Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Opini

Opini Dian Marta Wijayanti: Hardiknas dan Bulan Merdeka Belajar

KEMENDIKBUDRISTEK melalui Pedoman Peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) tahun 2023 Nomor 12811/MPK.A/TU.02.03/2023 menetapkan Hardiknas pada

Editor: m nur huda
Tribun Jateng
Opini Ditulis Oleh Dian Marta Wijayanti( Guru dan Kepala SDN Gajahmungkur 3 Kota Semarang) 

Opini Ditulis Oleh Dian Marta Wijayanti (Kepala SDN Gajahmungkur 03 Kota Semarang)

TRIBUNJATENG.COM - KEMENDIKBUDRISTEK melalui Pedoman Peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) tahun 2023 Nomor 12811/MPK.A/TU.02.03/2023 menetapkan Hardiknas pada 2 Mei 2023 bertema “Bergerak Bersama Semarakkan Merdeka Belajar”. Sedangkan Mei 2023 ini dijadikan sebagai Bulan Merdeka Belajar.

Keputusan ini membawa dampak bagi guru dan insan pendidikan di Indonesia untuk menyukseskan Merdeka Belajar dan menjadikan Mei sebagai Bulan Merdeka Belajar. Apakah hanya di bulan Mei? Hakikatnya tidak, karena setiap hari adalah Merdeka Belajar.

Sejak episode 1 sampai episode 24, Merdeka Belajar mengalami berbagai resistensi, dinamika, transformasi, pujian, bahkan cemoohan. Faktanya memang demikian. Tidak semua insan pendidikan sepakat seratus persen dengan Merdeka Belajar. Namun, pada momentum Hardiknas ini kita harus membuka mata lebar-lebar, karena Merdeka Belajar sudah tersistem dari akar rumput.

Bagi guru, kepala, pengawas sekolah, dan semua insan pendidikan yang tidak mengikuti Merdeka Belajar pasti akan tertinggal oleh sistem. Meski demikian, Merdeka Belajar terdapat kekurangan dan kelemahan. Wajarnya sebuah program pasti tidak ada yang sempurna. Maka menjelang pergantian presiden, Merdeka Belajar perlu dievaluasi dan banyak refleksi dengan pertanyaan apakah nanti ganti menteri akan ganti program dan kurikulum lagi?

Sejumlah rekan kepala sekolah dan guru sering mengeluh ketika dulu menerima perubahan tersebut. Resistensi diam-diam tetap ada. Namun lambat laun, semua sekolah mau tidak mau bermigrasi menerapkan Merdeka Belajar. Tak terasa Merdeka Belajar yang dicanangkan Kemdikbudristek sudah sampai puluhan episode. Merdeka Belajar episode 1 dirillis pada 2020 yang fokus pada Asesmen Nasional, USBN, RPP, dan PPDB. Sampai Maret 2023 telah dirillis Merdeka Belajar episode 24 yaitu Transisi PAUD ke SD yang Menyenangkan.

Hal ini tentu menjadi tugas bersama karena tahun 2023-2024 ini adalah penentuan sebagai akhir masa jabatan Mas Menteri Nadiem Makarim. Apakah Merdeka Belajar akan berlanjut, ataukah ke depan secara radikal akan diganti sistem oleh menteri baru? Sebagai kepala sekolah tentu hal ini saya nilai sangat dilematis. Maka momen Hardiknas ini harus menjadi refleksi bersama dan mencoba mencari celah perbaikan, perbaikan, dan perbaikan agar Merdeka Belajar ini tidak bernasib sama layaknya program menteri sebelumnya.

Substansi

Hardiknas tidak sedakar ritus belaka tiap tahun. Perayaan di bulan Mei ini perlu dipahami bahwa Merdeka Belajar harus diperkuat dengan sistem dan inovasi berkelanjutan. Substansi Merdeka Belajar yang dikembangkan Kemdikbudristek telah mengacu pemikiran dan ajaran Ki Hajar Dewantara (1889-1959). Selain penguatan pada program-program teknis, perlu diteguhkan kembali bahwa Merdeka Belajar harus melahirkan kemerdekaan berpikir yang sesungguhnya sesuai tujuan pendidikan nasional.

Ki Hajar Dewantara sejak dulu telah mengajarkan kemerdekaan berpikir. Semua pendidik wajib menguasai konsep kemerdekaan berpikir, merdeka dari kebodohan, kemalasan, penjajahan, kejumudan, dan ketertinggalan. Maka substansi Merdeka Belajar harus menjadi solusi dan jawaban atas problematika bangsa seperti kebodohan, rusaknya moral dan karakter, pengangguran, bahkan kemiskinan.

Merdeka Belajar memiliki substansi membangun dan memperbaiki segala aspek kehidupan dari sisi mental, fisik, rohani, dan jasmani dalam pendidikan dan kehidupan. Selain penguatan kompetensi, literasi, sains, numerasi, Merdeka Belajar juga membawa amanat penguatan karakter bangsa melalui

Profil Pelajar Pancasila.

Mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi tugas bersama yang sudah diamanatkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan ruh dari gagasan Ki Hajar Dewantara. Maka diperlukan revolusi cara berpikir semua pendidik karena perubahan besar sangat ditentukan dari perubahan cara berpikir. Merdeka Belajar harus mendarahdaging dalam jiwa guru, orangtua, dan masyarakat. Dalam perspektif Ki Hajar Dewantara, perubahan ini harus dilakukan di ranah keluarga, perguruan, dan masyarakat agar perubahan dan kemerdekaan menyeluruh dan tidak parsial.

Perubahan cara berpikir ini menjadi penting untuk membangkitkan pendidikan nasional yang utuh tidak hanya di sekolah formal. Hal ini telah dikembangkan Kemdikbudristek, yaitu melalui Merdeka Belajar diharapkan para guru, siswa, dan orang tua merasakan suasana yang bahagia dalam dunia pendidikan.

Sebab, tujuan pendidikan selain mencerdaskan adalah membahagiakan. Apa gunanya Merdeka Belajar tapi tidak melahirkan kebahagiaan? Tentu sia-sia. Poros utama pendidikan adalah karakter dan kecerdasan yang bermuara kepada kebahagiaan. Maka selain perubahan revolusioner tentang cara berpikir pada insan pendidik dalam ranah pendidikan formal, informal, dan nonformal, dibutuhkan inovasi agar Merdeka Belajar berkelanjutan.

Keberlanjutan

Sesuai pertanyaan penulis di atas, Merdeka Belajar sangat dilematis ketika tidak kontinu. Namun berlanjut, stagnan, atau digantikan dengan sistem baru bisa kita lihat melalui fakta empirik di lapangan hari ini. Sebab, Merdeka Belajar hakikatnya adalah implementasi ajaran Ki Hajar Dewantara yang diinovasi oleh Mas Menteri agar sesuai perkembangan zaman. Maka dibutuhkan strategi dan solusi agar Merdeka Belajar ini bisa berkelanjutan. Pertama, perlu target prioritas dari program Merdeka Belajar episode 1-24 yang sudah terlaksana. Jika hanya mengejar kuantitas, maka hanya akan berakhir pada suksesnya program secara kuantitatif bukan kualitatif.

Kedua, percepatan Implementasi Kurikulum Merdeka (IKM) di semua level SD-SMA melalui Platform Merdeka Mengajar (PMM). Sebab, Merdeka Belajar yang dipahami publik sekadar “kurikulum” saja, bukan sebuah program, sistem, dan gagasan yang komprehensif. Maka percepatan IKM dan PMM menjadi penting sesuai adaptasi dan kearifan lokal satuan pendidikan. Ketika ke depan IKM tidak maksimal, maka Kurikulum Merdeka akan bernasib sama layaknya Kurikulum 1994, KBK, KTSP, dan Kurikulum 2013 yang tergantikan oleh sistem.

Ketiga, sinergitas semua elemen pendukung Merdeka Belajar yaitu Guru Penggerak, Pengajar Praktik Guru Penggerak, Fasilitator Guru Penggerak, Instruktur Guru Penggerak, dan Sekolah Penggerak yang intinya ada pada kepala sekolah dan guru yang ditunjuk. Keempat, percepatan program Guru Penggerak karena menjadi salah satu menjadi kepala sekolah kecuali yang sudah mendapatkan Nomor Registrasi Kepala Sekolah (NRKS). Hal ini menjadi penting karena inti kemajuan sekolah terletak pada kepala sekolahnya.

Kelima, percepatan dan inovasi program mandiri di semua perguruan tinggi untuk menerapkan dan mengembangkan Kampus Mengajar, Magang Merdeka, Magang dan Studi Independen Bersertifikat (MSIB), Pertukaran Mahasiswa, Wirausaha Merdeka, dan Indonesian International Student Mobility Awards (IISMA). Tanpa percepatan program ini maka nasib program studi yang menerapkan kurikulum mengacu MBKM akan kacau karena masih mengembangkan SN Dikti dan KKNI.

Jika melihat kondisi nasional, Merdeka Belajar yang berjalan maksimal hanya di kota-kota besar. Namun di daerah 3T belum maksimal berjalan karena banyak faktor. Oleh karena itu, keberlanjutan Merdeka Belajar ini tidak terbatas pada program formal, namun lebih mengutamakan inovasi, kreativitas, dan adaptasi kearifan lokal. Sebab, Merdeka Belajar itu hakikatnya memerdekakan sekolah dan guru, bukan membatasi dengan berbagai regulasi yang ribet dan administratis saja. Yang perlu ditegaskan juga, jangan sampai nanti ganti menteri akan ganti kurikulum. Semoga saja tidak demikian! (*tribun jateng cetak)

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved