Opini
Opini Seto Galih: Kebebasan Berpendapat dan Batasannya dalam Merawat Demokrasi
KEBEBASAN berpendapat dalam demokrasi sebagai sistem pemerintahan Indonesia memberikan implikasi terhadap persamaan hak, kewajiban dan perlakuan yang
Opini Ditulis Oleh Seto Galih Pratomo (Mahasiswa Fakultas Hukum UII)
TRIBUNJATENG.COM - KEBEBASAN berpendapat dalam demokrasi sebagai sistem pemerintahan Indonesia memberikan implikasi terhadap persamaan hak, kewajiban dan perlakuan yang sama bagi seluruh warga negaranya. Kebebasan berpendapat pada dasarnya merupakan hak yang dimiliki oleh setiap individu yang dijamin oleh konstitusi.
Namun menurut dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dalam risetnya pada Januari hingga Oktober 2019 mencatat tingginya pelanggaran kebebasan hak sipil atau pembungkaman di Indonesia. Salah satunya terdapat sebanyak 6.128 orang yang menjadi korban pelanggaran hak menyampaikan pendapat di muka umum di Indonesia, termasuk 51 orang meninggal dunia dan 324 orang masih di bawah umur.
Hal tersebut banyak bentuknya, antara lain berupa penolakan, penghalangan, pembubaran, dan pelarangan kegiatan. Serta sebanyak 51 persen dari data tersebut merupakan kriminalisasi mulai dari penangkapan sewenang-wenang, pemeriksaan, sampai menjadikan tersangka atau terdakwa. Juga masih masih banyak bentuk-bentuk pelanggaran lainnya.
Sedangkan menurut Komnas HAM laporan terakhirnya mencatat pada tahun 2020 hingga 2021 terdapat 44 kasus terkait kebebasan berpendapat. Kasus tersebut berasal dari 29 kasus pengaduan masyarakat dan 15 kasus dari media monitoring yang dilakukan oleh Tim Pemantauan Situasi Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat Komnas HAM.
Landasan Hukum
Indonesia menjamin dan memberikan kebebasan serta kesempatan kepada seseorang untuk berpendapat. Terjadi perkembangan positif yang signifikan bagi masyarakat pada umumnya dalam perubahan keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 pada Pasal 28E ayat (3) yang mengemukakan bahwa, "setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”
Kemudian penafsiran dari pasal tersebut diakomodir melalui Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum Pasal 1 ayat (1) berbunyi, “kemerdekaan menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan dan sebagainya secara bebas dan bertanggungjawab sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku”. Kebebasan berpendapat juga dijamin dalam regulasi lainnya yaitu UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, sampai regulasi internasional Pasal 19 Declaration of Human Rights (DUHAM).
Akan tetapi di sisi lain, kebebasan itu sering disalahgunakan sehingga memunculkan pernyataan-pernyataan yang dapat menimbulkan perpecahan. Ada kebebasan yang dijamin dalam konstitusi yang bisa dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Di samping itu, ada juga ancaman pidana yang mengintai di belakang seandainya menggunakan hak-hak kebebasan konstitusional tersebut secara bebas. Maka apakah kebebasan berpendapat itu bebas sebebas-bebasnya?
Dampak Buruk
Hal ini banyak dilupakan oleh sebagian masyarakat dalam kebebasan berpendapat. Hanya menuntut hak untuk bebas namun lupa akan kewajibannya. Terdapat norma-norma yang harus dipatuhi dalam berpendapat. Dalam sebuat riset yang ditayangkan di situs ResearchGate mengemukakan tantangan kebebasan berpendapat mulai dari tertinggi yakni hoaks, pembullyan, ujaran kebencian, pro-kontra, degradasi norma dan etika, egosentris, intoleran, provokatif, dan lainnya.
Maka ketika menyoal tentang kebebasan berpendapat atau beraspirasi, hal yang paling mendasar untuk dibahas adalah tentang politik kebebasan berpendapat. Politik kebebasan berpendapat adalah kehendak politik negara untuk menjamin kebebasan berpendapat, tapi juga membatasinya. Sebebas-bebasnya suatu negara merdeka, HAM yang telah diberikan dan dilindungi negara kepada warganya tetap harus dibatasi oleh undang-undang.
Karena apabila tidak dilakukan demikian dapat menimbulkan kesewenang-wenangan pada warga hingga saling merugikan antara individu. Seperti halnya dalam kebebasan berpendapat dan berekspresi tidak berarti bahwa diberikan kebebasan yang sebebas-bebasnya, tetapi terdapat batasan sebagaimana diatur dalam DUHAM Pasal 29. Disebutkan bahwa batasan akan kebebasan berpendapat dan berekspresi merupakan prescribed by law, artinya perlu ditetapkan peraturan perundang-undangan dengan tujuan menjunjung hak individu lain, memenuhi keadilan dalam hal kesusilaan, ketertiban serta kesejahteraan umum, kemudian tidak berlawanan dengan prinsip dan tujuan PBB.
Tunduk Pembatasan
Selain itu, Pasal 19 poin 3 ICCPR menyatakan bahwa kemerdekaan untuk mengemukakan pendapat dan ekspresi memiliki tanggungjawab dan dibatasi oleh hukum dengan tujuan menghornati hak serta reputasi individu lain, perlindungan terhadap keamanan negara dengan kata lain tidak menimbulkan ancaman pada keamanan nasional, serta kesehatan dan moral publik.
Selanjutnya ketentuan pada Pasal 20 ayat (2) ICCPR juga merupakan hukum sebagai pembatas kebebasan berpendapat dan berekspresi. Hal ini sejalan dengan tujuan mencegah kebebasan berpendapat secara tertulis, gambar maupun video yang mengandung propaganda, ujaran akan kebencian terhadap SARA, maupun tindakan diskriminasi lainnya.
Kemudian dalam instrumen hukum di Indonesia, menurut Pasal 28J ayat (2) UUD NRI 1945, dimana seseorang pada pelaksanaan haknya untuk mengemukakan pendapat dan ekspresi wajib untuk tunduk pada pembatasan berdasarkan undang-undang demi terjaminnya kesetaraan dengan hak dan kebebasan orang lain. Dilihat dari instrumen-instrumen hukum Internasional dan nasional tersebut dapat ditetapkan bahwa hak dalam kebebasan untuk mengutarakan pendapat dan ekspresi adalah hak yang dapat dibatasi atau dikurangi disebut dengan derogable rights.
Pasal-pasal lainnya yang membatasi termasuk batasan kebebasan berpendapat antara lain dalam UUD NRI Pasal 5 ayat (1), UU No.1 Tahun 2023 tentang KUHP, UU No. 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, UU No. 19 Tahun 2016 tentang ITE, sampai Pasal 19 poin 3 dan Pasal 20 ayat (2) ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights atau Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) yang diratifikasi atau disahkan menjadi UU No. 12 Tahun 2005.
Maka dari itu diperlukan harmonisasi atau perpaduan antara kedua hak tersebut agar kemudian antara hak kebebasan dalam mengemukakan pendapat serta hak individu atas reputasi menjadi berjalan secara selaras tanpa melanggar HAM. Dengan menyadari batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh regulasi dan norma. Memperjuangkan demokrasi Indonesia dengan menjunjung tinggi kebebasan berpendapat yang sudah dijamin oleh negara, namun ingat akan batasan-batasannya. (*tribun jateng cetak)
Opini Dr Aji Sofanudin: Pudarnya Tradisi Inovasi di Muhammadiyah |
![]() |
---|
Opini Hamzah Jamaludin: Buzzer dan Kebisingan di Ruang Publik |
![]() |
---|
Opini Paloma Paramita: Generasi Z Menjadi Aset atau Ancaman Bagi Perusahaan? |
![]() |
---|
OPINI Diannita Ayu Kurniasih : Pelaporan Belajar oleh Murid |
![]() |
---|
Opini Dr. Aloys Budi Purnomo Pr: Memulihkan Harmoni Ekologis |
![]() |
---|