hingga Rp22,7 triliun.
Namun, Benny tidak bisa dijatuhkan pidana lain karena sudah mendapat hukuman maksimal dalam perkara lain.
Hakim juga menolak menjatuhkan pidana mati kepada Benny karena putusan yang dijatuhkan tidak boleh keluar dari surat dakwaan penuntut umum.
Dalam hal ini hakim menyoroti ketiadaan Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang mengatur ancaman pidana mati dalam surat dakwaan jaksa.
"Majelis hakim tidak sependapat dengan penuntut umum yang menuntut pidana mati," ujar hakim saat membacakan pertimbangan hukum.
Hakim menjelaskan surat dakwaan merupakan landasan rujukan serta batasan dalam memeriksa dan memutuskan perkara pidana.
Lantaran ada aturan tersebut, jaksa penuntut umum diminta tidak melampaui kewenangan. "Penuntut umum telah melanggar asas penuntutan karena menuntut di luar pasal yang didakwakan," kata hakim.
Meski menolak menjatuhkan hukuman mati, majelis hakim tetap menjatuhkan hukuman tambahan kepada Benny yakni membayar uang pengganti Rp5,7 triliun.
"Menjatuhkan pidana tambahan terhadap terdakwa untuk membayar uang pengganti kepada negara sebesar Rp5.733.250.247.731," ujar hakim IG Eko Purwanto.
Apabila uang pengganti tidak dibayar paling lama satu bulan setelah putusan inkrah, maka harta benda Benny akan disita dan dilelang jaksa untuk menutupi uang pengganti tersebut.
Hakim menilai Benny terbukti turut serta melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan primer dan tindak pidana pencucian uang dalam dakwaan kedua primer
. Dalam pertimbangan yang memberatkan, hakim menilai perbuatan Benny Tjokro menyebabkan kerugian negara yang sangat besar, tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme.
Sementara yang meringankan, Benny Tjokro dianggap kooperatif dan bersikap sopan dalam persidangan.
Menanggapi putusan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta itu, seorang anggota dari jaksa penuntut umum (JPU), Sophan mengatakan bahwa pihaknya akan berpikir terlebih dahulu untuk mengajukan banding. “Kami hormati putusan hakim, kami pikir-pikir dulu selama 7 hari untuk menyatakan sikap nanti,” kata Sophan.
Sementara Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Ketut Sumedana menyatakan Kejaksaan Agung menghormati putusan majelis hakim tersebut. "Kita ini menghormati putusan hakim terkait tindak pidana oleh Benny Tjokro.
Akan tetapi kita harus pelajari dulu lengkapnya seperti apa," tutur Ketut. Menurutnya, pihaknya akan kembali mempelajari berkas putusan tersebut untuk nantinya memutuskan pengajuan banding.
Satu Hakim Beda Pendapat soal Hitung Kerugian Negara
DI sisi lain, hakim anggota Mulyono Dwi Purwanto memberikan pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam putusan Benny Tjokrosaputro di kasus korupsi ASABRI. Salah satu dissenting opinion itu adalah terkait metode perhitungan kerugian keuangan negara.
"Menimbang bahwa atas unsur kerugian keuangan negara dan uang pengganti yang dibuat JPU kepada terdakwa yang di mana pada intinya telah dipenuhi secara informil, alat bukti ini berupa surat hasil pemeriksaan, investigasi BPK RI No 7 tanggal 17 Mei 2021 dalam rangka perhitungan kerugian keuangan negara atas pengelolaan keuangan dan dana investasi pada PT ASABRI periode 2012-2019.
Namun secara materiel menurut anggota majelis hal tersebut tak dapat meyakini kebenarannya dalam kajian dalam kaitan metode penghitungan jumlah kerugian uang negara dengan investasi pada surat berharga, saham, dan reksadana di PT ASABRI," kata hakim Mulyono Dwi Purwanto di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Besar Raya, Kamis (12/1).
Hakim menyoroti metode penghitungan kerugian negara yang dilakukan ahli. Hakim Mulyono menyebut perhitungan kerugian negara di kasus ASABRI menggunakan metode total loss dengan modifikasi.
"Jumlah kerugian negara yang terjadi dan dinyatakan dalam LHP tersebut Rp 22 triliun sekian, yaitu jumlah kerugian investasi pada saham Rp 10 triliun sekian, dikurangi Rp 39 miliar penerimaan dan kerugian negara pada reksadana, Rp 11 triliun dikurangi Rp 731 juta atau penerimaan dana likuidasi reksadana setelah 31 Des 2019 menjadi Rp 11 triliun sekian.
Kedua, terhadap jumlah total kerugian negara tersebut, dihitung berdasarkan jumlah saldo yang dibeli atau diinvestasikan pada efek surat berharga, saham, atau reksadana, setelah dikurangi penjualan atau redemption saldo per 31 Desember 2019 dengan perhitungkan penerimaan dana hasil penjualan saham atau likuidasi reksadana sampai sebelum laporan audit selesai atau 31 Maret 2021," ujarnya.
"Sehingga metode penghitungan kerugian negara yang dipakai ini total loss dengan modifikasi yaitu masih diakuinya penerimaan dana sebelum audit selesai atau tanggal yang ditetapkan, bukan pada saat dana dikeluarkan atau pembelian surat berharga tersebut saja dilakukan, yang menyimpang atau melanggar dari peraturan yang berlaku, yaitu saat jumlah dana atau uang keluar sebagai jumlah kerugian yang timbul saat itu," imbuhnya.
Dia mengatakan ada sejumlah hal yang tidak diperhatikan oleh auditor saat menghitung kerugian keuangan negara di kasus ASABRI. Di antaranya saham dan reksadana yang masih dimiliki PT ASABRI dan bernilai dinamis.
"Surat berharga berupa saham dan reksadana pesanan tersebut, masih ada dan menjadi milik PT ASABRI yang punya nilai harga bergerak secara dinamis, tetapi tidak dihitung saat cut off audit oleh auditor yang tertuang dalam BPK dan ahli di persidangan," ujarnya.
Hakim Mulyono mengatakan tidak diperhatikannya hal tersebut oleh auditor membuat perhitungan kerugian negara menjadi tidak konsisten. Menurutnya, saham hingga reksadana itu seharusnya ikut dalam perhitungan oleh auditor.
"Sehingga tidak lengkap informasinya, tidak konsisten dengan penerimaan dana yang diterima atau diakui atas penjualan saham dan reksadana setelah 31 Desember 2019 bahkan bahkan sampai pemeriksaan saat 1 Maret 2021," ucap Hakim Mulyono.
"Dengan melihat metode perhitungan tersebut, maka nilai saham dan reksadana yang masih ada dan dimiliki oleh PT ASABRI tersebut mempunyai nilai seharga bila saham tersebut dijual atau dilikuidasi, walaupun pembeliannya tidak sesuai, akan tetapi masih milik dan menghasilkan penerimaan dana kas bagi PT ASABRI, meski jumlahnya tidak pasti, karena tidak dinilai saat itu, dan harga berdistorsi.
Sehingga akan lebih fair bila diperhitungkan juga dalam menghitung kerugian negara itu sendiri. Auditor tidak memperhitungkan itu, namun hanya efek surat berharga yang belum terjual kembali sebelum per 31 Desember 2019, tetapi memperhitungkan penerimaan setelah tanggal 31 Desember 2019.
Hal ini sebabkan perhitungan kerugian negara menjadi tidak tepat atau tidak real atau tidak nyata, tidak pasti, dan jumlah nilainya karena tidak dihitung secara nilai real total jumlah pembelian yang menyimpang atau melanggar hukum," lanjutnya.
Hakim Mulyono menyebut penghitungan kerugian uang negara itu didasarkan pada pengeluaran pembelian investasi. Dia menilai perhitungan itu belum dilakukan secara nyata.
"Berdasarkan audit pemeriksaan penghitungan kerugian negara tersebut didasarkan pada pengeluaran pembelian investasi yang dilakukan oleh ASABRI yang tanpa melalui prosedur dan tidak sesuai aturan berlaku.
Tetapi dalam audit tersebut memperhitungkan pengembalian dari adanya efek yang diterima atau menguntungkan ASABRI dalam investasi saham atau reksadana yang dibeli dengan tidak sah tersebut. Yang mana tersebut, masih ada di pembukuan ASABRI tidak dalam sengketa atau diblokir pihak berwenang, dan masih terdaftar di bursa efek.
Bila itu sebagai alat, sarana, atau kejahatan perbuatan, bahkan yang menguntungkan atas investasi bermasalah tersebut, sebagai barang bukti, tidak diperlihatkan di dalam persidangan untuk meyakini secara nyata, real, adanya efek saham tersebut sebagai alat atau sarana kejahatan dalam perkara ini," tutur Hakim Mulyono. (dtk/tribun network/ham/dod)
Baca juga: Namanya Dicatut untuk Utang, Pengusaha Asal Kudus Gagal Beli Fortuner karena BI Checking Merah
Baca juga: Markus Cs Pelaku Curanmor Semarang Bersenjata Pedang Samurai, Sepekan Sudah Gasak 3 Motor
Baca juga: Usai Muntah Berwarna Hijau dan Kuning, Dua Bocah Asal Sleman Diduga Keracunan Chiki Ngebul
Baca juga: Buah Bibir : Vega Darwanti Tetap Harmonis meski 13 Tahun LDR
Bahaya Asbes di Indonesia: Sengketa Hukum, Korban, dan Desakan Pelarangan |
![]() |
---|
Mutasi Polri: 7 Kapolda Baru, Dari Irjen Asep Edi Suheri Hingga Brigjen Hengki |
![]() |
---|
Lowongan 1.000 Petugas Damkar Jakarta 2025: KTP Luar Jakarta Boleh Daftar! |
![]() |
---|
Prabowo Beri Abolisi dan Amnesti: Tom Lembong & Hasto Dapat Pengampunan |
![]() |
---|
IHSG Melemah 65 Poin di Akhir Juli, Saham Perbankan Tekan Pasar |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.