Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Berita Jateng

Dilema Pedagang Pakaian Thrift, Harus Relakan Potensi Omzet Puluhan Juta Setelah Dilarang

Pemerintah telah melarang kegiatan usaha thrift impor atau baju bekas hasil impor dari luar negeri.

Penulis: Idayatul Rohmah | Editor: Catur waskito Edy
baju thrift. Ist/Puput Lestari
ilustrasi 

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Pemerintah telah melarang kegiatan usaha thrift impor atau baju bekas hasil impor dari luar negeri.

Larangan itu kembali ditegaskan Presiden Joko Widodo (Jokowi) setelah tahun 2021 lalu pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) juga telah melarang impor pakaian bekas melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) nomor 18 Tahun 2021 tentang barang dilarang ekspor dan barang dilarang impor.

Tertulis dalam pasal 2 ayat 3 bahwa barang dilarang impor salah satunya adalah berupa kantong bekas, karung bekas, dan pakaian bekas.

Adanya larangan impor pakaian bekas ini menjadi dilema bagi masyarakat, terlebih lagi bagi pelaku usaha yang telah menggeluti bisnis tersebut. Sebagian pelaku usaha pakaian bekas ingin berhenti berjualan karena ingin mengikuti aturan.

Namun, di sisi lain mereka juga bimbang karena dagangan masih menyisakan stok sehingga merasa disayangkan apabila stok tersisa.

Hal itu di antaranya diakui Puput Lestari, penjual pakaian thrift asal Semarang. Ia yang berjualan pakaian thrift impor melalui live Tiktok itu kini mengaku bingung.

Puput mengatakan, ia di satu sisi ingin berhenti berjualan thrift untuk mengikuti aturan. Namun di sisi lain, ia bingung ketika berhenti berjualan mau dikemanakan stok thrift yang masih tersisa.

"Stok kami masih sekitar dua bal, satu balnya itu 100 kg isinya sekitar 400-500 pcs/bal. Disayangkan sekali kalau tersisa, apalagi ini mau lebaran," keluh Puput dihubungi tribunjateng.com, Senin (20/3/2023) sore.

Puput memaparkan, ia sendiri mulai berjualan pakaian thrift sudah terhitung sekitar 5 bulan.

Menurut dia, ia yang berjualan pakaian thrift piyama dan dress secara daring melalui platform media sosial itu bisa mencapai omzet Rp 30 juta - Rp 35 juta/bulan.

Menurutnya, banyak di antara konsumennya senang membeli baju thrift karena harganya yang lebih terjangkau.

Adapun ia menjualnya mulai Rp 10 ribu - Rp 70 ribu/pcs dan sudah memiliki banyak pelanggan. Ia menyebutkan, para pembeli itu berasal dari berbagai wilayah di Indonesia seperti Sulawesi, Makassar, Kalimantan, Aceh, dan Bali. 

"Mereka hampir tiap hari beli, walaupun misal kemarin sudah beli sekarang live beli lagi. Dan yang dibeli juga tidak cuma satu/dua, tapi tiga empat. kebanyakan pembeli itu memborong, terkadang dijual lagi soalnya saya jualnya murah.

Hasil live itu sehari saya bisa dapat sekitar Rp 1,5 juta. Kalau omzet sebulan itu standarnya Rp 30 juta, naiknya paling sekitar Rp 35 juta. Lumayan, Alhamdulillah," kata Puput.

Di sisi itu, di tengah adanya larangan thrift ini ia mengaku menyayangkan.

Halaman
12
Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved