Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Ramadan 2023

Ngabuburit Sembari Santap Puisi Sigit Susanto Jejak-jejak yang Tertinggal dari Boja Hingga Eropa

Sejumlah penikmat puisi di Kota Semarang "menyantap" puisi melalui bedah karya buku Jejak-jejak yang Tertinggal karya Sigit Susanto.

Penulis: iwan Arifianto | Editor: Catur waskito Edy
Iwan Arifianto
Para penikmat puisi di Kota Semarang membedah karya Sigit Susanto bertajuk Jejak-jejak yang Tertinggal  sembari menunggu waktu berbuka puasa di kantor AJI Kota Semarang.  

TRIBUNJATENG.COM,SEMARANG - Sejumlah penikmat puisi di Kota Semarang "menyantap" puisi melalui bedah karya buku Jejak-jejak yang Tertinggal karya Sigit Susanto.

Kegiatan bedah buku dilakukan sembari menunggu waktu berbuka puasa di kantor AJI Kota Semarang.

Sigit Susanto (59) merupakan penyair kelahiran Boja yang kini tinggal menetap di Swiss.

Dalam rangkuman buku puisinya, pembaca diajak untuk menelisik ke berbagai sudut-sudut dunia.

"Sebagai seorang pelancong yang menulis, Sigit berhasil mendekat kepada sumber inspirasinya. Hal ini bisa dilihat pada puisi ringkasnya berjudul Pati, Purwantoro maupun Helsinki," ucap penanggap karya sekaligus pecinta sastra Semarang, Fikri Toharudin kepada Tribun Jateng, Sabtu (15/4/2023).


Menurutnya, Sigit Susanto memberikan contoh yang begitu jelas tentang asas paling dasar dalam bergiat sastra, yakni menganggap semuanya hidup, dan sadar penuh bahwa alam punya mainannya sendiri.

Meski tiap judul puisi terlihat mudah disantap sekali lahap, tetapi berkat susunan diksi yang dipilih memberikan getar dalam pemaknaannya. 

"Ditambah upayanya yang bisa disebut bentuk internasionalisasi nasionalisme, membuat apa yang dikatakannya sebagai igauan ini memiliki karakter," beber pemuda pendiri Gubuk Baca itu.

Ia menilai, Sigit cukup sukses dalam meramu metafor tanpa kemusykilan. 

Hal itu tampak dari pendekatan sejarah, tokoh dan geografis yang saling menguatkan sudut pandangnya terhadap jejak-jejak yang tertinggal pada tempat yang pernah dipijakinya. 

"Namun, tidak ada waktu jelas atas 133 judul yang disajikannya," terangnya.

Kendati begitu, Sigit menyiratkan tentang satu hal yaitu jati diri di tengah  dunia yang serba cepat dan singkat ini.

"Ia berupaya mengunggah sejauh apapun kepergian seseorang, seyogianya tetap menambatkan hatinya pada tanah kelahiran sebagai tempat untuk menumpahkan segenap kerinduan," tutur Fikri.

Penikmat sastra Semarang, Dedy mengatakan, acara santap puisi karya Sigit Susanto merupakan cara berbeda dalam menikmati karya puisi.

"Khususnya untuk karya Mas Sigit membawa asas-asas kedekatan meski berpergian ke sudut-sudut dunia. Dari situ juga pak sigit menerapkan kedisiplinan saat menulis puisi," ucapnya.

Halaman
12
Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved