Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Berita Jateng

Mengenal Tradisi Syawalan di Jateng, Tiap Daerah Punya Ciri Khasnya yang Harus Dilestarikan

Meski di beberapa daerah istilah yang digunakan berbeda-beda, ada yang menyebutnya Syawalan, Kupatan, Lebaran Kupat, atau Sedekah Laut.

Editor: rival al manaf
Dok Kominfo Kota Pekalongan
Kegiatan tradisi syawalan Gunungan megono dan gunungan hasil bumi dari 19 kecamatan di wilayah Kabupaten Pekalongan. 

TRIBUNJATENG.COM - Masyarakat Jawa, khususnya Jawa Tengah sangat akrab dengan tradisi Syawalan.

Meski di beberapa daerah istilah yang digunakan berbeda-beda, ada yang menyebutnya Syawalan, Kupatan, Lebaran Kupat, atau Sedekah Laut, namun tradisi ini dilaksanakan hampir bersamaan, yaitu pada bulan Syawal, tepatnya satu pekan setelah hari raya Idul Fitri.

Di Jawa Tengah, tradisi ini sudah menjadi aktivitas sakral bagi masyarakat muslim, bahkan disebut juga dengan Lebaran kedua.

Di Kaliwungu, Kendal, Jawa Tengah misalnya, Syawalan dilakukan seminggu setelah Lebaran di setiap tahunnya.

Baca juga: Detik-detik Kapolres AKBP Yudha Pranata Tancapkan Sangkur ke Meja Saat Sedang Berdialog dengan Warga

Baca juga: Klasemen Timnas U22 Indonesia Setelah Kalahkan Filipina, Garuda Kuasai Grup A SEA Games 2023

Baca juga: Chord Sebuah Rahasia Peewee Gaskin, dan Kau Percaya Tak Ada yang Lebih Baik dari Ini

Tujuan tradisi Syawalan tersebut untuk mendoakan para ulama yang telah menyebarkan agama Islam di wilayah Kendal.

Tradisi Syawalan telah berlangsung ratusan tahun yang masih dilakukan hingga saat ini.

Begitu juga di Pekalongan, Tradisi Syawalan dilakukan pada 8 Syawal.

Lopis raksasa menjadi salah satu simbol kuliner khas tradisi ini. Tujuan pembuatan lopis tersebut sesuai dengan sifat lopis yang lengket, yaitu untuk mempererat silaturahmi masyarakat Krapyak dan sekitarnya.

Wakil Ketua DPRD Jateng, Heri Pudyatmoko mengatakan, di Jawa tradisi ini memang dikenal dengan banyak nama serta bermacam ritualnya.

Namun menurutnya, keberagaman yang ada merupakan kekayaan budaya Jawa, dengan nilai-nilai kearifan lokal di masing-masing daerah.

"Tradisi ini perlu dilestarikan, dan dijaga keberagaman akan nilai-nilai kedaerahannya."

"Memang pelaksanaan tradisi ini berbeda antara satu daerah dengan daerah lain, namun mereka memiliki tujuan dan maksud yang sama. Dan itulah kekayaan budaya yang ada di sini," katanya, (28/4/2023).

Pemerintah, menurutnya juga perlu andil dalam melestarikan tradisi ini.

"Bentuk suportnya dengan memfasilitasi pelaksanaan tradisi. Karena dalam tradisi tersebut terkandung nilai-nilai yang kuat akan akar sejarah peradaban di wilayah tersebut."

"Makanya ada perbedaan tiap daerah dalam menjalani tradisi ini. Perbedaan juga sangat terlihat antara masyarakat pesisir dengan masyarakat pegunungan dalam menjalani tradisi ini, meski waktu dan tujuannya hampir sama," katanya.

Asal Nama

Apalagi dalam pelaksanaan tradisi Syawalan juga ada perputaran ekonomi yang sangat tinggi.

Di wilayah pesisir misalnya, Syawalan tak hanya jadi sebuah pesta. Tradisi tersebut memiliki nalar kebudayaan yang melatarbelakanginya.

Selain ini juga memiliki makna luhur bagi orang-orang yang hidup di dalamnya.

Sebagai informasi, Istilah Syawalan berasal dari kata Syawal, nama salah satu bulan pada kalender Islam atau tahun Hijriah.

Disebut dengan istilah Syawalan karena tradisi tersebut dilaksanakan pada bulan Syawal, yaitu pada satu pekan setelah hari raya Idul Fitri.

Perayaan Syawalan dijadikan momentum untuk menjalin silaturahmi dan kumpul dengan sanak keluarga yang tinggal di tempat jauh.

Syawalan masih terkait dengan hari raya Idul Fitri yang biasanya disebut Bada Kupat atau Hari Raya Ketupat.

Namun di wilayah pesisir Jawa, Tradisi Syawalan juga disebut sedekah laut.

Tradisi ini biasa dilakukan masyarakat pesisir Jawa misalnya di wilayah-wilayah pantai di Cilacap, Tegal, Pekalongan, Batang, Weleri, Kendal, Kaliwungu, Demak, Jepara, Kudus, Juwana, Pati, Rembang, dan sebagainya.

Ada juga yang menyebutnya tradisi kupatan. Tradisi kupatan berangkat dari upaya-upaya Walisongo memasukkan ajaran Islam.

Sebab, zaman dulu orang Jawa selalu menggunakan simbol-simbol tertentu, akhirnya Walisongo memanfaatkan cara tersebut, dan kupat serta janur sebagai simbol dari rasa syukur masyarakat atas segala pemberian dari Tuhan Yang Maha Esa.

Bungkus ketupat yang terbuat dari anyaman daun kelapa yang masih muda ini melambangkan identitas warga pesisir yang banyak ditumbuhi oleh pohon kelapa.(*)

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved