Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Berita Wonosobo

Tradisi Rakanan - Tenongan Perekat Dusun Giyanti Wonosobo, Digelar Jumat Kliwon Usai 1 Muharram

Tradisi Rakanan dilaksanakan setelah tanggal 1 Muharram (Sura) pada hari Jumat Kliwon dengan berbagai rangkaian kegiatan.

Penulis: Imah Masitoh | Editor: Muhammad Olies
Tribunjateng.com/Imah Masitoh
Masyarakat berebut isi tenongan pada acara Rakanan Dusun Giyanti Wonosobo, Jumat (28/7/2023). 

TRIBUNJATENG.COM, WONOSOBO - Dusun Giyanti, Desa Wisata Budaya Giyanti, Kecamatan Selomerto, Wonosobo memiliki tradisi unik.

Tradisi Rakanan diadakan setiap tahunnya dalam rangka mengenang HUT Giyanti.

Menginjak usia 268 tahun ini Dusun Giyanti kaya akan budaya leluhur yang terus dilestarikan. 

Tradisi Rakanan dilaksanakan setelah tanggal 1 Muharram (Sura) pada hari Jumat Kliwon dengan berbagai rangkaian kegiatan.

Ketua Desa Wisata Budaya Giyanti sekaligus Ketua Pokdarwis Giyanti, Ahnaf Kustanto mengatakan, berbagai rangkaian acara sudah berlangsung sejak satu pekan ini.

"Setiap tahun kita mengadakan acara sedekahan dengan cara seperti ini. Kegiatan yang hampir satu minggu runtutan acaranya sudah kita gelar," ujarnya.

Baca juga: Gong Senen di Pendopo Jepara Diselamati Jelang Memasuki 1 Muharram

Baca juga: Puluhan Warga Berebut Gunungan Arum Manis di Situs Perjanjian Giyanti Karanganyar

Baca juga: Jamsaren: Pondok Pesantrean Tertua di Solo, Berdiri Sebelum Mataram Pecah Lewat Perjanjian Giyanti

Mulai dari kirab budaya, gotong-royong warga masyarakat, doa bersama lintas agama, pentas kesenian, kunjung leluhur, tenongan, mesusi beras, hingga diakhiri pentas budaya.

Sejak pagi hari ini rangkaian acara tradisi Rakanan sudah berlangsung dengan kunjung leluhur atau ziarah makam tokoh adat.

Dilanjutkan dengan acara Tenongan yang sangat dinantikan oleh masyarakat setempat hingga luar kota.

Tenongan merupakan tradisi membawa wadah besar yang terbuat dari bambu atau masyarakat setempat menyebutnya dengan tenong. 

Tenong akan diisi dengan berbagai macam jajanan pasar, mulai dari jajanan basah, kering, hingga nasi rames, dimana ini mengandung makna tertentu di dalamnya.

"Jajanan pasar memiliki filosofi sendiri. Seperti ketan, wajik itu sebagai perekat. Notabennya Giyanti itu kan desa pluralisme, banyak agama di sini, jadi bermakna untuk merekatkan antar sesama," jelas Ahnaf Kustanto

Tenong akan dijejer di sepanjang jalan dusun, dan akan diperebutkan oleh masyarakat setelah didoakan terlebih dahulu.

"Rebutan itu berarti sodaqohan, yang diperebutkan menjadi sebuah keberkahan," imbuhnya.

Baca juga: Desa Wisata Giyanti Wonosobo Raih Juara Desa Wisata Kategori Seni Budaya Tingkat Jateng

Tak hanya itu, acara dilanjutkan dengan tradisi mesusi beras.

Hari ini ada sebanyak 265 warga Dusun Giyanti yang semuanya ibu-ibu berpakaian adat Jawa melaksanakan tradisi ini.

Mereka membawa properti seperti cething, ceret/teko berisi air, hingga tampah berisi beras.

Di sepanjang jalan, mereka akan menari mengikuti alunan musik karawitan sembari membawa properti.

"Mereka akan joged sepanjang jalan, terus di titik tertentu akan melakukan mesusi beras atau mencuci beras," terangnya.

Air pesusian beras lantas dikumpulkan dan akan dibagikan ke warga petani untuk menyiram tanaman.

"Istilahnya setelah kita diberi oleh alam berupa macam-macam makanan seperti beras, kemudian kita kembalikan ke alam lagi dengan baik. Karena air leri (air cucian beras) itu ternyata orang dulu mengatakan vitamin," jelasnya. 

Setelah mesusi beras acara dilanjut dengan pentas lintas kabupaten seperti Wonosobo, Temanggung, dan Banjarnegara hingga malam hari.

"Harapannya warga masyarakat Giyanti akan tentram mencari kehidupannya lebih enak lagi. Masyarakat akan sadar tentang tradisi budaya kita kalau bukan kita siapa lagi," tandasnya. (ima)

 

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved