Oleh: Wiji Suindrati, S.Pd., M.Pd., Guru SMP N 2 Srumbung Kabupaten Magelang
Sekolah Menengah Pertama (SMP) merupakan jenjang pendidikan dasar formal yang ditempuh siswa setelah lulus dari Sekolah Dasar (SD) atau yang sederajat. Salah satu mata pelajaran yang wajib dipelajari di jenjang pendidikan SMP siswa adalah Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Di dalam mata pelajaran IPS, terdapat materi Konflik dan Integrasi dalam Kehidupan Sosial. Materi ini penting untuk dipahami dan dikuasai siswa karena secara praktis sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari, bahkan dialami oleh siswa itu sendiri. Pada dasarnya, konflik melekat pada kehidupan manusia sebab hal ini memang sangat sulit, bahkan hampir tak bisa dihindari. Dengan mempelajari materi Konflik dan Integrasi dalam Kehidupan Sosial, diharapkan siswa mampu mengembangkan potensi dirinya, peka terhadap masalah sosial yang terjadi di masyarakat, dan terampil mengatasi setiap masalah yang terjadi. Mereka harus memahami bahwa konflik tidak selamanya berdampak negatif, namun juga mempunyai dampak positif. Menurut Dian Cita Sari (2020), konflik dapat meningkatkan integrasi dan solidaritas internal dan memberi motivasi. Konflik dapat memotivasi kelompok-kelompok yang terlibat di dalamnya untuk mengklarifikasi sasaran-sasaran mereka. Hal tersebut menyebabkan meningkatnya pemahaman kelompok tentang tujuan yang hendak mereka capai.
Fakta di lapangan membuktikan bahwa selama ini mata pelajaran IPS materi konflik dalam kehidupan sosial masih menunjukkan proses dan hasil belajar yang belum optimal. Hal-hal yang mencerminkan keadaan tersebut antara lain: banyak siswa yang memperoleh nilai di bawah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM); rendahnya minat belajar siswa terjadi saat siswa diberikan tugas di rumah, tidak semua siswa melaksanakannya; pada saat dilaksanakan diskusi kelas, interaksi antar siswa kurang terbentuk; siswa kurang suka diberikan materi yang berkaitan dengan penanaman karakter dan bagaimana agar suatu konflik tidak terjadi. Apabila kondisi ini terus berlangsung dan tidak mendapatkan solusi yang baik, tidak menutup kemungkinan akan dapat berimbas pada hasil belajar siswa secara keseluruhan, tidak hanya pada materi konflik dan integrasi dalam kehidupan sosial tetapi secara general pada pembelajaran IPS.
Model Problem Based Learning (PBL) dapat menjadi solusi konkrit untuk mengatasi permasalahan tersebut di atas. Tercetusnya model tersebut berakar dari keyakinan Jhon Dewey bahwa guru harus mengajar dengan menarik naluri alami siswa untuk menyelidiki dan menciptakannya. Dewey menekankan bahwa pendekatan utama yang seyogyanya digunakan untuk setiap mata pelajaran di sekolah adalah pendekatan yang mampu merangsang pikiran siswa untuk memperoleh segala keterampilan belajar yang bersifat nonskolastik. Menurut Arends (dalam Triyanto, 2009), PBL merupakan suatu pendekatan pembelajaran di mana siswa dihadapkan pada masalah autentik (nyata) sehingga diharapkan mereka dapat menyusun pengetahuannya sendiri, menumbuh kembangkan keterampilan tingkat tinggi dan inkuiri, memandirikan siswa, dan meningkatkan kepercayaan dirinya. Beberapa keunggulan model PBL antara lain: berhubungan dengan situasi kehidupan nyata sehingga pembelajaran menjadi bermakna; mendorong siswa untuk belajar secara aktif; sebagai pendekatan belajar secara interdisipliner; memberikan kesempatan kepada siswa untuk memilih apa yang akan dipelajari dan bagaimana mempelajarinya; mendorong terciptanya pembelajaran kolaboratif; diyakini mampu meningkatkan kualitas pendidikan. Apabila siswa memperoleh pemahaman mengenai materi konflik dengan dihadapkan suatu permasalahan secara langsung kemudian melakukan analisis secara mandiri, maka akan terbentuk kemampuan berpikir kritis dalam diri mereka. Dampak positifnya, siswa dapat memperoleh pengetahuan tentang materi secara mendalam sehingga hasil belajar IPS materi Konflik dan Integrasi dalam Kehidupan Sosial dapat dicapai secara optimal.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.