Resensi Buku
Dokter dan Kanker, Review Buku Kanker Biografi Suatu Penyakit Siddharta Mukherjee
Judul Buku: Kanker: Biografi Suatu Penyakit, Penulis: Siddharta Mukherjee, Penerjemah: Rahmat Purwono, Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Judul Buku: Kanker: Biografi Suatu Penyakit, Penulis: Siddharta Mukherjee, Penerjemah: Rahmat Purwono, Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (Mei 2020), Tebal: 658+xi halaman
Oleh: Cecep Burdansyah, wartawan dan pengamat hukum
DOKTER dan kanker, dua istilah yang sudah akrab bagi semua orang. Jadi, tak perlu dijelaskan.
Tapi saya baru tahu kalau dokter itu ada dua model, atau katakanlah dua kategori. Yaitu dokter yang merawat orang hidup dan dokter yang merawat orang mati. Umumnya yang kita kenal adalah dokter umum dan dokter spesialis.
Tentu kita sudah menebak, dokter yang merawat orang hidup, adalah dokter yang menangani pasien yang sakit. Sedangkan dokter yang merawat orang mati, adalah dokter autopsi, yaitu dokter yang membedah orang yang sudah mati, untuk mengungkap apa penyebab kematian orang tersebut.
Tapi di tangan Siddharta Mukherjee, dua kata itu sungguh hidup, bahkan memikat. Dua kata itu menjadi tokoh dalam sebuah buku tentang biografi sebuah penyakit: penyakit kanker.
Dikisahkannya, seorang dokter autopsi yang merasa sia-sia karena merawat orang mati, kemudian pindah menjadi dokter yang merawat orang hidup. Memperlakukan orang hidup bukan sekadar menyembuhkan penyakit, tapi mendengarkan ceritanya dan keluh kesahnya. Dokter apa pun, harus mampu mendengari cerita pasien. Dan penuturan pasien itu menjadi penting untuk menemukan penyebab penyakit dan cara menyembuhkannya. Cerita pasien setara tokoh karya sastra, jadi harus disimak baik-baik, katanya.
Saya baru pertama kali tahu ada dokter memperlakukan pasien semulia itu.
Saya jadi ingat dalam berhubungan dengan dokter. Tidak banyak dokter yang mau mendengar cerita pasien. Sangat sedikit dokter yang memancing pasien untuk bercerita. Lebih banyak kata-kata ini dan itu saat mendiagnosis lalu buru-buru menulis resep.
Buku berjudul “Kanker: Biografi Suatu Penyakit”, edisi terjemahannya terbit pertama kali 2020. Dalam waktu hanya satu tahun, sudah cetak tiga kali. Asumsinya, meskipun kita tidak tahu jumlah cetaknya, tetap saja permintaan terhadap buku itu cukup tinggi.
Saya sudah tahu buku “Kanker” sejak 2020, berarti cetakan pertama. Tahun itu ada dua buku Siddharta yang terbit, berjudul “Gen” dan “Kanker”. Karena tebal dan harganya mahal, saya mendahulukan membeli buku “Gen”. Begitu saya baca, buku itu sangat menarik.
Kemudian saya membaca sebuah tulisan, bahwa buku Siddharta yang mendapat hadiah Pulitzer, yaitu buku “Kanker”. Pulitzer adalah hadiah paling bergengsi di Amerika Serikat untuk buku, baik fiksi maupun non fiksi. “Kanker” diganjar Pulitzer untuk buku non-fiksi. Majalah Time menobatkan buku “Kanker” sebagai buku yang paling berpengaruh di dunia dalam seratus tahun terakhir ini. Dan penulisnya pun sekaligus dinobatkan sebagai seratus orang berpengaruh di dunia.
Saya makin ngebet ingin membeli buku “Kanker”, tapi lagi-lagi dompet belum mengizinkan. Saya tahan dulu.
*
Pada bulan Juni saya memeriksakan diri ke dokter untuk konsultasi karena saya merasa ada yang aneh dalam tubuh saya, selalu pusing. Lalu pergi ke rumah sakit pemerintah. Dokter meminta saya untuk cek darah. Hasilnya bikin saya pingsan.
“Bapak mengarah ke kanker darah,” katanya.
Saya bertanya, memangnya kenapa dok?
"Hasil tes darahnya menunjukkan ada masalah pada sel darah merah dan darah putih. Ada gejala sel darah merah dimakan sel darah putih,” katanya. Itu artinya leukemia.
Langsung terkesiap dan tak menduga. Saya merasa hidup saya normal-normal saja. Memeriksakan diri juga hanya untuk mengecek kesehatan berkala saja, terutama tensi. Jadi bukan karena ada masalah serius.
“Saya tidak merokok, kecuali sampai umur 38 tahun. Saya tidak minum alhokol, apalagi obat-obatan terlarang, jadi mana mungkin saya bisa terkena kanker darah?” kata saya.
“Ini masih mengarah. Kalau Bapak bisa menjaga pola makan, pola tidur dan olah raga setiap hari, gejala ke arah itu bisa hilang. Ini juga saya penasaran. Saya kasih obat ya, lalu setelah seminggu Bapak datang lagi ke sini. Cek darah lagi, apakah gejala itu hilang atau tetap ada,” katanya.
Saya pulang dari rumah sakit dengan perasaan kacau. Istri saya terkejut dan berkali-kali mengatakan, “Ah gak mungkin, dokter itu salah.” Ia tahu pola hidup saya yang tidak pernah macam-macam dalam soal makanan, dan ia tahu saya rajin joging tiap minggu.
Saya kemudian konsultasi ke teman akrab yang berprofesi dokter, sambil mengirim hasIl tes darah via pesan Whatsapp. Kata teman saya, “Hasil tes itu masih aman, Kang, gak usah khawatir.” Saya agak reugreug.
Seminggu kemudian, setelah obat yang dikasih dokter habis, saya kembali ke dokter di rumah sakit yang memeriksa saya. “Sudah tidak ada, tidak mengarah ke kanker darah. Hasilnya bagus,” katanya setelah memeriksa hasil tes darah yang kedua.
Alhamdulillah. Semangat hidup kembali menyala.
*
Lalu saya teringat lagi pada buku “Kanker” karya Siddharta. Makin ngebet ingin membeli. Kalau awalnya karena tertarik dengan gaya menulisnya pada Buku “Gen”, sangat nyastra, kali ini saya tertarik karena kankernya, yang hampir bertamu ke tubuh saya.
Setiap ke toko buku, saya selalu memegang buku itu dan melihat harganya. Terasa mahal. Saya urungkan lagi.
Minggu pertama Agustus saya beres-beres buku yang berserakan di ruang buku. Alangkah terkejutnya saya melihat ada buku “Kanker” yang saya inginkan, nyelip di antara buku-buku yang berserakan di rumah. Sambil tersenyum sendiri, saya berkata pada diri sendiri. Rupanya saya bukan terserang penyakit kanker, tapi penyakit lupa.
Saya langsung membacanya siang malam. Seperti buku “Gen”, buku “Kanker” sangat menyedot karena gaya tulisannya benar-benar sastra. Saya larut karena kepiawaian menulis Siddharta yang berprofesi sebagai dokter spesialis kanker darah dan juga ilmuwanj penyakit kanker. Buku itu tidak banyak istilah kedokteran yang rumit. Seperti novel, justru di buku itu banyak tokoh, terutama dokter, dan pasien dengan kisah-kisah yang mengharukan, getir, mempesona, menakutkan, penuh harapan, campur aduk sehingga kita pun terbawa hanyut.
Gaya bahasanya sangat lincah, deskriptif sehingga mampu membangun suasana dan menggedor emosi pembaca. Tiap bab dibangun dengan memunculkan tokoh-tokoh yang sangat hidup, bernyawa, tokoh-tokoh yang getir karena kematiannya direnggut kanker, tokoh yang penuh harapan karena sembuh, dokter dan ilmuwan kedokteran yang gemilang karena penemuannya, dokter yang putus asa dan juga yang sabar karena gagalnya dalam merawat pasien. Tiap bab selalu dibuka dengan kutipan dari para filsuf, sastrawan klasik, dan penulis ternama dan ilmuwan kaliber dunia, seperti Hegel, Susan Sontag, William Shakerpeare, Frans Kafka dan banyak yang lainnya.
Saya sampai bertanya pada diri sendiri. Siddharta itu dokter dan ilmuwan penyakit kanker, atau sebetulnya dia sastrawan.
Meskipun 600 halaman, setiap bab disusun pendek-pendek, paling panjang 4.000 karakter. Jadi membacanya enak, simpel, tapi sudut pandang dan penokohannya serta problematikanya amat memikat.
*
Seperti biasa, kalau menemukan buku bagus, saya selalu memberi tahu ke senior saya, Kang Abdullah Mustappa. Saya katakan, “Kang, ada buku bagus, tentang kanker, tapi mengisahkan manusia.” “Sepertinya Akang harus membaca,” jawabnya.
Beberapa minggu kemudian saya bertanya lagi ke Kang Abdullah, “Kang sudah baca buku kanker itu?”
“Karena kata Cecep bagus, mahal-mahal juga Akang membeli. Setelah membaca buku itu, kita jangan mengaku sebagai penulis. Malu. Kita kalah oleh dokter,” kata Kang Abdullah.
Saya sepakat dengan Kang Abdullah. Rasanya malu mengaku sebagai penulis begitu membaca buku “Kanker”.
Sepengalaman saya membaca buku-buku karya penulis Indonesia, baik karya sastra, dan terutama non fiksi, kalah jauh oleh kepiawaian Siddharta Mukherjee. Apalagi buku-buku Sunda karya pengarang Sunda.
Penulis profesional dari luar negeri, terutama Amerika Serikat, memang unggul dalam riset serta mahir dalam meracik tulisan. Sedalam apapun bahan riset, mereka sanggup menyelam untuk menggali sumber sekunder dan membangun jadi cerita yang memikat. Karena mereka sangat akrab dengan karya sastra dan filsafat, mereka mampu meracik bahan-bahan yang berserak itu jadi sebuah cerita yang memikat yang tidak kehilangan logika dan tidak kacau dalam urutan waktu atau anakronisme.
*
Siddharta Mukherjee lahir di New Delhi India tahun 1970. Kemudian sekolah di Amerika Serikat dan menjadi kebangsaan Amerika Serikat. Sekarang ia menjadi onkologis di sebuah rumah sakit dan juga ilmuwan yang mengajar ilmu kedokteran di Universitas Kolumbia.
Dari buku “Kanker”, saya tahu kalau penyakit kanker, kanker apa pun, tidak datang dari luar tubuh kita. Kanker bisa menimpa siapa saja tanpa pandang bulu, kaya miskin, laki-laki perempuan, anak-anak atau dewasa. Orang yang tampak sehat dan memang sehat sejak kecil, di usia dewasa atau tua bisa terkena kanker. Biasanya, kata Mukherjee, kanker datang ke orang menjelang usia 50 tahun ke atas. Tapi tidak berarti tidak ada kasus pada anak-anak.
Mengutip Susan Sontag, Mukherjee menulis, “Sekarang, giliran kanker menjadi penyakit yang tak mengetuk pintu sebelum masuk ke rumah.”
Penyakit ini sangat mematikan dan dulu dianggap aib, karena itu disampaikan secara bisik-bisik. Tak ada penemuan obat bahkan penyebabnya tak ditemukan. Mukherjee menggambarkan karena manusia mahluk berakal, diberi rasa penasaran yang tinggi untuk mengetahui apa penyebab kanker. Kalau sudah tahu penyebabnya, maka obat untuk menyembuhkannya atau mengatasinya bisa ditemukan.
Dari awalnya gelap, karena tingginya keingintahuan para ilmuwan dan para dokter, maka ditemukanlah apa yang disebut kanker. Kanker, adalah kelainan yang ada di dalam tubuh kita, dan bukan penyakit yang gampang diobati. Resiko kalau sudah terkena kanker, hanya ada dua, memperpanjang usia dengan menahan rasa sakit atau langsung mati.
Sempat terjadi polemik di kalangan dokter. Dalam mengatasi orang yang kena kanker, ada beberapa kubu. Yaitu dokter yang beranggapan lebih baik pasien disuruh pulang ke rumah, dan mati di rumah. Di sisi lain ada dokter yang berusaha keras untuk merawat dan setidaknya menghilangkan rasa sakit walaupun hanya sementara, karena pada akhirnya mereka tahu si pasien bakal mati dalam waktu dekat.
Di pihak lain, ada juga dokter dan ilmuwan yang gigih ingin menemukan obat kanker. Penemuan sampai sekarang, hanyalah sinar laser untuk mengatasi rasa sakit, yaitu kemoterapi, walaupun kemoterapi pun, selain rasa sakitnya yang luar biasa, juga bukan jaminan untuk sembuh. Olahraga, pola makan dan pola tidur yang baik tidak berpengaruh pada kesembuhan kanker.
Kanker darah, kata Mukherjee, merupakan pembelahan sel yang abnormal, yaitu sel darah putih yang dominan mengalahkan sel darah merah. Pembelahan sel yang jumlahnya berlipat-lipat ini, kemudian menjadi penyakit kanker, yang disebut leukemia. Sangat mematikan. Leukemia, atau kanker lainnya, kata Mukherjee, bisa mendadak hilang, tapi kemudian muncul lagi.
Ketika membaca bagian ini, saya jadi ingat pada dokter di rumah sakit pemerintah itu. Pertama, dokter yang cantik itu mengatakan, saya harus rutin olahraga, jaga pola makan dan pola tidur. Padahal kata Mukherjee tak ada pengaruhnya pada kanker. Kedua, ketika menyatakan gejala kanker saya hilang, jadi cemas karena uraian Mukherjee mengatakan, kanker bisa muncul tenggelam.
“Terdapat sedikit keberhasilan dalam perawatan kanker yang telah menyebar. Biasanya tumor terus membesar dan pasiennya terus mengecil,” kata John Laszlo, dokter leukemia pada anak.
Kalau sudah begitu, saya selalu percaya pada ihktiar manusia dan takdir Tuhan. Walaupun kita pasti akan mati, kita harus berusaha untuk hidup. Walaupun kita berusaha untuk terus survive dalam kehidupan ini, kita pasti suatu waktu bakal mati. Kita diwajibkan berusaha menjaga hidup dan kehidupan, tapi kita percaya akan pergi dari kehidupan ini. Itulah qodar seperti dianut kaum qodariah. (*)
Inovasi Kunci Sukses Kembangkan UMKM dan Koperasi |
![]() |
---|
“Solusi Nelayan: Mengurai Paradoks si Miskin di Negara Maritim” |
![]() |
---|
Buku Keliling Asia Tenggara Luar Dalam Karya Muhammad Iqbal: Referensi Mengenal Negara-Negara Asean |
![]() |
---|
Resensi Buku: Kurikulum Perlu Dievaluasi sesuai Kebutuhan Zaman |
![]() |
---|
Resensi Buku: Khazanah Kebudayaan Masyarakat Jawa yang Nyaris Tenggelam |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.