Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Idul Fitri dan Spirit Bertoleransi

Potensi perbedaan dalam ber idul fitri nampaknya akan terjadi kembali di tahun ini.

Editor: rustam aji
dok. pribadi
Rohmat Suprapto (Sekretaris Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah PW Muhammadiyah Jateng 2022-2027) 

Rohmat Suprapto

(Sekretaris Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah PW Muhammadiyah Jateng 2022-2027)

TRIBUNJATENG.COM - Potensi perbedaan dalam ber idul fitri nampaknya akan terjadi kembali di tahun ini. PP Muhammadiyah pada tanggal 23 Januari 2023 yang lalu telah mengeluarkan Maklumat yang tertuang dalam Maklumat Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor 1/MLM/I.0/E/2023 Tentang Penetapan Hasil Hisab Ramadhan, Syawal, Dzulhijjah 1444 Hijriyah. Untuk Ramadhan akan dimulai pada hari Kamis 23 Maret 2023 dan 1 Syawal 1444 H Jum’at Pahing 21 April 2023.

Metode yang digunakan adalah Hisab Wujudul Hilal, hal ini didasarkan pada dua hal; pertama bahwa Pada hari Kamis Legi, 29 Ramadan 1444 H bertepatan dengan 20 April 2023 M, ijtimak jelang Syawal 1444 H terjadi pada pukul 11:15:06 WIB, kedua, tinggi Bulan pada saat Matahari terbenam di Yogyakarta ( f = -07° 48¢ dan l = 110° 21¢ BT ) = +01° 47¢ 58² (hilal sudah wujud), dan di seluruh wilayah Indonesia pada saat Matahari terbenam itu Bulan berada di atas ufuk. Dari alasan ini maka PP Muhammadiyah menetapkan 1 Syawal 1444 H akan jatuh pada hari Jum’at 21 April 2023.

Berbeda dengan Muhammadiyah, Pemerintah dan Ormas NU mendasarkan penetapan awal Ramadhan dan Syawal dengan metode Ru’yatul Hilal. Pemerintah sendiri melalui Kantor Kementrian Agama (Kemenag) RI baru akan melaksanakan sidang penetapan 1 Syawal /Istbat pada hari Kamis 20 April 2023.

Penentuan 1 Syawal sebagaimana dikutip dari NU Online adalah berdasarkan rukyah hilal sebagai ibadah yang bersifat fardhu kifayah. Merujuk keputusan Musyawarah Nasional Alim Ulama NU dan Muktamar NU sejak 1954 hingga 2021 Miladiyah.

Dalam penjelasannya,  Lembaga Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LF PBNU) mengeluarkan 4 syarat metode Ru’yatul hilal.

Pertama, jika hilal dibawah ufuk, maka secara otomatis bulan berjalan akan digenapkan menjadi 30 hari.

Kedua, jika bulan dapat terlihat dengan mata telajang dan peru’yat berkenan disumpah maka kesaksiannya diterima, sehingga bulan masuk kreteria isbath atau dicukupkan hanya 29 hari, dan esoknya menjadi bulan baru.

Ketiga, Jika hilal telah melebihi kriteria imkan rukyah yang dipedomani NU, tetapi hilal tidak teramati di seluruh titik di Indonesia, maka bulan digenapkan menjadi 30 hari. Keempat, ika hilal sudah sangat tinggi, tetapi tidak teramati, berlaku peniadaan istikmal atau penggenapan menjadi 30 hari, karena penggenapan hari menjadi 30 akan berpotensi umur bulan berikutnya hanya 28 hari dan ini tidak mungkin secara hukum.

Mudik Meruntuhkan Primordialisme-Spiritual

Biarpun potensi perbedaan ber Idul Fitri (1 Syawal) tahun 2023 akan terjadi, namun tidak membuat masyarakat kendur untuk merayakan lebaran dengan melaksanakan Shalat Idul Fitri baik yang meyakini jatuh pada hari Jum’at/21 April 2023 ataupun Sabtu/22 April 2023. Mereka yang bekerja di Kota kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya berusaha untuk pulang kampung atau mudik. 

Tak jarang mereka ber-‘jihad’ luar biasa untuk beridul fitri kumpul bersama keluarga. Para pemudik bahkan tak menghiraukan kondisi jalanan yang sangat padat, jutaan kendaraan bersusah payah untuk menembus jalanan menuju kampung tempat kelahiran.

Perbedaan dalam penentuan Idul fitri Jum’at atau Sabtu nampaknya tak dihiraukan. Mereka akan mengakhiri Ramadhan sesuai hati nurani dan keyakinan, bukan paksaan. Disinilah sejatinya masyarakat telah memiliki kedewasaan dalam beragama.

Kalaupun ada satu dua yang belum dewasa dan cenderung ‘jumawa’ hal itu  nampaknya hanya didasarai oleh spektrum politik-kuasa, bukan keluar dari jati diri dan hati nurani.

Dimana kuasa telah meruntuhkan sendi toleransi dan membutakan hak dasar manusia untuk berbeda baik suku bangsa dan bahasa yang hal ini dijamin oleh Tuhan sendiri bahwa perbedaan adalah suatu sunatullah yang menuntut pemahaman, kedewasaan dan saling berinteraksi untuk saling kenal (QS. Hujurat : 13).

Salah satu kebutuhan dasar manusia adalah pemenuhan kebutuhan spiritual yang telah dibawa  sejak zaman azali atau kelahiran. Di mana semua manusia memiliki rasa akan kebutuhan adanya Maha Pencipta dan Tuhan yang menguasai alam serta hidup dan kehidupan manusia.

Berdasarkan penelitian Clinebell (1981) menyatakan bahwa pada setiap diri manusia terdapat kebutuhan dasar spiritual (basic spiritual needs).

Kebutuhan dasar spiritual ini adalah kebutuhan kerohanian, keagamaan dan ke-Tuhan-an yang karena paham materialisme dan sekulerisme menyebabkan kebutuhan dasar spiritual terlupakan tanpa disadari.

Dengan tidak terpenuhinya kebutuhan dasar spiritual maka daya tahan dan kekebalan seseorang dalam menghadapi stresor psikososial menjadi melemah, yang kemudian sebagian dari mereka “melarikan diri” (escape reaction) ke NAZA (Narkotika, Alkohol, dan Zat Adiktif).

Tak heran jika guna mengejar kepuasan spiritual ini manusia dapat mengorbankan apa saja, baik harta, benda bahkan nyawa sekalipun yang kadang meluruhkan akan sehat. Padahal agama tanpa akal bukanlah agama yang benar (Al-Hadis).

Bahkan dalam Al-Qur’an sendiri derajat orang diukur tidak saja kualitas iman, tetapi juga kecil besar prosentasi akal  atau ilmu pengetahuan yang dimiliki (QS. Al-Mujadilah : 11). Sedangkan ilmu pengetahuan sendiri jelas bersumber dari bagaimana memaksimalkan penggunaan akal.

Guna menggapai spiritual ini, ibarat seseorang sedang mabuk cinta, Setingi apapun sebuah gunung pasti kan didaki demikian juga sedalam apapun samudera pasti akan diseberangi, sebahaya apapun mudik tak menyurutkan niat untuk kumpul dan bersosial dengan keluarga, handai tolan, tak pandang bulu keluarga atau kawan berbeda pemahaman, berbeda shalat Idul Fitri. Mudik telah meruntuhkan primordialisme-spiritual. Bahkan mudik adalah cerminan toleransi hakiki.

Beranjak dari Spiritual Kamuflase menjadi Hanafiyatus Samhah

Pelajaran berharga dari mudik adalah sikap menurunkan ego pribadi. Inilah tantangan terberat orang berpuasa. Bahkan Rasulullah saw pernah mengingatkan agar hati-hati ketika seseorang melaksanakan puasa tetapi hanya mendapatkan kepuasan spiritual karena belum menyentuh ruh atau substansi puasa. Puasa yang hanya mendapatkan kepuasaan spiritual namun kamuflase, atau spiritual kamuflase.

Mengutip wikipedia Indonesia kamuflase diartikan suatu metode yang memungkinkan sebuah organisme atau benda yang biasanya mudah terlihat menjadi tersamar atau sulit dibedakan dari lingkungan sekitarnya (wikipedia.org) Spiritual-kamuflase adalah kegiatan spiritual atau keagamaan yang secara kasat mata terlihat saleh, akan tetapi hanya sebatas kulit semata sedangkan batiniahnya sulit untuk ditebak hal ini karena urusan batin hanya Allah dan yang memiliki batin yang tahu.

Islam sejatinya berada pada kutub yang seimbang antara ekstrim kanan dan kiri. Ketika spiritual terlalu ke kanan maka akan menyebabkan seseorang bersikap fatalis, demikian juga jika seseorang terlalu longgar akan menyebabkan seseorang tercerabut dari akar spiritualnya yang berakibat pada sikap liberal.

Kebalikan beragama secara kamuflase adalah al-hanifiyah al-samhah (beragama secara lurus dan toleran/tengah) atau wasathiyah. 

Bragama wasatiyah menjadi  tawaran baru guna beradaptasi dalam menjalankan agama di tengah intoleransi Islam wasathiyah yang penuh substantif atau wasathiyah-substantif meniscayakan seseorang mampu mengelaborasi kesalehan individualnya menjadi kesalehan sosial yang tidak ekstrim kanan atau kiri, saling toleran dan menghormati keperbedaan.

Seseorang tidak hanya cukup rajin shalat, selesai membazar zakat atau dapat menjalankan puasa dengan genap satu bulan penuh atau merasa puas jika dapat berhaji dan umrah tiap tahun tetapi juga harus toleran dengan berbagai perbedaan yang ada.

Dikisahkan bahwa pada saat itu, suatu ketika Nabi Muhammad saw mendengar berita tentang seorang yang rajin shalat di malam hari dan puasa di siang hari, tetapi lidahnya menyakiti tetangganya.

Komentar Nabi tentang dia, singkat saja, “Ia di neraka.” Secara sepintah aneh rasanya hanya gara-gara menyakiti perasaan orang lain bisa masuk neraka?. Ini menandakan bahwa ibadah ritual saja belum cukup, ia mesti dibarengi dengan kesalehan sosial.

Islam wasathiyah-substantif meniscayakan bagaimana seorang muslim merasa ngilu, sedih jika ada tetangga kanan kiri handai-tolan tidak dapat tidur karena kelaparan atau kesusahan. Rasulullah bersabda: Tidaklah beriman kepada-Ku orang yang tidur dalam keadaan kenyang.

Sedang tetangganya kelaparan sampai ke lambungnya. Padahal ia (orang yang kenyang) mengetahui.(HR. Bukhari dalam Kitab Al-Adab Al-Mufrad hlm. 112)

Ukuran keimanan seseorang tidak hanya rajin tidak seseorang shalat atau puasa atau bahkwan tarawih, tetapi bagaimana mengembangkan sikap welas asih dan empati kepada orang yang tidak mampu, juga toleran dengan orang lain. Inilah sejatinya substansi dari nilai utama puasa. Tujuan akhir puasa sejatinya akan membuat prabadi baru, pribadi takwa. Pribadi yang berislam tanpa kamuflase, tanpa topeng.

Gambaran pribadi takwa ini dapat terbaca secara jelas dalam QS. 3 : 134-135, pertama, Yaitu orang yang memiliki sikap welas asih, empati kepada orang lain yang tidak ragu dalam mengeluarkan harta dan tenaga untuk kepentingan orang banyak baik dalam kondisi lapang maupun sempit, kedua, orang yang tidak mudah terpancing emosi sekaligus luas dada untuk membuka diri dan mudah memaafkan terhadap kekhilafan orang lain, dan yang ketiga, senantiasa tidak berbuat  yang merugikan diri sendiri dan orang lain. 

Tiga karakter ini sejatinya sangat di butuhkan di era ini. Toleran, mudah membantu orang lain dengan harta atau jiwa dapat diimplementasikan dalam budaya gotong royong semampu yang kita bisa.

Menjaga kampung atau ronda, memastikan lingkungan bersih atau juga bisa secara periodik berkoordinasi dengan pemangku kepentingan terkait perbedaan dalam beribadah, sekaligus memberikan layanan yang sepadan. Karena Indonesia adalah milik semua.

Tidak mudah terpancing emosi dan mudah memaafkan kesalahan orang lain tentu saja sangat juga dibutuhkan di masa ini. Terekspose nya penolakan terhadap fasilitas umum pemerintah yang digunakan oleh ormas yang berbeda hari dalam melaksankan ibadah Shalat Idul Fitri adalah gambar diri mulai lunturnya budaya ketimuran kita.

Budaya nenek moyang yang sarat dengan nilai luhur, seperti lembah manah (tidak terpancing emosi), tepo serila (menghargai keperbedaan pandangan dan pemikiran orang lain), jembar manah (suka memaafkan kepada orang lain baik kecil atau besar) juga dowo ususe (sabar menghadapi cobaan).

Seperangkat nilai ajaran nenek moyang kita ini tentu jika diterapkan di masa ini akan sangat membantu secara emosional dan spiritual para pemangku kepentingan dalam melaksanakan tugas mulia memayu hayuning bawana (memangku kepentingan orang banyak).  

  Sedangkan implementasi dari sikap takwa yang ke tiga adalah bagaimana kita tidak berbuat yang merugikan diri sendiri seperti perilaku negatif yang akan merusak citra diri dan keluarga. Anjuran membantu bagi yang berbeda keyakinan dalam menjalan ibadah sebagaimana anjuran Menag Yaqult adalah sikap yang patut dipuji di tengah era ini.

Sikap ini tentu harus dibudidayakan di tengah intoleransi yang terus meluas. Semua berangkat dari keluarga maka tiap individu dapat kembali membangun struktur keluarga menuju keluarga yang toleran, penuh harga-menghargai.

Kejadian pencurian, penjabretan dan bahkan pembunuhan yang makin marak akhir-akhir ini tentu saja harus menjadi kewaspadaan kita bersama, budaya saling memotivasi dan menahan diri untuk tidak saling menunjukkan kelonggaran harta yang dimiliki di saat sulit seperti ini juga bagian penting guna menjaga rasa orang lain yang barangkali sedang tidak memiliki harta yang cukup sebagaimana yang kita miliki.

Itulah pentingnya menaikkan level kita pada derajat kesusahan orang lain padahal bisa jadi kita tidak sedang susah walau di masa sulit seperti ini. Menaikkan level artinya membawa rasa kita kepada rasa dan perasaan orang lain yang sedang kurang beruntung karena kondisi.

Dengan menjaga rasa maka kita juga bagian penting mencegah kriminalitas yang sekarang marak terjadi.

Semoga kita mampu menjalani Idul Fitri tahun ini sebagai pribadi yang lurus agama tetapi tetap memiliki jiwa yang toleran dan inilah pribadi takwa sebagaimana sebagaimana tujuan puasa. Wallahu a’lam bi al-shawwab.

           

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved